Sunday 28 May 2023

Bertanya pada Anak, Evaluasi yang Bijak

 

(Foto: Pixabay)

Bertanya pada Anak, Evaluasi yang Bijak

Oleh Erry Yulia Siahaan

Sebuah konten dalam sebuah jurnal psikologi menggugah saya untuk akhirnya menuliskan ini.

Kreatornya adalah seorang profesor sekaligus ibu dari dua anaknya yang kembar. Pada setiap akhir semester dia melakukan evaluasi untuk kinerjanya. Dia mengajukan sejumlah pertanyaan kepada mahasiswa. Umpan-balik yang diterima menjadi masukan buat memperbaiki kerjanya ke depan.

Hal itu kemudian dia terapkan pada kedua anaknya. Dia mendapatkan masukan yang luar biasa bermanfaat.

Hal ini menggugah saya. Bukan karena saya tidak pernah mendapatkan masukan atau kritikan dari anak-anak saya. Tetapi, karena saran atau kritikan itu lebih sering sebagai respon spontan dari anak-anak saya ketimbang hasil menjemput bola.

Bisa dibilang, saya kurang kerap mencari umpan-balik dengan bertanya pada anak tentang bagaimana saya sebagai orangtua menurut perspektif mereka. Apakah sudah memenuhi harapan mereka? Apa yang kurang, apa yang mesti saya perbaiki, dan sebagainya. Kecuali pada acara rutin atau acara khusus terkait adat.

Ada dalam kebiasaan kami, orang Batak, untuk berkumpul pada acara tutup tahun. Beribadah. Pada pertemuan itu, ada kesempatan mandok hata – istilah Batak yang artinya menyampaikan satu-dua patah kata. Mandok hata dilakukan berurutan. Dimulai dari yang paling muda (dalam tatanan adat, bukan usia) hingga yang paling tua atau dituakan.

Sesuai konteksnya, tutup tahun adalah acara untuk mengakhiri semua yang jelek sepanjang tahun yang segera berlalu. Semua yang buruk itu dikuburkan seiring dengan bergantinya tahun. Kemudian, semua membuat itikad baru untuk hal-hal yang baik dan lebih baik memasuki tahun yang baru.

Jadi, ketika mandok hata, pembicara akan menyampaikan hal-hal yang disyukurinya sepanjang tahun, mengucapkan terima kasih kepada Tuhan, orangtua, saudara-saudara semua untuk perhatian, kasih sayang, bantuan, dan sebagainya.

Pembicara tidak lupa mengekspresikan hal-hal yang dirasakannya kurang berkenan di hatinya. Berdasarkan pengelamannya, dia boleh mengakui apa saja kelakuannya yang menurutnya kurang pantas dan ingin dia perbaiki di tahun yang baru. Dia juga boleh memberikan saran atau masukan kepada orangtua dan saudara-saudaranya supaya lebih baik ke depan.

Ketika membaca konten dalam jurnal psikologi itu, saya terinspirasi bahwa ternyata evaluasi melalui anak perlu dilakukan sesering mungkin. Rutinitas setiap akhir tahun tentu saja baik. Tapi, tidak cukup untuk mengoptimalisasi evaluasi.

Inti evaluasi adalah memperoleh informasi mengenai kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan tantangan. Dalam manajemen, skema evaluasi itu dikemas dengan singkatan SWOC (strength, weakness, opportunity, challenge).

Muaranya adalah mendapatkan masukan (umpan-balik) tentang apa-apa yang harus dikurangi atau dihilangkan, apa saja yang justru harus ditingkatkan atau diperbaiki. Juga, bagaimana kita memberdayakan sumberdaya yang ada untuk menghadapi tantangan ke depan.

Dengan bertanya kepada anak, kita bisa memperoleh masukan berharga, untuk menjadikan kita sebagai orangtua yang lebih baik.

Berdasarkan pengalaman saya sebagai ibu selama puluhan tahun, juga berdasarkan pengamatan saya, para ibu lebih sering menunggu daripada menjemput bola dalam mendapatkan saran atau kritikan dari keluarga, terutama anak.

Kita, para ibu, cenderung merasa sudah cukup dengan mencari informasi tentang pola asuh yang baik. Atau, dengan memperhatikan ibu lain tentang bagaimana mereka menjalin relasi dengan anak. Mungkin juga, kita saling berbagi pengalaman.

Padahal, kondisi setiap orang berbeda. Setiap anak berbeda. Kebutuhan mereka juga berbeda ketika berada pada lingkungan keluarga yang berbeda, dengan temperamen atau kepribadian ibu yang berbeda. Juga dengan situasi sosial-ekonomi yang berbeda.

Artinya, pola asuh dari seorang ibu kepada anaknya belum tentu cocok untuk begitu saja diadopsi sebagai pola asuh kita. Saran dari seorang anak kepada ibunya pun mungkin tidak sama dengan saran dari anak kita buat kita.

Evaluasi pada rumah masing-masing dapat membantu orangtua menyesuaikan diri dengan perspektif anak-anak di rumah mereja.

Kita perlu juga memperlajari momen yang tepat untuk mendapatkan masukan dari anak. Misalnya, ketika sudah sampai lagi di rumah setelah bepergian. Ketika situasinya responsif.

Cara mengevaluasi juga harus cerdas. Jangan sampai anak malah bosan karena merasa terlalu sering ditanyai atau akhirnya menolak gegara kita tidak bisa membaca situasi. Kita mungkin perlu menyediakan waktu yang sedikit longgar untuk itu.

Kita bisa membuatnya seperti permainan. Bertanya sambil bercanda. Menggunakan teknik pilihan ganda. Mengajukan pertanyaan sederhana dan menyediakan empat-lima pilihan jawaban yang berskala dari A sampai E misalnya.

Contoh pertanyaan: Sesering apa ibu memarahi kalian?

Contoh jawaban: A. Sangat sering. B. Sering. C. Jarang. D. Sangat Jarang. E. Tidak Pernah.

Bisa juga dengan memberikan satu-dua pertanyaan dan meminta mereka menuliskan jawaban di atas kertas. Sebelum memulai pertanyaan, kita melumerkan dulu suasana dengan canda. Setelah situasi terbaca, santai, dan kondusif, kita meminta mereka untuk menuliskan jawaban atas pertanyaan kita.

Anak-anak menuliskan apakah kita ibu yang lembut atau galak, kalem atau pemarah, peduli atau super sibuk, terlalu melindungi atau tidak, misalnya.

Mungkin satu atau dua umpan-balik muncul sebagai sesuatu yang “mengejutkan” atau “serius” bagi kita, tidak terpikirkan oleh kita sebelumnya. “Temuan” itu justru umpan-balik sangat berharga untuk dijajaki lebih jauh. Apakah memang kita yang bermasalah atau ada pemahaman anak yang keliru.

Interaksi lebih jauh akan sangat membantu menelusuri hal itu. Tapi, sekali lagi, harus dengan membaca momen.

Itu hanyalah contoh. Semua pertanyaan, cara evaluasi, dan lain-lain perlu mempertimbangkan usia anak, kondisi psikologis anak, dan faktor lain.

Suasana yang kondusif akan membuat anak mengatakan yang sebenarnya. Sebaliknya, memberi masukan karena terpaksa atau rasa takut akan membuat evaluasi kurang bermanfaat.

