Redundant 3: Bangkit Lagi Bersama Redundansi
Oleh Erry Yulia Siahaan
Terjadinya pandemi Covid-9 membawa banyak konsekuensi. Salah satunya banyak pekerja yang dirumahkan. Bukan bekerja dari rumah (online), tetapi dicutikan sementara, bahkan mengalami rasionalisasi alias diberhentikan.
Sebelum pandemi pun, restrukturisasi sebenarnya sudah biasa terjadi. Kemajuan di bidang teknologi membuat sejumlah pekerjaan tidak lagi memerlukan tenaga manusia. Efisiensi menjadi prioritas dalam bisnis profit.
Redundansi kehilangan pekerjaan merupakan realita hidup. Yang masih bisa mencari nafkah patutlah bersyukur. Bagaimana dengan yang kehilangan pekerjaan? Kalau kita yakin bahwa Tuhan Maha Mengetahui dan Maha Kuasa, kita idealnya tetap bersyukur. Kita percaya bahwa Tuhan selalu mempunyai rencana yang baik bagi setiap orang. Tertutupnya satu jalan, bukan berarti kebuntuan. Tuhan sudah menyiapkan jalan yang lain, agar rencana-Nya terjadi. Allah tidak pernah gagal. Allah bertanggungjawab untuk menolong kita jika sesuatu Dia ijinkan terjadi dalam hidup kita.
Redundansi vs Redundansi
Sebelum mengulas bagaimana kita bisa bangkit lagi bersama redundansi, saya garisbawahi bahwa yang dimaksudkan dengan redundansi di sini bisa sebagai kehilangan pekerjaan, entah di satu jenis pekerjaan atau lebih, di satu tempat atau di area lain, pada satu orang yang sama atau berlaku umum.
Redundansi yang berasal dari kata redundant menunjukkan bahwa ada lebih dari satu kali, bersifat pengulangan, yang kadang dinilai kurang baik. Di sini, redundansi berarti diulangnya beberapa kata, frasa, atau klausa lebih dari satu kali, baik pada satu badan frasa, kalimat, paragraf, atau teks yang sama. Juga, redundansi berupa pengulangan makna.
Efek Redundansi
Redundansi bisa berpengaruh kurang baik bagi yang mengalami, terutama jika yang bersangkutan tidak siap menerimanya. Malu, sedih, frustrasi, rendah diri, pesimis, kecewa, panik, merasa diperlakukan tidak adil, dan efek kurang baik lain sangat umum terjadi. Bagi mereka yang menjadi tulang punggung keluarga, redundansi bisa membuat kalang-kabut. Jika tidak siap mental, eks karyawan bisa mengambil jalan pintas yang bisa saja berbau kriminal.
Sebagaimana dialami oleh Edo, seorang korban redundansi. Pada usianya yang setengah abad dengan tanggungan satu isteri dan empat anak, berhenti dari kerja membuatnya malu dan gelisah. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, Edo berhutang pada saudara dan temannya, tanpa sepengetahuan keluarga. Edo juga terjebak lagi pada dunia lamanya, mabuk. Edo merasa perlu mabuk untuk lari dari bebannya, meski cuma sementara. Edo juga lekas tersinggung. Tak jarang dia memukul isterinya jika tidak tahan harus bagaimana memenuhi kebutuhan isteri dan anak-anaknya yang belum bisa menyesuaikan diri dengan ekonominya yang sedang jatuh. Waktu terus berlalu. Hutang makin banyak, sementara kemampuan membayar tidak ada. Ditelepon dan didatangi penagih hutang menambah beban psikologis bagi diri Edo maupun keluarganya. Bentakan, hinaan, dan teror harus dihadapinya hingga suatu hari Edo memutuskan menerima pekerjaan tidak halal yang pernah ditawarkan oleh temannya, yakni merampok. Berakhirlah Edo di penjara.
Doni, korban redundansi yang lain, sudah beberapa kali mengalami pemutusan kerja selama hidupnya. Tiap kali diputuskerjakan, Doni berhasil bangkit lagi. Yang terakhir, Doni sulit mendapatkan lagi pekerjaan yang sama. Doni mulai frustrasi. Teman-teman dan kerabat mendukung Doni, sehingga terbukalah kesempatan bagi Doni untuk belajar komputer setiap hari. Bekal keterampilan ini membuat Doni kemudian memiliki lebih banyak pilihan dalam mencari pekerjaan. Walhasil, Doni diterima bekerja di supermarket.
Berbeda dengan Waty. Seberhentinya dari kerja, Waty malah santai-santai. Anak bungsu dari lima bersaudara ini menganggap tidak perlu ngoyo mencari kerja atau menambah keterampilan lagi karena masih bisa minta uang dari orangtua atau kakak-kakaknya. Hingga suatu hari usianya bertambah dan ketika orangtua dan saudara-saudaranya sudah tidak mampu menopang kehidupannya, Waty bingung sendiri. Minta ke sana sini terlalu gengsi, tetapi perut harus diisi. Akhirnya, Waty memilih menjadi penipu dana arisan dan kadang mencuri.
