Sunday, 5 February 2023

Cukup Dibayar dengan Cinta

Oleh Erry Y Siahaan

Hari ini masuk tagihan ke telepon genggamku. Bukan soal cicilan hutang seperti yang pernah kuterima pada hari ketiga suamiku meninggal. Bukan. Bukan pula dari sepupu suamiku seperti dari mana tagihan hutang waktu itu datang. Bukan. Ini soal anjing. Dari adik perempuanku tersayang.

Mengilasbalik kisah bagaimana lebih dari 40 ekor anjing akhirnya menjadi piaraan sekaligus sahabat-sahabatnya, sungguh menarik. Sertiana, namanya, adikku, perempuan bungsu dari 11 bersaudara. Beberapa tahun yang lalu, gangguan kesehatan menjadi lebih serius dirasakannya. Adopsi anjing dari seorang teman, sangat menghiburnya.

Si mungil kemudian diberi nama Shadow, sesuai dengan bulu-bulu hitamnya yang kadang seperti bayangan di sela bulunya yang putih dominan. Juga senada dengan sifat garangnya di balik kesannya yang lembut, imut, dan kadang apatis. Adikku kemudian mendapatkan lagi seekor anjing betina yang kemudian diberi nama Blacky, karena hampir semua bulunya berwarna hitam.

Shadow dan Blacky sungguh menghibur hati. Adikku bahagia sekali. Tak habis-habisnya dia mengajak bicara dan membelai. Layaknya sahabat sejati.

Shadow beranjak besar, tapi postur tubuhnya tetap mungil. Musim kawin tiba. Blacky bunting dan melahirkan enam anak anjing, tiga jantan dan tiga betina. Anak-anak hewan itu diberi nama lucu-lucu, sesuai dengan tubuh dan kebiasaan mereka: Platty, Belty, Smally, Sleepy, Missy, dan Felly. Dinamai Platty karena bentuk tubuhnya yang lebih rata dari yang lain. Belty memiliki area berbulu hitam yang mengelilingi pinggangnya, seperti ikat pinggang di tubuh putihnya. Smally dinamai sesuai dengan tubuhnya yang berukuran kecil. Sleepy suka banyak tidur dengan merebahkan tubuhnya di lantai. Missy terlihat nyaman dengan bersembunyi di sudut ruangan atau di bawah meja, sehingga Sertiana sering memanggilnya jika waktu makan tiba. Felly suka sekali dekat-dekat dengan Soso, satu-satunya kucing di rumah Sertiana.

Namanya juga jantan, Shadow suka mengincar dan balik dilirik oleh anjing tetangga, yang suka dibawa keliling pada petang hari oleh bosnya. Coklat, lokal, tegap, si betina. Panjang juga ceritanya, sampai akhirnya si Browny menjadi milik adikku juga. Jadi, ada sepuluh hewan piara di rumah adikku saat itu, atau bahkan lebih jika ikan-ikannya juga mau dihitung

Adikku bertambah sukacita. Dia dan suami bergirang hati mengurus makhluk-makhluk itu. Banyak tawa di rumah mereka. Hari-hari berlalu. Tak terasa, waktu demi waktu mereka lewati dengan nikmat, bersama makhluk-makhluk baru, baik sepulangnya kerja maupun jika mereka seharian di rumah.

Dana? Cukuplah untuk merawat Shadow, Blacky, dan lainnya. Tak terpikir untuk segera mensteril hewan-hewan itu. Pikirnya, ah nanti saja, toh anak-anaknya masih kecil dan Blacky baru saja melahirkan. Cukuplah ada jeda waktu untuk Blacky buat istirahat dulu, tidak mungkinlah dia langsung bunting lagi, begitu pikirnya. Akhirnya, sterilisasi ditunda, hingga pada suatu waktu dilihatnya Blacky kembali berbadan dua.

Adikku makin serba salah. Terpikir bakal makin repot kalau kelahiran kedua nanti bakal memadatkan populasi di rumahnya. Dana pun tentu makin bengkak. Mau memberikan anjingnya kepada orang, dia tidak tega. Pernah dicobanya, tapi baru satu-dua hari, itu saja yang dipikirkannya. Akhirnya, dia berusaha mempertahankan mereka yang tersisa.

Begitu seterusnya, bukan Blacky saja yang melahirkan, tapi juga Browny dan Missy beserta saudara-saudaranya. Hingga akhirnya jumlah anjing menjadi 40 ekor lebih. Astaga. Terbayang bukan, bagaimana repotnya. Sementara kesehatan adikku makin buruk, tapi masih kuat berdiri, berjalan, dan diboncengi motor kalau ke tempat kerja atau ke dokter untuk kontrol.