Selain evaluasi dengan interaksi langsung, mungkin juga kita perlu melakukan strategi diam tapi lebih banyak mendengarkan. Diam tapi berusaha menyerap lebih banyak apa yang anak-anak katakan dan lakukan. Baik dengan kakak atau adiknya maupun dengan teman-temannya.

Setelah kita memperoleh masukan dari anak, kita harus berkomitmen untuk menghormatinya sebagai bekal kita untuk memperbaiki diri.

Nilai positif lain dari menerapkan evaluasi dengan bertanya pada anak adalah pemodelan. Kita secara tidak langsung telah memberikan contoh yang baik. Kelak, mereka melakukan hal serupa. ***

Thursday 25 May 2023

Penyintas KDRT Bangkit berkat Keberanian Tina Turner

Bunga-bunga diletakkan di bawah sebuah papan foto di London untuk menghormati penyanyi legendaris Tina Turner. (Foto: Andy Rain/EPA)

 Penyintas KDRT Bangkit berkat Keberanian Tina Turner

Oleh Erry Yulia Siahaan

Apa hal penting yang ditinggalkan oleh Tina Turner? Jawaban setiap orang mungkin berbeda. Ada yang bilang lagu-lagunya, performanya, kharismanya, kepribadiannya, dan sebagainya.

Bagi para penyintas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Tina Tuner adalah sosok penting yang membangkitkan keberanian mereka untuk bersikap, bertindak, dan melanjutkan hidup.

Tina Turner adalah salah satu penyintas KDRT. Dia mengalami kekerasan dan pelecehan pada pernikahan pertamanya, yakni dengan penyanyi-penulis lagu Ike Turner. Dia menyebut hidupnya kala itu seperti “menjalani kehidupan yang mematikan”. Dia merasa seperti “tidak ada”.

“Tapi saya bertahan. Dan ketika saya keluar, saya berjalan. Dan saya tidak melihat ke belakang.” Kata-kata Tina Turner itu memotivasi para korban KDRT untuk melakukan hal serupa.

Tina Turner yang tutup usia pada 83 tahun di rumahnya di Swiss setelah sakit berkepanjangan adalah salah satu selebriti yang berani bicara terbuka tentang KDRT dan kekerasan soal keuangan dalam kehidupan rumah tangganya dengan Ike Turner.

Keberanian dan kemauan Turner untuk berbicara tentang KDRT berdasarkan pengalamannya itu mendapatkan banyak pujian dan terima kasih sejak kematiannya pada Kamis (24/5/2023) dinihari WIB. Sesama penyintas memuji Ratu Rock’n Roll itu sebagai inspirasi.

Tidak hanya perempuan biasa. Melansir the Guardian edisi Kamis (24/5/2023), Melanie Brown, yang pernah bergabung pada grup penyanyi Spice Girl, pernah mengalami KDRT. Dia mengambil sikap. Kekerasan, katanya, telah memberinya keberanian untuk berakting.

Dalam bukunya Brutally Honest pada 2018, Melanie Brown mengatakan dirinya terinspirasi oleh Tina Turner untuk juga berani berbicara.

“Dia adalah satu-satunya orang yang menurut saya paling tepat di seluruh dunia untuk berbicara tentang KDRT,” kata Melanie Brown seperti ditulis oleh Alexis Petridis.

Pemenang Women's Aid itu suatu kali menonton Tina Turner pada the Tina Turner Musical di Teater Aldwych di London. Dia terharu melihat para hadirin menyumbang untuk amal melalui pertunjukan tersebut.

“Dia memberi saya, dan banyak penyintas lainnya, harapan bahwa hidup dapat berlanjut. Melewati bekas luka, memar, pascatrauma, dan kilas balik, Anda dapat menjalani hidup Anda hari demi hari, dan tahu bahwa Anda bisa menjadi lebih baik,” katanya. .

Pada 1981, Tina Turner memutuskan untuk berbicara dengan jurnalis Carl Arrington dari majalah People. Dia menceritakan bahwa Ike bertahun-tahun melakukan kekerasan terhadapnya. Ike memaksanya untuk menonton pertunjukan seks di rumah bordil pada malam pernikahan mereka, memukulinya dengan tandu sepatu saat dia hamil, dan melemparkan kopi panas ke arahnya.

Tina Turner bertahun-tahun meniti karir sebagai penyanyi, termasuk di Las Vegas, sembari membangun citra bahwa dia mampu berkarir solo selepas dari Ike pada 1976 di Dallas. Tina Turner melarikan diri hanya dengan "36 sen di sakunya dan kartu kredit".

"Saya merasa bangga," kata Tina Turner kepada People tentang perasaannya ketika dia akhirnya dia pergi. “Saya merasa kuat. Saya merasa seperti Martin Luther King.”

Turner menulis tentang trauma pernikahannya di memoar pertama dari tiga memoarnya “I: Tina” yang dijadikan film biografi pada 1993 yang berjudul What's Love Got to Do With It, dan dalam Tina: The Tina Turner Musical.

Kepala eksekutif Refuge, Ruth Davison, mengatakan kisah Turner adalah salah satu ketahanan dan pemberdayaan feminis. “Tina membuktikan bahwa ada kehidupan setelah KDRT, dia melambangkan apa artinya bangkit dari abu dan menjadi orang yang selamat.”

Menjadi penyintas KDRT ternyata bukan perkara mudah, terlebih ketika harus berbicara tentang trauma yang dialami. Pembuat film TJ Martin, co-sutradara film dokumenter HBO 2021 “Tina”, dapat merasakan hal itu pada diri Tina Turner.

Tina Turner berusaha untuk hidup dengan kedamaian, setelah setengah abad meniti karir dengan banyak pencapaian. Dia menjual lebih dari 100 juta rekaman, memenangkan 12 Grammy, dan mendapatkan penghargaan sebagai Rock and Roll Hall of Fame pada 2021.

Dalam memoar ketiganya pada 2020, Happiness Becomes You: A Guide to Changing Your Life for Good, Tina Turner membandingkan dirinya dengan "bunga teratai, mekar berulang kali melawan segala rintangan, muncul lebih kuat setiap saat".

Saturday 20 May 2023

Transisi PAUD-SD: “Siap Sekolah” adalah Proses, Bukan Hasil

 

Anak-anak perlu mendapatkan memori bahwa belajar adalah proses menyenangkan, bukan paksaan. Kemampuan fondasi yang ingin dibangun pada masa transisi dari pendidikan anak usia dini (PAUD) ke sekolah dasar (SD) adalah proses, bukan hasil. (Sumber: Pixabay)

Transisi PAUD-SD: “Siap Sekolah” adalah Proses, Bukan Hasil

Oleh Erry Yulia Siahaan

Merupakan tantangan besar bagi seseorang jika harus masuk ke dalam situasi yang baru. Adaptasi yang baik dan selekasnya amat diperlukan agar bisa segera lebih fokus pada tugas dan tanggung jawab pada situasi baru tersebut.

Tidak semua orang dapat “lulus” dengan mulus melaluinya. Bahkan, orang dewasa sekalipun. Apalagi anak-anak. Ibarat kertas putih, mereka belum memiliki banyak pengalaman sebagai dasar merespon hal-hal baru.

Contohnya, anak-anak yang memasuki jenjang sekolah lebih tinggi, terutama dari pendidikan anak usia dini (PAUD) ke sekolah dasar (SD). Ketika berangkat dari rumah, mungkin orangtua membekali mereka dengan saran harus begini atau begitu.

