Friday, 28 April 2023

Pandangan Psikologi: Daur Ulang Kurang Efektif untuk Keberlanjutan Lingkungan

 

Tempat sampah pilahan. (Foto: Nareeta Martin/Unsplash)

Pandangan Psikologi: Daur Ulang Kurang Efektif untuk Keberlanjutan Lingkungan

Oleh Erry Yulia Siahaan
 
Sebuah ulasan psikologi tentang lingkungan muncul dalam Psychology Today akhir pekan lalu. Pesan intinya: daur ulang ternyata jauh lebih kecil peranannya dalam keberlanjutan lingkungan daripada yang selama ini dipikirkan oleh banyak orang.

Bahkan, daur ulang atau recycling memicu penggunaan bahan-bahan sekali pakai, bukannya mendorong reducing (mengurangi) dan reusing (menggunakan ulang), yang justru lebih hemat.

Dr. Joshua Rottman dalam tulisannya yang bertajuk "Recycling Isn't Virtuous; It's Making Thing Worse" menegaskan, sebaiknya kita sekarang fokus pada reducing (mengurangi) dan reusing (menggunakan ulang). Dia menyayangkan bahwa selama ini daur ulang justru terus dipuji sebagai cara yang etis atau paling etis dalam mengatasi masalah lingkungan.

Menurut Rottman, selama ini orang seakan mendapatkan kepuasan moral dari daur ulang. Padahal, daur ulang menyebabkan kerugian yang tidak setara dengan manfaat kecil yang diberikannya terhadap keberlanjutan lingkungan.

Pada peringatan Hari Bumi, misalnya, jutaan orang membuang sampah ke tempat-tempat terpisah untuk sampah pilahan dan merasa dengan melakukan itu mereka telah sangat membantu Bumi. Menjadi pendaur ulang dianggap bagian untuk meminimalisir kerusakan bumi akibat limbah.

"Daur ulang tidak sehijau yang dipikirkan orang. Faktanya, studi psikologis menunjukkan, kepuasan moral yang kita peroleh dari daur ulang dapat menyebabkan kerusakan, yang menihilkan manfaatnya yang minimal terhadap lingkungan," kata Rottman, Lektor Kepala Psychology and Scientific & Philosophical Studies of Mind pada Franklin & Marshall College. 

Karena sudah meluasnya pemahaman bahwa daur ulang bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan, tindakan memilih dan membuang barang bekas ke tempat sampah daur ulang membuat kita merasa bahwa kita berkelanjutan. Akibatnya, banyak yang membuang barang-barang yang tidak dapat didaur ulang seperti kantong plastik, styrofoam, dan bahkan popok kotor ke tempat sampah daur ulang. Orang yang berusaha berhati-hati dalam membuang limbahnya pun secara tidak sengaja dapat terlibat dalam kebiasaan daur ulang yang buruk. Itu karena konsumen masih sulit mengetahui apa yang dapat diterima untuk didaur ulang.

Pelabelan yang lebih baik dapat memperbaiki kebiasaan buruk. Simbol yang dipakai sekarang dinilai masih menimbulkan salah tafsir sehingga banyak barang yang tidak dapat didaur ulang ikut dicemplungkan ke dalam bak recycling. Beberapa negara kini mulai membatasi representasi yang tidak akurat untuk mendorong daur ulang yang lebih akurat. 

Tapi, kata Rottman, terdapat tren lain. Semakin melabeli tong sampah sebagai "tempat pembuangan sampah" dapat terus memfasilitasi daur ulang yang aspiratif. Penelitian memperlihatkan, label yang makin banyak itu memicu tindakan recycling aspiratif, sehingga makin banyak sampah-sampah yang tidak bisa didaur ulang dimasukkan ke dalam tempat berlabel itu.

Kesalahan kecil saat mendaur ulang berefek hilir yang cukup besar. Daur ulang aspiratif tersebut menyebabkan jutaan ton daur ulang tepi jalan dialihkan ke tempat pembuangan sampah atau insinerator. Peraturan internasional yang baru-baru ini diperketat telah memperburuk masalah ini.

Bahkan jika setiap orang mulai memilah daur ulang dari sampah mereka dengan benar, daur ulang akan tetap tidak efektif dan efisien dibandingkan dengan mengurangi atau menggunakan kembali, tegas Rottman.