Baca juga: If I Were Sertiana

Melalui media sosial (medsos), adikku menebar info butuh donasi. Puji Tuhan, sejak itu, ada saja bantuan. Adikku juga mencari jalan agar semua anjingnya bisa disterilisasi. Puji Tuhan. Doanya terkabul. Ada pesan agar, jika adikku memang ingin melepas, anjing-anjing itu tidak sembarang dipindah-tangan. Harus ada perjanjian, bahwa anjing-anjing itu akan mendapatkan cinta sebagai jaminan. Bukan siksaan. Bukan untuk dipotong dan dimakan.

Sepuluh ekor sudah masuk ke shelter. Beberapa ekor sampai ke tangan Pak Lurah. Beberapa lainnya ke satu dua rumah. Sisa 20-an ekor. Gemuk-gemuk dan sehat-sehat.

Bagaimana adikku tidak jatuh hati, melihat mereka berjalan dengan ekor dikibas-kibas saja sudah gemas rasanya. Postur tubuh dan peta hitam putih atau putih coklat yang unik membuat anjing-anjing ini lekas sekali diminati. Ada yang tubuhnya kekar dan berbentuk seperti sapi Bahrain atau sapi Bali, dengan tubuh coklat muda seperti ibunya, Browny. Ada yang kombinasi hitam putihnya sedemikian rupa sehingga membuat muka salah satu anjing jadi seperti burung hantu. Ada yang brewok banget. Ada yang kalem, ada yang egois, ada yang happy dan lincah sekali.

Kalau datang ke rumah adikku, anda pasti beruntung bisa mendengar lolongan anjing di loteng rumah, mengikuti aba-aba sang komandan pada apel bendera pagi atau sore lewat pengeras suara, dari kantor dekat rumahnya. Komandan berhenti, anjing-anjing ikut berhenti. Komandan bersuara, anjing-anjing ikut bersuara. Juga kalau terdengar lagu dari kantor itu. Rumah adikku itu memang pas di samping kantor itu, hanya berbatasan dengan tembok.

Kembali ke soal tagihan. Adikku sekarang sudah di kursi roda. Untuk mengurus mereka seperti dulu, tentu tidak bisa. Belum lagi, gajinya dipotong karena harus bayar hutang dan bolong-bolong kerja. Donasi menipis. Bisa dibayangkan, berapa biaya untuk memberi makan mereka. Seminggu bisa habis cukup banyak telur, ceker ayam, ati ayam, daging, nasi, Dog Choice (nama makanan pabrik yang disukai oleh anjing-anjingnya), dan sebagainya. Untuk melepas sebagian lagi anjing-anjingnya, Sertiana sudah bersedia, tapi dia mengharapkan bertemu dengan pecinta hewan sejati, yang sesuai antara perbuatan dengan janjinya untuk merawat dengan baik teman-temannya itu.

Ketika berkunjung beberapa waktu lalu, aku sampaikan niatan akan menebar info butuh bantuan via medsos dan jejaringku. Sudah ada beberapa foto dan video yg kubuat, tapi kurang baik hasilnya. Hewan-hewan piara itu tidak bisa diam. Maklum, belum cukup kenal denganku, sehingga malu tapi mau ketika disyut. Yang kulakukan sementara adalah melacak pecinta hewan dan beberapa lembaga donasi, tanpa menyertakan foto, dan langkah ini belum membuahkan hasil. Lembaga donasi dan pecinta hewan memang rata-rata baru mulai bangkit lagi setelah terimbas dampak pandemi Covid-19.

Aku menunggu foto-foto dari adikku dan iparku. Hingga akhirnya, Minggu sore, tagihan itupun datang.

"Kak, sudah ada belum Dog Choice-nya," tanya adikku, yang berharap tangan-tangan penuh cinta mau memudarkan kesedihan di hatinya, meringankan bebannya.

Bagaimana aku tidak merasa iba. Belum, jawabku. Selekasnya kuingatkan lagi tentang foto-foto yang kuminta. Segera dikiriminya, tapi kurang bagus, buram. Itu karena telepon genggam adikku memang sudah kurang bisa diandalkan untuk memotret.

Sambil menunggu foto-foto yang bagus datang, dengan gerak cepat ku-chat teman-temanku dan kuperbarui status WhatsApp-ku dan kutulis, "Mau adopsi juga boleh, cukup dibayar dengan cinta. Bukan untuk dimasak/dimakan."

Ah, semoga saja terbuka jalan. Tidak ada yang namanya perpisahan untuk persahabatan, tetapi cukup terbuka pilihan untuk meneruskan perawatan oleh adikku terhadap teman-temannya. Amin.***


No comments:

Post a Comment

3 Cara Membangun Ikatan Erat dengan Anak, Orangtua Mesti Tahu

Ikatan erat antara orangtua dan anak berpengaruh besar dalam optimalisasi kesejahteraan anak. Hubungan itu bisa dibangun lewat komunikasi ...