Namun, ketika harus berhadapan dengan realitanya, anak-anak belum tentu bisa mengingat atau menerapkan saran itu. Malah, mungkin mereka malah merengek atau merajuk.

Masa peralihan dari PAUD ke SD ini (sampai kelas dua) disebut masa transisi. Masa ini bisa dianggap “rawan” karena bisa mempengaruhi perkembangan psikologis dan emosional anak.

Pada masa transisi, kemampuan fondasi anak akan dibentuk. Kemampuan fondasi adalah hak setiap anak. Namun, seringkali pemenuhan hak itu disalahartikan. Satuan pendidikan berkejaran dengan target bahwa anak harus bisa segera bisa baca, tulis, hitung (calistung). Akhirnya, masa transisi bukan lagi proses yang menyenangkan bagi anak.

Pemerhati anak banyak menyoroti hal ini. Pemerintah secara khusus telah mencanangkan gerakan yang disebut “Gerakan Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan”. Tujuannya, mempersuasi banyak kalangan untuk sama-sama membantu agar masa transisi itu berlangsung secara menyenangkan bagi anak.

Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unicef) dalam akun resmi instagramnya awal pekan ini secara khusus menggarisbawahi pentingnya masa transisi ini. Kemampuan fondasi anak merupakan proses bertahap dan berkelanjutan.

Unicef berharap agar masa transisi bisa berjalan dengan mulus, holistik, dan menyenangkan. Holistik berarti tidak hanya menyentuh aspek kognitifnya, tetapi juga emosi, kemandirian, kemampuan berinteraksi, dan sebagainya. Menyenangkan berarti tidak dengan paksaan. Tujuannya untuk memaksimalkan manfaat pembelajaran.

Unicef menekankan hal itu sehubungan dimulainya masa Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2023/2024.  “Ayo dukung setiap anak yang akan masuk ke SD agar dapat bertransisi dengan mulus dan menyenangkan, serta adik-adik di PAUD mendapatkan pembelajaran berkualitas.”

Miskonsepsi

Melansir situs Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek), masih kuat ditemukan miskonsepsi di masyarakat mengenai kemampuan fondasi anak.

Miskonsepsi membuat masyarakat sangat berfokus pada kemampuan calistung– yang dianggap sebagai satu-satunya bukti keberhasilan belajar dan bisa dibangun instan. Bahkan, masih ada yang melakukan tes calistung sebagai syarat masuk SD/MI. 

Menurut Kemdikbudristek, setiap anak berhak mendapatkan pembinaan untuk mengembangkan kemampuan fondasinya secara holistik. Kemampuan literasi dan numerasi dibangun sejak PAUD, tetapi secara bertahap dan dengan cara menyenangkan.

Bahkan, untuk peserta didik yang tidak dari PAUD, hak kemampuan fondasi mereka tetap harus dipenuhi sebaik-baiknya.

“Siap sekolah adalah proses, bukan hasil,” tandas Kemdikbudristek.  Artinya, “siap sekolah” bukan untuk membuat label anak yang “sudah siap” atau “belum siap”. Tetapi, sebuah proses yang harus dihargai oleh sekolah dan orangtua.

Jika anak bisa melalui masa transisi ini dengan mulus, anak akan memiliki kesan yang baik mengenai belajar. Ini bmembuat mereka bisa melanjutkan studi dengan lebih baik.

Secara praktis, masa transisi menyenangkan antara lain bisa diterapkan dengan tidak mengadakan tes masuk calistung pada PPDB. Juga, menerapkan masa perkenalan bagi peserta didik baru selama dua minggu pertama. Orangtua dianjurkan ikut dalam masa perkenalan ini sehingga mereka memahami kondisi sekolah.

Selanjutnya, menerapkan pembelajaran yang membangun enam kemampuan fondasi anak yang dibangun secara kontinu dari PAUD hingga kelas dua SD.

Keenam kemampuan fondasi tersebut adalah:

1. Mengenal nilai agama dan budi pekerti;

2. Keterampilan sosial dan bahasa untuk berinteraksi;

3. Kematangan emosi untuk berkegiatan di lingkungan belajar;

4. Kematangan kognitif untuk melakukan kegiatan belajar;

5. Pengembangan keterampilan motorik dan perawatan diri untuk berpartisipasi di lingkungan belajar secara mandiri;

6. Pemaknaan belajar adalah suatu hal yang menyenangkan dan positif. ***

Sunday 14 May 2023

Bijaksana Memaknai Konsep "Ibu yang Sempurna"

Cantik, Cerdas, Multitask (Sumber: IStock Photo)

Bijaksana Memaknai Konsep "Ibu yang Sempurna"

Oleh Erry Yulia Siahaan

Menjadi ibu yang sempurna menjadi semacam label atau predikat yang dianggap penting bagi perempuan, khususnya para ibu. Jika tidak diwaspadai, keinginan untuk mengejar predikat itu justru bisa menjadi bumerang dan membuat kita terperangkap.

Sudah menjadi kelaziman dalam norma berkeluarga bahwa seorang perempuan akan disoroti, apakah dia bisa menjadi ibu yang sempurna ataukah tidak. Dari perihal mengurus anak dan rumah hingga ke urusan tetap bisa cantik, cerdas, dan sukses dalam karir.

Sorotan "ibu yang sempurna" kerap disertai ukuran yang kurang realistis dan kurang nyaman bagi perempuan pada umumnya. Bahkan, penuh kritik dan kata-kata pedas jika tidak terpenuhi. Herannya, "norma" itu tetap saja ada di tengah masyarakat.

Saya katakan kurang realistis dan kurang nyaman karena sejujurnya ukuran yang dipakai dianggap universal alias pukul rata, padahal kondisi setiap perempuan tidaklah sama. Begitu pula budayanya.

Buat sebagian perempuan, ukuran itu terlalu tinggi. Bila memaksakan diri untuk "mencapainya", mereka bisa "menjadi orang lain", bukan menjadi "diri sendiri". "Menjadi orang lain" pada banyak titik adalah kesia-siaan, bahkan menambah beban.

Sebagaimana pernah saya tuliskan, menjadi orang lain merupakan pekerjaan yang melelahkan. Sebab, hal itu menguras energi, usaha, dan waktu, bahkan dana, yang tidak jelas ujungnya sampai di mana. Di atas langit masih ada langit. Artinya, tidak ada sesuatupun yang sempurna di dunia ini. Satu pun tidak. Bahkan, ukuran, sorotan, label, atau predikat itu sendiri pun tidak sempurna.

"Ibu yang Sempurna"

Bagaimana sebenarnya pandangan atau konsep yang benar mengenai "ibu yang sempurna"? 

Jawabannya, tidak bisa dipukul rata. Ibu yang baik terjewantahkan secara beragam antarbudaya. Tiap kultur memiliki cara berinteraksi yang berbeda, begitu pula dalam hal busana, pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, nilai-nilai adat, jam kerja dan apa yang dilakukan, dan sebagainya.

Yang termasuk umum dan sudah terlanjur terinternalisasi antara lain: seorang perempuan harus menghasilkan keturunan sebelum dia bisa disebut "ibu", bisa menyusui anaknya untuk bisa disebut "ibu yang sempurna".