Ketika beranggapan bahwa daur ulang memberikan hasil positif, misalnya karena barang-barang itu bisa dibuat barang baru, orang-orang merasa lebih baik untuk memilih barang sekali pakai. 

Studi baru-baru ini menemukan, orang-orang yang membuang plastik di tempat sampah "Waste2Wear" cenderung menggunakan botol plastik ketimbang toples kaca yang dapat digunakan kembali. Sebab, mereka “dijanjikan” telah berjasa kepada publik karena plastik itu akan diubah menjadi pakaian. 

“Ini kemungkinan akan membuat mereka lebih boros karena daur ulang tidak akan pernah lebih berkelanjutan daripada membatasi konsumsi dan menggunakan kembali apa yang sudah dimiliki,” kata dosen yang aktif dalam Laboratorium Pengembangan Nilai Moral itu.

Peneliti-peneliti lain mendokumentasikan fenomena terkait, yang disebut "negative footprint illusion", di mana orang secara keliru mengevaluasi tindakan berkelanjutan sebagai menghasilkan dampak lingkungan yang jauh lebih rendah daripada yang mereka sebenarnya bisa lakukan.

Partisipan dalam suatu riset salah percaya, bahwa membeli burger dengan apel organik (sebagai sisi berkelanjutan) lebih sedikit membebani lingkungan daripada membeli burger tanpa apel organik tersebut.

Dalam studi lain, responden beranggapan bahwa keluarga dengan dua kendaraan listrik hibrida memiliki dampak lingkungan yang setara dengan keluarga dengan hanya satu kendaraan hibrida. Meskipun, mereka dengan benar menilai bahwa keluarga dengan dua mobil konvensional berdampak lebih besar daripada yang dengan satu mobil. Artinya, orang cenderung berpikir bahwa berhemat tidak diperlukan untuk keberlanjutan.

Menurut Rottman, kita tidak boleh berhenti mendaur ulang. Namun, mendorong daur ulang dengan menonjolkan kebaikannya cenderung menjadi bumerang.

Dalam beberapa kasus, memandang daur ulang sebagai kewajiban moral akan secara langsung bertentangan dengan keberlanjutan. Sebaliknya, menjadi hijau akan lebih mudah difasilitasi dengan mempertimbangkan opsi perilaku lain (yang kurang nyaman), khususnya mengurangi konsumsi. Saat mempertimbangkan "Tiga R", kita harus ingat bahwa recycling merupakan pilihan terakhir. ***

Thursday, 27 April 2023

Puisi Akrostik: Prestasi

Prestasi

Oleh Erry Yulia Siahaan
Ikon kinerja bagus-penghargaan-piala-bintang-prestasi-piala (Ilustrasi: PNG Wing)

 

Catatan: Puisi ini untuk memenuhi tantangan Kamis Menulis bertema "Prestasi". Kamis menulis adalah kegiatan rutin mingguan setiap Kamis yang diselenggarakan oleh Cakrawala Blogger Guru Nasional (Lagerunal)

Logo Lagerunal (Foto: Lagerunal)

Wednesday, 26 April 2023

Manusia Berencana, Tuhan Penentunya

Kunjungan penghiburan untuk yang berduka. (Foto: Dokumentasi pribadi/Paduan suara Lansia HKBP Cibinong Ressort Cibinong)

Umur? Hanya Tuhan yang mengetahui. Kita bisa menyusun sejuta agenda, untuk hari-hari di depan kita. Tetapi, ketika Tuhan katakan "berhenti", kita pun berhenti.

Seorang teman sudah merencanakan perayaan hari lahirnya yang ke-72, Juni ini. Sekaligus merayakan hari ulang tahun pernikahannya yang ke-48, ulang tahun isterinya yang ke-74, dan ulangtahun tiga cucunya, semua pada bulan yang sama.

Dia dan isteri sudah mulai bisik-bisik mengenai rencana itu ke beberapa pengurus gereja. Mungkin, supaya rencana mereka tidak bentrok dengan agenda gereja.

Minggu (23 April 2023), kami masih bertemu dalam ibadah. Seperti biasa, dia datang bersama isteri. Ke gereja berboncengan dengan motor.