Mental yang Kuat
Mereka yang diputuskerjakan sangat membutuhkan bantuan teman-teman dan keluarga untuk dapat melalui masa-masa sulit yang mereka hadapi. Dengan dukungan terus-menerus, mereka akan kembali percaya diri, seperti dialami oleh Doni. Kata terus-menerus berarti ada redundasi. Pengulangan. Karena, dorongan dan dukungan satu kali mungkin belum cukup untuk membuat seseorang bangkit kembali.
Bagaimana dengan Edo dan Waty? Idealnya, Edo tidak perlu berlama-lama merasa malu dan sedih, serta mau terbuka kepada keluarganya. Edo tidak perlu putus asa hingga sampai kembali pada dunia lamanya (mabuk). Juga tidak perlu melakukan tindak kekerasan dalam keluarga. Edo idealnya tetap berusaha mencari pekerjaan, sementara isteri dan anak-anak Edo seyogyanya bisa menyesuaikan diri dengan kondisi ekonomi yang sedang dihadapi. Sementara Waty idealnya tidak menganggap enteng. Selagi masih muda dan terbuka banyak kesempatan, idealnya Waty tidak santai-santai, tapi terus berusaha untuk tetap produktif dan mau belajar terus untuk meng-upgrade diri.
Pertanyaannya, bagaimana cara agar mereka bisa sampai ke sana? Jika dicermati, kunci untuk bisa menghadapi setiap kondisi adalah kesiapan mental. Mental yang siap adalah mental yang selalu bersyukur dan ikhlas. Mental yang selalu percaya bahwa semua ada atas seijin Tuhan. Artinya, jika Tuhan sudah mengijinkan, Tuhan juga tidak akan membiarkan kita hancur. Sebab, kita percaya, Tuhan memiliki rencana baik untuk setiap orang. Dengan begitu, diberhentikerjakan bukan alasan untuk membenturkan diri pada batu-batu yang bisa menghancurkan, seperti judi, mabuk-mabukan, menutup diri dari keluarga, putus asa, melarikan diri pada tindakan kriminal, bunuh diri, dan sebagainya.
Mental yang kuat hanya mungkin terjadi jika manusia taat dan bertakwa kepada Tuhan. Sebagaimana dikatakan oleh Kitab Mazmur dan nats lainnya dalam Alkitab, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak berbahagia dan tidak bersukacita. Jika kita menatap Allah Yang Maha Baik, kita akan tetap percaya bahwa semua yang terjadi adalah untuk kebaikan kita. Menjalin relasi yang baik dengan kerabat dan teman memberikan banyak peluang bagi kita untuk mendengarkan masukan dan bersentuhan dengan kesempatan-kesempatan.
Redundansi
Mental yang kuat adalah mental yang tidak menolak saran yang baik, tidak menyangkal kekurangan diri, mau melakukan introspeksi diri, mau menempa diri untuk lebih baik, hati yang penuh rasa syukur, tetap bersemangat, dan optimistis.
Seperti dikatakan di atas, dukungan satu kali mungkin tidak cukup untuk membuat seseorang bangkit lagi. Untuk mendapatkan dukungan yang intens, seseorang perlu membuka peluang, dengan menjaga relasi dengan banyak teman dan kerabat, terutama dengan Tuhan.
Adalah fakta bahwa orang beriman tidak serta-merta kebal terhadap pemutusan kerja. Namun, orang beriman memiliki ketahanan mental melampaui mereka yang tidak bersandar pada Tuhan. Identitas kita bukanlah terletak pada matapencaharian kita. Karena kalau demikian halnya, pekerjaan akan menjadi sumber identitas diri dan ketika pekerjaan itu hilang, kita bisa terguncang.
Ketahanan mental bukanlah produk instan, melainkan bentukan dari redundansi. Seseorang membutuhkan paparan yang terus-menerus untuk selalu menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Dalam proses dari satu titik ke titik lain yang lebih baik itu, bisa terjadi berulangkali proses jatuh-bangun. Setiap kali jatuh, jatuhnya makin tidak terasa fatal. Setiap kali bangun, bangunnya makin sigap dan lebih baik.
Mengalami pemutusan kerja, seseorang perlu tetap melakukan yang terbaik untuk mendapatkan pekerjaan baru dan menyerahkan hasilnya kepada Tuhan. Pekerjaan adalah hadiah dari Tuhan, bukan sesuatu yang menyelamatkan. Tuhan Maha Kuasa dan Maha Mengetahui. Dia tahu bahwa seseorang kehilangan pekerjaan dan membutuhkan pekerjaan. Tuhan juga tahu jalan mana yang sebaiknya kita ambil untuk sampai pada yang direncanakan-Nya.
Kembali pada Kitab Mazmur yang diwarnai redundansi tentang bagaimana Daun mencintai Taurat Tuhan, kita juga perlu terus-menerus menjalin keeratan dengan Tuhan. Suka-duka, baik atau tidak baik waktunya, kita tetap bersyukur pada Tuhan. Rajin membaca Firman dan melakukannya merupakan hal yang baik.
Selain Mazmur, banyak bagian lain Alkitab yang mengandung redundansi. Adanya redundansi dalam Alkitab justru diperlukan untuk menguatkan pesan. Analog dengan seorang ibu yang memberikan nasihat kepada anaknya. Pengulangan akan menciptakan penguatan. Penguatan sangat baik untuk internalisasi nilai-nilai. ***