Ibu yang sempurna adalah ibu yang pagi-pagi sudah bangun (lebih dulu bangun daripada suami dan anak-anak), masuk dapur, menyiapkan sarapan dan bekal untuk dibawa ke kantor dan sekolah, membereskan rumah dan tugas lain, memasak untuk makan siang dan malam, mencuci pakaian dan menyeterika.

Bahkan, kalau perlu, bisa menjahit, mahir memasak, rajin, tetapi tetap cantik, langsing, dan rapi, sehingga mengundang pujian ketika tampil sebagai ibu di depan anak dan teman-temannya dan sebagai isteri di depan komunitas suaminya.

Dapur rumah dibuatnya selalu bersih dan kinclong. Semua ruang tidur di rumah tertata rapi dan harum. Urusan kesehatan suami dan anak-anak beres di tangannya. Dia didapati pula rajin beribadah. Seandainya pun dia perempuan yang bekerja (wanita karir), dia tetap mampu memenuhi ukuran itu.

Mungkin ada yang mengatakan, "oh, itu bukan saya". Tunggu dulu. Pernahkah yang mengatakan itu merasakan hal-hal ini: Pernah atau kerap harus menekan dan mengalahkan kebutuhan, keinginan, dan kepribadiannya yang sejati demi mengejar target-target tertentu agar mendapatkan pengakuan bahwa dirinya hebat, sempurna, atau semacamnya?

Atau, di zaman digital sekarang ini, di mana media sosial menjadi media lumrah di tangan para ibu. Pernahkah kita jepret sana jepret sini, dengan gaya yang diatur dulu, kalau perlu memasang muka cerah, dengan senyum merekah, dan mengulangi bidikan kamera sampai fotonya pas dengan selera? Lalu, foto-foto itu kita pasang di facebook atau instagram misalnya, untuk kemudian bolak-balik kita pantau responnya. Entah itu sekadar tanda jempol, tanda "love", atau pujian di kotak komentar?

Jika iya, bagaimana kita merefleksikan semua itu, khususnya jika senyuman itu tidak menggambarkan kondisi sebenarnya. Juga keakraban yang kita coba kesankan melalui foto-foto itu, khususnya ketika kita bersama keluarga, bukanlah potret yang sesungguhnya?

Menjadi Diri Sendiri

Ini kisah Lia, ibu dari dua anak. Saat mengandung anak keduanya, yang sudah dinantinya sekitar tujuh tahun, Lia diketahui hamil. Awalnya, Lia tersandung saat berjalan kaki. Kemudian, dia menemukan ada flek darah pada pakaian dalamnya. Lia curiga dirinya hamil, karena sudah telat haid beberapa hari. Namun, dia perlu melakukan tes untuk memastikannya.

Hasil tes adalah positif. Lia langsung ke dokter kandungan. Dokter bertanya, apakah kandungan itu ingin dipertahankan? Kalau ya, berarti Lia harus banyak beristirahat. Bahkan untuk beberapa waktu ke depan, mesti bed-rest dan meminum obat penguat rahim.

Lia langsung memutuskan akan mempertahankan kandungannya, meskipun itu berarti dia harus menunda pendidikan pascasarjananya, banyak bolos dari pekerjaannya, dan seterusnya. Juga harus rela makan banyak-banyak agar bayi dalam kandungannya bisa bertambah berat badannya. Berat badan Lia sudah mencapai lebih dari seratus kilogram, dari yang semula sekitar enampuluh. Lia tidak berani lagi menimbang berat badannya, tetapi dia terus mengikuti saran dokter: makan banyak-banyak agar bayinya bisa bertambah berat badannya.

Bayinya lahir prematur melalui sesar. Lia memutuskan mengambil kamar di rumah sakit meskipun harus membayar. Tujuannya, agar bisa setiap hari berdekatan dengan bayinya, yang sekitar dua minggu di ruang NICU. Lia akhirnya pulang bersama bayinya dalam keadaan sehat dan penuh sukacita. Tetap bersukacita dan bersyukur, kendati kemudian dia harus melepas pendidikan pascasarjananya kala itu dan kehilangan pekerjaan.

Lia tidak peduli apa pandangan orang mengenai dirinya, yang tubuhnya menjadi sangat gemuk karena membela bayinya. Juga soal air susunya yang sedikit sekali sehingga bayinya dominan minum susu formula. Atau, ketika dia memberikan kebebasan kepada anak-anaknya yang memilih mengikuti jalannya: untuk tidak terbuai pada berselfie-ria di media sosial, tidak malu membawa kue buatan rumah untuk dijual kepada teman-teman ke kampus atau sekolah, beralaskaki sederhana dan murah serta harus berbasah-basah manakala datang hujan.

Lia ingin menjadi dirinya sendiri. Karena dirinyalah yang lebih tahu tentang kondisi dan kebutuhannya. Bukan orang lain, bukan label atau predikat yang berseliweran di sekitarnya, pun para penganutnya.

Sikap Lia patut diapresiasi. Konsep "ibu yang sempurna" lebih berwarna mitos dan bisa menjerat perempuan karena rasa ketakutan yang ditimbulkannya. Ketakutan membuat perempuan menjadi tidak jujur pada dirinya sendiri dan antarperempuan bersikap saling menghakimi.

Kita mungkin bisa menjadi bertambah gemuk dan kurang cantik secara fisik, kehilangan pekerjaan di kantoran, tidak bisa melanjutkan studi, tidak bisa memberikan air susu ibu kepada anak, tidak sanggup membersihkan seluruh bagian rumah. Itu tidaklah berarti kita bukan ibu yang baik.

Melakukan segala sesuatu tanpa tekanan adalah awal menjadi diri sendiri. Kelegaan dan keikhlasan melakukan tugas seorang ibu demi bahagianya keluarga akan menjadi nilai-nilai yang baik buat diteruskan pada generasi berikutnya.

Tidak ada satupun formula yang berlaku bagi semua hal, semua kondisi, semua budaya, termasuk dalam hal mengurus anak atau menjadi ibu yang baik. ***

"Maafkan Aku, Aurellia"

Lukisan "Old Man in Sorrow" (“On the Threshold of Eternity”) karya Vincent van Gogh (Sumber: Fine Art America)

"Maafkan Aku, Aurellia"

Oleh Erry Yulia Siahaan

"Kalena," sambut lelaki tua itu begitu melihat sosok putri semata wayangnya muncul di balik pintu.

Seperti biasa, Kalena menaruh tas dan bawaannya di meja, kemudian menghampiri dan memeluk Luis, ayahnya.

Luis sedang duduk di samping tempat tidur. Tangannya masih memegang sisir. Dia baru saja selesai mandi dan tengah bersiap-siap menuju ruang makan.

Kalena mengambil kursi roda dan membantu ayahnya duduk di atasnya. Luis masih bisa berjalan. Namun, untuk sampai ke ruang makan, dia membutuhkan kekuatan ekstra jika berjalan kaki. Apalagi, hari itu, rencana Luis dan putrinya lumayan panjang.

Sabtu dan Minggu adalah dua hari ayah-anak itu berkumpul, dari pagi hingga menjelang tidur malam. Ada peraturan di rumah jompo itu, bahwa keluarga tidak boleh menginap. Jam jenguk dimulai pukul enam pagi hingga pukul sembilan malam.