Kami tergabung dalam paduan suara lanjut usia (lansia). Teman itu masuk dalam bass (sering disebut suara empat), isterinya sopran (suara satu). Hari itu, lansia tidak bertugas koor. Walaupun tidak bertugas, khusus untuk lansia, sudah tersedia jejeran kursi spesial. Agak ke depan, lebih dekat ke mimbar. Jadi, lansia selalu bisa duduk bersama. 

Dia dan isteri masih berbaur hari itu. Mereka memang pasangan yang serasi dan rajin ke gereja. Selalu terlihat bersama.

Usai ibadah, dia dan isteri pergi ke arisan keluarga. Sampai malam. Mereka diantar dengan mobil. Karena motor masih di gereja, mereka minta diantarkan sampai gereja saja. Teman itu pun pulang dengan motor.

Esok pagi, sekitar pukul tujuh, isterinya membangunkannya. Seperti biasa, kopi dan roti sudah disiapkan untuk sarapan suaminya. Sementara untuk sang isteri, oatmeal.

Di kamar, sang isteri melihatnya kaku. Kedua tangannya terbuka,  di kiri kanan telinga, dengan telapak tangan menghadap ke depan. Matanya terbuka. Wajahnya damai. Sang isteri yang tadinya mengira suaminya masih tidur, lama-lama menjadi curiga. Apalagi melihat posisinya tetap sedemikian rupa, tidak berubah.

Dia membangunkan suaminya. Pertama, dengan panggilan biasa. Kemudian, makin keras. Sampai akhirnya dia menepuk-nepuk pipi suaminya, yang tidak juga sadar.

Seorang dokter dekat rumah dipanggil. 

"Sudah 'tidak ada', Bu," kata dokter kepada isterinya, yang langsung lemas, seakan tidak percaya bahwa suaminya telah tiada.

Sama tidak percayanya dengan teman-teman lansia dan jemaat lain yang masih bertegur-sapa hari Minggu di gereja. Juga kerabat dan handai-taulan yang bertemu di arisan keluarga. Terutama yang mengantarnya pulang sampai gereja.

Tubuhnya belum kaku. Simpulannya, dia baru saja meninggal.

Begitulah. Rencana bulan Juni tinggal kenangan. Perayaan ulangtahun pernikahan emas dua tahun lagi, sirna. Juga rencana bulan Agustus, di mana suami-isteri itu akan menjadi orangtua angkat untuk pernikahan adat anak saudaranya. 

Penghiburan dari paduan suara lansia Selasa (25 April 2p023) siang, bagi yang berduka. (Foto: Dokumentasi pribadi/Paduan suara Lansia HKBP Cibinong Ressort Cibinong)

Manusia berencana, Tuhan yang menentukan. Salomo dalam Kitab Amsal pasal 16 ayat 9 mengingatkan, "Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya." Suatu petuah yang tegas, bahwa sehebat apapun manusia, tidak ada yang bisa melawan kehendak Tuhan.

Di atas kertas, yang tua "pergi" lebih dulu. Yang sakit-sakitan juga begitu. Semua itu hanyalah kalkulasi manusia. Kehendak dan rencana Tuhan, tidak terjangkau akal. Mengagumkan.

Teman itu meninggalkan empat anak, tiga laki-laki dan satu perempuan, beserta tujuh cucu. Dia dibaringkan di peti jenazah berwarna putih, dengan kedua tangan diluruskan di samping badan, pertanda "saur matua" - istilah Batak untuk orang yang secara adat dinilai paling berbahagia karena semua anaknya telah menikah (juga mempunyai cucu) dan dapat dimaknai bahwa almarhum tidak lagi memiliki beban.

Dia meninggal hari Senin (24 April 2023) dan dikuburkan Rabu sore. Banyak yang mengantarnya sampai ke peristirahatan terakhir. Tidak ada rumor di sana-sini seperti biasa terjadi jika ada yang "pergi". Terkesan, dia begitu dicintai. Hujan sangat deras mengguyur rumah duka. Para tamu bertahan hingga jenazah berangkat ke makam, lalu dikuburkan.

Dua pendeta hadir dalam prosesi akhir di persemayaman. Mengingatkan lagi kepada jemaat dan yang melayat, Pdt. Dr. T. Hutahaean dan Pdt. M Nainggolan menggarisbawahi pesan dalam Alkitab, bahwa hidup ini adalah sebuah ziarah.