Luis berusia 75 tahun. Belum terlalu uzur. Dia terlihat jauh lebih tua dari usianya. Mungkin lantaran terlalu banyak yang dipikirkan. Khususnya, kenangan tentang isterinya yang mati muda, meninggalkan Kalena yang belum selesai kuliah.

Tak ada habisnya Luis memikirkan isterinya dengan kata "seandainya ...." berulangkali. Ya. Luis penuh penyesalan, karena dia belum mengucapkan kata maaf sekali lagi pada saat-saat terakhir sebelum isterinya wafat. Juga, pernyataan cinta. Padahal, hal itu yang diinginkannya.

Aurellia, isteri Luis, pergi begitu cepat. Hanya beberapa hari di rumah sakit. Luis baru saja pulang untuk membawa pakaian kotor ke rumah, ketika perawat meneleponnya dan memberitahukan Aurellia sudah tiada.

Ketika Aurellia menunjukkan tanda-tanda kritis, perawat segera melakukan tindakan darurat yang sudah ditandatangani oleh Luis. Bahwa, jika sewaktu-waktu terjadi kondisi kritis, keluarga mengizinkan pihak rumah sakit melakukan tindakan darurat tersebut. Tindakan itu tidak bisa lagi menunggu Luis tiba kembali di rumah sakit, karena setiap detik sangat berharga untuk mengembalikan detak jantung Aurellia.

Penyesalan itu dibawa Luis hingga masa tuanya. Dia menyesal tidak bisa mengucapkan kata "maaf" kepada Aurellia pada saat-saat terakhirnya. Meskipun sebenarnya, hampir setiap hari Luis mengucapkan kata maaf kepada Aurellia selagi isterinya masih hidup. Permintaan maafnya itu untuk perbuatannya yang pernah satu kali terbilang kasar. Luis sama sekali tidak bermaksud melakukannya. Tapi, saat itu dia lepas kontrol.

Dia baru saja pulang dari sebuah acara pesta bersama Aurellia di sebuah kota saat Luis bertugas di luar negeri. Tidak seperti biasanya, malam itu Luis menenggak minuman keras cukup banyak. Aurellia juga heran.

"Ah, mungkin Luis sedang banyak beban di kantor," kata Aurellia dalam hati.

Setiba di rumah, Aurellia bermaksud membantu Luis melepaskan tuksedo dan jasnya, sementara Luis maunya langsung berbaring, bahkan tanpa melepas sepatu. Ulah yang janggal dan baru kali itu terjadi.

Aurellia sedikit bersikeras. Sebagai isteri, Aurellia merasa berkewajiban mengurus hal-hal seperti itu. Luis mendadak mendorong Aurellia hingga isterinya itu terdorong beberapa langkah dan kepalanya membentur tembok.

"Aaarrhh," teriak Aurellia sebentar, lalu mengusap-usap kepalanya. Aurellia menangis nyaris tanpa suara, dengan tatapan tidak percaya bahwa Luis bisa melakukan itu.

Mengetahui gerakan spontannya telah melukai Aurellia, Luis menyesal. Dia ikut menangis. Bahkan, lebih keras daripada tangisan Aurellia sambil berulangkali meminta maaf.

Kalena saat itu baru masuk kuliah dan tinggal di asrama di Indonesia. Dia tidak pernah mengetahui kejadian itu, hingga suatu hari, ketika ibunya tiada, dia menangkap-dengar ucapan ayahnya yang berkata "maafkan aku". Berulang-ulang, sambil sesunggukan.

"Ada apa, Dad," tanya Kalena. Sedari kecil dia terbiasa memanggil ayahnya dengan "Daddy" atau "Dad" dan ibunya dengan "Mommy" atau "Mom". Mereka sekeluarga memang sering berkomunikasi dalam bahasa Inggris.

Luis terperanjat. Semula dia tidak mau bercerita. Kalena penasaran. Luis akhirnya mengisahkan peristiwa itu.

Luis menyesal, karena dia tidak menyangka, dorongan spontannya waktu itu telah memicu laju perkembangan tumor di kepala Aurellia. Dua tahun setelah kejadian itu, Aurellia kerap makin sering sakit kepala.

Dulu, Aurellia memang pernah diketahui mempunyai benjolan tidak normal di kepala. Melalui serangkaian tes, benjolan itu dipastikan aman, sehingga tidak ada intervensi serius seperti tindakan operasi. Cukup minum obat jika pusing dan melakukan pemeriksaan berkala.

Sejak terbentur di tembok, Aurellia menjadi sering merasakan pusing. Dia pun ke dokter. Hasil tes menunjukkan, dia mengidap tumor ganas.

Dokter heran, mengapa benjolan itu malah menjadi ganas. Dia bertanya apakah Aurellia pernah mengalami trauma atau benturan sebelumnya. Aurellia tidak menjawab.

Namun, buat Luis, pertanyaan dokter itu membuat batinnya tertohok. Dia syok. Dia membayangkan hal terpahit yang mungkin terjadi pada isterinya dan hal itu karena ulahnya. Sejak itu dia bertekad, kalau waktu pahit itu harus tiba, dia tidak mau kehilangan momen "melepas" Aurellia tanpa meminta maaf dan menyatakan cintanya. Sekali lagi dan untuk yang terakhir kali.

Luis memang sangat mencintai isterinya. Mereka bertemu di sebuah kota di luar negeri, ketika ayah mereka masing-masing menjadi diplomat di negara itu. Mereka pernah ikut orangtua mereka ke suatu pesta. Cinta pada tatapan pertama membuat mereka rajin bertemu setelahnya.

Nama "Luis" adalah dari bahasa Portugis, yang berarti "prajurit yang kuat". Luis dilahirkan di Portugal sewaktu ayahnya menjadi diplomat di sana. Nama Luis diberikan sebagai pengingat jejak karir diplomasi ayahnya yang diplomat di Portugal. Sedangkan Aurellia berasal dari keluarga Inggris dan namanya berarti "bahagia".

Luis sudah berkomitmen membuat Aurellia selalu berbahagia, sesuai dengan makna namanya. Seumur pernikahan mereka, Luis selalu lembut kepada Aurellia. Sebaliknya, Aurellia makin cinta pada Luis dari hari ke hari.

Luis adalah pejabat tinggi di sebuah perusahaan besar. Dia dan Aurellia memberi nama putri tunggal mereka "Kalena". Itu sesuai dengan frasa dalam bahasa Ibrani "Callena" yang berarti "pintar berbicara". Luis ingin Kalena menguasai banyak bahasa dan pandai berkomunikasi, serta menjadi diplomat seperti ayah Luis.

Kalena sengaja menitipkan Luis di panti jompo. Maksudnya, supaya Luis banyak berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya dan tidak menjadi kesepian. Kesepian mudah memancing Luis menjadi banyak melamun. Beban pikirannya tampak begitu besar hingga tanpa sadar Luis akan bergumam sendiri dalam isakan, "maafkan aku".

Pada hari-hari kerja, Senin sampai Jumat, Kalena bekerja di luar kota, dua jam perjalanan jauhnya jika jalan tidak macet. Dia tidak sanggup untuk pergi pulang menyetir sendiri buat bekerja setiap hari. Selain itu, dia juga merasa butuh waktu untuk dirinya sendiri.

Itu sebabnya, dia memutuskan tinggal di apartemen. Jumat sore sepulang dari kerja, dari kantor dia langsung menuju kota kelahirannya untuk menghabiskan Sabtu dan Minggu bersama Luis.

Suatu pagi, di tengah rapat, Kalena mendapatkan telepon dari nomor penting dalam daftar kontaknya.

"Bapak Luis kritis. Sudah kami bawa ke rumah sakit," kata suara di seberang telepon. Dia adalah salah satu petugas di rumah jompo.

"Baik, saya segera ke sana," kata Kalena.

Tak lama kemudian, telepon berdering lagi. Kali ini dari tante Kalena, yang menanyakan bagaimana pendapat Kalena tentang tindakan darurat yang mesti dilakukan terhadap Luis. Keputusan harus diambil segera.

Luis didapati tidak sadarkan diri di kamar. Seorang petugas masuk kamar Luis, karena seusai sarapan Luis tidak muncul lagi hingga jam makan siang. Luis diduga terkena stroke.

Luis tidak bisa lagi bernapas sendiri. Rumah sakit menilai perlu dilakukan tindakan pemasangan ventilator untuk membantu pernapasannya. Hanya saja, ada ketentuan yang mengharuskan keluarga menandatangani surat pernyatan setuju pemasangan ventilator dan tindakan tambahan berupa resusitasi juga suatu saat jantungnya terindikasi berhenti. Persetujuan di atas materai diperlukan, karena tindakan-tindakan itu berisiko tinggi.

Perempuan berusia empatpuluhan itu meminta telepon diteruskan ke pihak rumah sakit dan menyerahkan wewenang persetujuan kepada tantenya. Kalena segera menemui atasannya dan meminta izin meninggalkan pekerjaan, karena situasi darurat yang menimpa ayahnya.

Selama dalam perjalanan pulang, Kalena berdoa, semoga dia masih bisa bertemu dengan ayahnya, meminta maaf karena tidak bisa maksimal merawat dan mendampinginya. Dia ingin meyakinkan ayahnya bahwa dia sangat mencintainya.

Dia berharap tidak ada telepon yang masuk dari rumah jompo atau pihak rumah sakit sebelum dia sampai. Hatinya cukup was-was karena tidak mau itu terjadi.

Kalena langsung menuju rumah sakit. Dia tidak tega melihat ayahnya sudah dipasangi alat bantu pernapasan. Selang besar dimasukkan ke tubuh Luis lewat mulut. Luis masih tidak sadarkan diri.

Dua hari Kalena tidak pulang. Dia menunggui Luis di rumah sakit, bersama tante dan kerabat yang lain. Dia tidak mau kehilangan momen seperti ayahnya terhadap ibunya.

Sama seperti Luis dulu, Kalena memikirkan kenyataan terpahit yang mungkin terjadi. Dia tidak mau beranjak dari kamar tunggu buat keluarga pasien rawat intensif.

Sama dengan para penunggu yang lain, dia terus berdoa mengharapkan mukjizat terjadi. Namun, dia juga harus siap jika sewaktu-waktu muncul pengumuman di pengeras suara: "keluarga Luis harap menemui dokter".

Panggilan yang biasanya berakhir dengan tangisan. Panggilan serupa itu menjadi penanda kondisi pasien pada tahap terminal kritis dan keluarga diberikan kesempatan untuk berdoa di ruang pasien, mengucapkan kata-kata akhir di telinga pasien.

"Pegang tangan Tuhan, Dad," kata Kalena. "Maafkan Kalena, belum bisa maksimal mengurus Daddy. Kalena sayang Daddy."

 ***

Mata Kalena berkaca-kaca. Di tangannya, sepucuk surat sudah lepas dari amplopnya. Dia duduk di ruang khusus di rumah jompo. Petugas meninggalkannya sendirian untuk membaca surat itu.

"Maafkan Daddy, Kalena. Daddy sayang pada Kalena. Peluk kasih Daddy untuk Kalena," demikian kata-kata di ujung surat itu.

Luis ingin memastikan bahwa dirinya tidak ingin mengulangi penyesalannya, kehilangan momen untuk meminta maaf dan menyatakan rasa sayangnya kepada Kalena, putri semata wayangnya. ***

 

Bogor, 14 Mei 2023

Friday 12 May 2023

Puisi Akrostik: Media Sosial

 

Catatan: Puisi ini ditulis untuk memenuhi tantangan Kamis Menulis - kegiatan rutin tiap Kamis dalam komunitas Cakrawala Blogger Guru Nasional (Lagerunal) yang pekan ini bertema "Media Sosial".

Puisi Akrostik: Media Sosial

 


Wednesday 10 May 2023

Ditemukan, Mikroba Pengurai Plastik pada 15°C

(Sumber: Nick Fewings/Unsplash)

Ditemukan, Mikroba Pengurai Plastik pada 15°C

Oleh Erry Yulia Siahaan

Para ilmuwan Swiss menemukan mikroba di Pegunungan Alpen dan kawasan kutub Arktik yang dapat mencerna plastik pada suhu rendah.

Tim peneliti mempublikasikan temuan mereka itu pada jurnal ilmiah Frontiers in Microbiology Volume 14 Tahun 2023 yang terbit Senin (10 Mei 2023). Periset berasal dari dua lembaga di Swiss, yakni Swiss Federal Institute for Forest, Snow and Landscape Research WSL, Birmensdorf, dan Institute of Biogeochemistry and Pollutant Dynamics, Swiss Federal Institute of Technology ETH, Zurich.

Meskipun penelitian ini bisa dianggap “menjanjikan” karena manfaatnya terhadap lingkungan dan bagi terbukanya bisnis baru, tetap harus diingat bahwa plastik yang diteliti di sini adalah jenis plastik biodegradable dan risetnya masih bersifat awal. Artinya, langkah-langkah yang sudah diperketat terhadap penggunaan plastik jangan diperkendor.

“Di sini kami menunjukkan bahwa taksa mikroba baru yang diperoleh dari plastisfer di tanah Pegunungan Alpen dan Arktik mampu memecah plastik biodegradable pada suhu 15°C,” kata penulis pertama Dr Joel Rüthi, yang saat ini menjadi ilmuwan tamu di WSL. “Organisme ini dapat membantu mengurangi biaya dan beban lingkungan dari proses daur ulang enzimatik untuk plastik.”

Plastisfer adalah bagian dari ekosistem global yang berbasis plastik, terutama sampah plastik yang mengambang dan mikroba serta organisme lain yang hidup di atasnya.

Joel Rüthi dan kelima rekannya mengisolasi sampel dari 34 galur mikroba tahan dingin – terdiri dari 19 galur bakteri dan 15 galur jamur – yang ada pada plastisfer, baik dari plastik yang sengaja dikuburkan di tanah Alpine dan Arktik selama uji coba maupun dari plastik yang dikumpulkan langsung dari lingkungan sekitar Arktik.

Mereka kemudian meneliti kesanggupan mikroba itu untuk menguraikan plastik pada suhu 15°C, yakni untuk plastik jenis polietilen konvensional (conventional polyethylene, PE) yang non-biodegradable dan poliester poliuretan (polyester-polyurethane, PUR) yang biodegradable; dua campuran polybutylene adipat terephthalate (PBAT) dan asam polilaktat (PLA) yang tersedia secara komersial dan bersifat biodegradable, serta PBAT murni dan PLA murni.

Galur mikroba itu tepatnya berada di Greenland, Svalbard, dan Swiss. Sebagian besar sampah plastik dari Svalbard dikumpulkan selama Proyek Arktik Swiss 2018, di mana mahasiswa melakukan kerja lapangan untuk menyaksikan dampak perubahan iklim secara langsung. Tanah dari Swiss dikumpulkan di puncak Muot da Barba Peider (2.979 m) dan di lembah Val Lavirun, keduanya berada di Graubünden.

Para ilmuwan membiarkan mikroba yang diisolasi tumbuh sebagai biakan galur tunggal di laboratorium dalam kegelapan dan suhu 15°C dan menggunakan teknik molekuler untuk mengidentifikasinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strain bakteri termasuk dalam 13 genera dalam filum Actinobacteria dan Proteobacteria, dan jamur dalam 10 genera dalam filum Ascomycota dan Mucoromycota.

Rangkaian tes dilakukan untuk melihat strain mana yang mampu mencerna sampel steril PE yang non-biodegradable dan PUR yang biodegradable, serta dua campuran biodegradable PBAT dan PLA.

Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada satu galurpun yang mampu mencerna PE, bahkan setelah 126 hari inkubasi pada plastik tersebut. Tetapi 19 galur (56%) - 11 jamur dan delapan bakteri - mampu mencerna PUR pada suhu 15°C. Sementara 14 jamur dan tiga bakteri mampu mencerna campuran plastik PBAT dan PLA, masing-masing 12 galur untuk produk komersial A dan 5 galur untuk produk B.

Resonansi Magnetik Nuklir (NMR) dan uji berbasis fluoresensi menegaskan bahwa strain itu mampu memotong polimer PBAT (delapan galur) dan PLA (tujuh galur) menjadi molekul yang lebih kecil. Uji ko-hidrolisis memperlihatkan banyak galur yang mampu melakukan depolimerisasi PBAT.

Selain itu, dua galur jamur - Neodevriesia dan Lachnellula – menunjukkan performa terbaik karena terbukti mampu mendegradasi semua bahan plastik biodegradable yang diujikan, yang membuat kedua galur ini “menjanjikan” untuk diaplikasikan secara luas.

Dilaporkan pula, kemampuan untuk mencerna plastik bergantung pada media kultur untuk sebagian besar galur, dengan masing-masing galur bereaksi berbeda terhadap masing-masing dari empat media yang diuji.

 “Sangat mengejutkan bagi kami bahwa kami menemukan sebagian besar galur yang diuji mampu mendegradasi setidaknya satu dari plastik yang diuji,” kata Rüthi.

Mikroorganisme tahan dingin yang dapat menghasilkan enzim yang aktif pada suhu rendah sangat diinginkan untuk industri daur ulang, karena berpotensi menghemat energi dan biaya pemrosesan dengan menghilangkan langkah pemanasan. Enzim tahan dingin dengan kekerapannya memiliki spesifisitas substrat yang lebih luas dibandingkan dengan enzim mesofiliknya dinilai bermanfaat untuk depolimerisasi dan untuk mencegah terjadinya reaksi samping yang tidak diinginkan pada suhu tinggi, sehingga meningkatkan kemurnian produk.

Potensi degradasi plastik dari mikroorganisme tahan dingin masih jarang dikaji. Sampai saat ini belum ada strain mikroba dengan kemampuan untuk mendegradasi plastik sejenis PUR, PLA dan PBAT pada suhu di bawah 20°C.

Menemukan, membiakkan, dan merekayasa mikroba tersebut dinilai tidak hanya akan menjadi solusi penting dalam mengatasi polusi, tetapi juga menjadi bisnis besar. Namun, sekali lagi, perlu diingat pula bahwa jenis plastik yang diuji dan berhasil diuraikan di sini adalah plastik yang biodegradable. Jadi, penggunaan terbatas plastik tetap perlu menjadi perhatian, apalagi masih banyak plastik yang non-biodegradable. ***

Friday 5 May 2023

Membesarkan Anak pada Era Digital

Ilustrasi warga digital global. (Sumber: imgbin.com)

Membesarkan Anak pada Era Digital

Oleh Erry Yulia Siahaan

Salah satu masalah besar bagi para orangtua dewasa ini adalah membagi waktu secara seimbang antara pekerjaan dan kehidupan keluarga. Di satu sisi, mereka harus terus mencari nafkah, memperhatikan karir atau pekerjaan, untuk menjamin finansial dan masa depan keluarga. Di sisi lain, mereka juga harus memperhatikan relasi dalam keluarga, terutama dengan anak-anak, agar usaha mereka yang notabene untuk anak-anak tidak menjadi sia-sia.

Isu terkait anak yang cukup serius hari-hari ini adalah bagaimana anak bisa bertumbuh dan berkembang dengan baik di era digital. Orangtua perlu memfasilitasi kebutuhan digital bagi pembelajaran anak, tetapi juga tetap mengawasi sampai anak benar-benar dapat berteknologi dengan bijaksana.

Kemajuan teknologi dan informasi terjadi begitu pesat. Selain bermanfaat, kemajuan ini membawa risiko, misalnya bahaya online berupa cyberbullying; berseliwerannya konten yang tidak pantas, khususnya bagi anak-anak; pencurian identitas; dan sebagainya.

Begitu pesat kemajuan teknologi, hingga kita sekarang ini tidak terheran-heran bila melihat ada seorang anak, bahkan bayi, sudah biasa memegang handphone (HP) misalnya. Ada orangtua yang menjadikan HP seperti mainan untuk meredakan kerewelan anak.

Ah, yang penting nggak rewel,” begitu pandangan sebagian orangtua. Tentunya pandangan ini keliru. Namun, mereka juga tidak mau disalahkan sepenuhnya, terutama karena harus bekerja.

Di banyak sekolah, perangkat digital sudah menjadi kebutuhan pokok dan menjadi keharusan. Bukan lagi sekadar penunjang. Di rumah, mau tidak mau, keluarga mengupayakan juga kebutuhan digital anak agar syarat belajar terpenuhi optimal.

Ini menjadi semacam dilema bagi orangtua. Keamanan finansial dan keamanan digital sama-sama penting. Lantas, bagaimana menyikapinya?

Perangkat digital dan meluasnya penggunaan media sosial memang tidak terhindarkan. Ini adalah dunia yang harus dikenal oleh anak-anak, jika mereka tidak mau tergilas oleh persaingan zaman.

Perangkat digital dan media sosial sebenarnya merupakan sarana belajar yang baik dan bukan untuk dihindari. Sama ketika buku-buku mulai membanjiri sekolah dan rumah-rumah, menggantikan pelan-pelan ceramah bapak-ibu guru di depan kelas yang kala itu menjadi sumber belajar teramat penting karena buku bacaan masih serba terbatas.

Murid-murid menggunakan batu tulis dan kekuatan menghafal sebagai media belajar. Guru memberikan satu materi. Murid-murid mencatat dengan kapur di atas batu tulis, lalu selekasnya dan sekuatnya mereka menghafal yang ditulis, sebelum batu itu dibersihkan lagi untuk memuat materi belajar yang lain.

Pada suatu ketika, kehadiran buku-buku tidak terhindari, namun bukan tanpa risiko. Konten-konten tidak mendidik bagi anak tetap bisa muncul sebagai risiko melalui buku. Namun, melihat perkembangan zaman dan kebutuhannya, buku menjadi keharusan.

Zaman berubah, media dan sumber belajar ikut berubah. Teknologi digital sudah menjadi kebutuhan. Orangtua tidak mungkin meniadakan kebutuhan itu, apalagi ketika teknologi itu sudah menjadi media belajar wajib di sekolah. Anak-anak diharapkan dapat belajar dan berkreasi semaksimal mungkin melalui media tersebut. Tugas orangtua memastikan bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak tetap bisa maksimal dan aman.

Sama dengan perangkat digital dan media sosial, sebenarnya buku-buku dan media belajar yang lain juga bisa berisiko terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Hanya saja, kecepatan dan besar dampak dari teknologi digital jauh lebih dahsyat. Laju kemajuannya begitu cepat. Arus informasi begitu deras. Sementara kemampuan mengawasi relatif lebih sulit, apalagi bagi orangtua yang belum atau baru melek teknologi.

Setiap anak sekarang ini sangat mungkin sudah memiliki HP dan komputer portabel sendiri. Di kamar, kita tidak tahu apa yang mereka akses, kecuali kita mengawasinya 24 jam, sesuatu yang mustahil dilakukan, apalagi oleh orangtua yang bekerja.

Karena tidak mungkin meniadakan kebutuhan digital anak, tetapi juga keamanan berdigital tetap harus diperhatikan, orangtua perlu menyusun strategi yang baik agar manfaat digital bisa diperoleh secara maksimal, begitu pula tumbuh-kembang anak-anak mereka.

Sepuluh Tips

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya, berikut ini beberapa tips yang bisa dilakukan oleh orangtua untuk menjawab tantangan tersebut:

Pertama, orangtua perlu memahami perkembangan teknologi digital itu sendiri dan mengenali manfaat dan dampaknya. Orangtua perlu mengikuti tren dan aplikasi terbaru agar bijaksana dalam mengambil keputusan terkait teknologi.

Kedua, berdasarkan pemahaman itu, orangtua perlu tetap intens menjalin relasi/komunikasi dengan anak-anak, untuk memberitahukan risiko dan manfaat teknologi, serta menetapkan pedoman yang jelas dalam penggunaannya. Orangtua juga perlu menjajaki sejauh mana keterlibatan mereka pada teknologi ini dan sebesar apa pemahaman mereka mengenai untung-rugi dari penggunaannya.

Ketiga, orangtua perlu menetapkan batasan penggunaan teknologi digital ini, khususnya bagi anak-anak di bawah umur. Misalnya, dengan menetapkan jam belajar dalam penggunaan perangkat digital. Kalau perlu, orangtua mendampingi ketika anak-anak mengakses teknologi tersebut. Menampingi anak akan membuat anak tidak merasa sedang dimata-matai. Mereka juga akan mempunyai lebih banyak kenangan manis bersama keluarga yang bakal berpengaruh baik bagi perkembangan jatidiri.

Bagi yang remaja dan dewasa, kebutuhan teknologi digital relatif lebih intens. Pembatasan jam pemakaian hampir tidak mungkin dilakukan. Orangtua bisa menerapkan langkah keempat.

Keempat, orangtua perlu membuat “kontrak media” di tengah keluarga, terkait jam penggunaan dan keterbukaan mengakses perangkat tersebut. Orangtua perlu memastikan bahwa mereka bisa mengakses teknologi itu kapan saja, untuk memeriksa jika dianggap perlu mengenai riwayat penggunaan teknologi tersebut. Orangtua perlu memantau aktivitas online anak, apakah sesuai dengan usia mereka. Kalau perlu, orangtua menetapkan batasan usia untuk konten pada penggunaan perangkat. Saat ini sudah tersedia beberapa aplikasi yang bisa dimanfaatkan oleh orangtua untuk membatasi dan mengawasi konten digital yang diakses oleh anak.

Kelima, orangtua harus bisa menjadi role-model dalam kebiasaan menggunakan teknologi secara sehat. Misalnya, lebih fokus pada keluarga, bukan pada HP atau gadget, ketika berada di rumah. Mereka juga harus menjadi contoh dalam penggunaan perangkat digital pada jam-jam tertentu. Anak akan melihat bahwa orangtua mereka ternyata juga tidak sembarangan dalam menggunakan teknologi digital.

Keenam, orangtua perlu mulai mengajarkan pengelolaan uang sejak dini pada anak-anak, mencakup perencanaan keuangan serta disiplin dan bertanggungjawab dalam penggunaan uang. Dimulai dari hal sederhana, misalnya dengan membiasakan menabung dan hidup berhemat, memberi contoh untuk tidak konsumtif dalam membeli barang-barang, membeli barang berdasarkan fungsinya dan bukan gengsinya, membeli barang karena dibutuhkan dan bukan karena sekadar diinginkan, dan sebagainya.

Ini merupakan bagian penting bagi setiap orangtua agar realistis dalam kehidupan, mengenai kesanggupan belanjanya dan kebutuhan yang ada di rumah. Orangtua perlu menetapkan tujuan dan memiliki prioritas yang jelas.

Dengan melatih anak soal pengelolaan keuangan, orangtua sebenarnya telah memulai mengambil langkah untuk mengurangi beban dari tuntutan anak yang tidak perlu. Semakin anak mengerti, semakin mereka tidak rewel dan membuat orangtua stres jika mereka menginginkan sesuatu.

Anak-anak menjadi lebih mengerti ketika misalnya keinginan mereka untuk membeli gadget baru tidak dikabulkan. Mereka lebih bisa menghargai barang-barang yang dimiliki dan lebih bertanggungjawab dalam menggunakannya.

Ketujuh, sebagai pemimpin di tengah keluarga, orangtua perlu melatih kerjasama dengan anak-anak, misalnya dengan pendelegasian beberapa tugas rumah. Bagi orangtua, pembagian tugas akan meringankan beban dan memberikan alokasi waktu lebih banyak untuk tugas yang lain. Bagi anak, pembagian tugas merupakan pengalihan sejenak dari keinginan mengakses teknologi sekaligus melatih anak lebih mandiri dalam berbagai pekerjaan.

Kedelapan, orangtua perlu menjalin relasi dengan komunitas khusus terkait masalah ini, termasuk komite orangtua di sekolah anak. Kemitraan dengan sesama orangtua akan membantu dalam hal meng-update informasi dan berbagi pengalaman.

Kesembilan, orangtua perlu bersikap sabar, tenang, disiplin, dan berpikir positif mengenai segala sesuatunya. Karakter demikian akan berguna ketika berkomunikasi dengan anak dan merespon setiap persoalan, sehingga komunikasi berjalan efektif dan tepat sasaran.

Kesepuluh, orangtua perlu menjadi imam dalam keluarga dan contoh dalam iman. Kedekatan relasi keluarga dengan Tuhan akan memudahkan keluarga untuk mencari solusi ketika terjadi masalah. Keluarga tidak mudah panik, bisa tetap fokus dan tenang, sehingga setiap solusi benar-benar berdasarkan pertimbangan yang bijaksana dan matang. ***

3 Cara Membangun Ikatan Erat dengan Anak, Orangtua Mesti Tahu

Ikatan erat antara orangtua dan anak berpengaruh besar dalam optimalisasi kesejahteraan anak. Hubungan itu bisa dibangun lewat komunikasi ...