Selama di dunia, kita tinggal di kemah-kemah, yang suatu saat (harus) dibongkar. Kita akan menempati rumah yang sudah disediakan oleh Allah. Rumah abadi. Rumah damai.

"Karena kami tahu, bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia," kata pendeta mengutip 2 Korintus 5 ayat 1.

Semua yang ada di dunia adalah fana. Ke rumah duka bisa menjadi pengingat bagi kita, tentang siapa kita dan akan ke mana kita.

Pulang dari rumah duka bisa menjadikan kita lebih bijaksana. Menghitung hari-hari kita, seberapa dalam dan banyak kita meninggalkan jejak di bumi ini dengan hal-hal bermakna.

"Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama," kata Hutahaean.

Perkataan itu mengingatkan semua yang hadir. Khususnya isteri, anak-anak, dan cucu-cucu almarhum, tentang bagaimana kita sebaiknya mengartikan hidup dan menjadi lebih berhikmat menjalaninya. ***

Ibadah pada Selasa (25 April 2023) malam dipimpin oleh Pdt. M Nainggolan. (Foto: Dokumentasi pribadi/Paduan suara lansia HKBP Cibinong Ressort Cibinong)

Kunjungan pada Senin (24 April 2023) siang. Pemasukan jenazah ke dalam peti menunggu prosesi oleh komunitas adat. Demikian pula posisi kedua tangan yang akan diluruskan di samping tubuh sebagai tanda "saur matua". (Foto: Dokumentasi pribadi/Paduan suara lansia HKBP Cibinong Ressort Cibinong)

Tuesday, 25 April 2023

"Neraka" itu Disebut "Somnifobia"

Ilustrasi dampak negatif somnifobia. (Sumber: Dreamstime)

"Neraka" itu Disebut "Somnifobia"

Oleh Erry Yulia Siahaan

Tidur merupakan kegiatan paling nikmat. Terlebih di saat kita sedang mengantuk dan letih. Sayangnya, tidak semua orang bisa tidur. Baik karena memang sulit tidur (atau biasa dikenal sebagai insomnia) maupun karena takut untuk tidur (somnifobia).

Sejauh ini cukup banyak ulasan mengenai gangguan tidur. Yang termasuk populer adalah insomnia. Nah, somnifobia agak terbalik dari insomnia. Seseorang yang mengalami somnifobia bukannya ingin tidur tapi sulit tidur seperti pada insomnia, melainkan dia memang takut untuk tidur.

Somnifobia bisa dibilang "neraka" bagi mereka yang letih dan membutuhkan tidur, tetapi tidak bisa lantaran rasa takut yang ekstrem. Penyebabnya bermacam-macam, dari trauma hingga gangguan tidur apnea.

Trauma bisa karena mendapatkan mimpi buruk berulang saat tidur, seperti mimpi tenggelam, atau takut mengalami kelumpuhan tidur.

Apnea berarti berhentinya pernapasan sementara. Jadi, gangguan tidur apnea adalah gangguan yang menyebabkan pernapasan berhenti saat kondisi tidur. Apnea bisa terjadi berulang kali, sehingga oksigen ke otak berkurang. Kekurangan oksigen pada otak, bila tidak segera ditangani, bisa memicu terjadinya masalah kesehatan yang lebih kompleks dan serius.

Adanya pengalaman bermimpi buruk dan apnea ini bisa menyebabkan seseorang menjadi takut untuk tidur.

Seperti yang dialami oleh Doni (tokoh ilustrasi) selama bertahun-tahun. Dia sudah mencoba untuk tertidur, namun begitu usahanya kelihatan mulai berhasil, kecemasan menguasainya dan dia pun akhirnya tidak jadi tidur. Atau, kalaupun sempat tertidur (biasanya paling lama dua jam) dan merasakan diri mulai rileks, dia merasa seolah-olah kehilangan kendali.

Kalau sudah cemas begitu, Doni bangun lagi. Adrenalin memacu dirinya sehingga tidak lanjut tidur. Doni akan berusaha mengulangi lagi usahanya untuk kembali tidur, atau terpaksa menyerah saja.

Amy Fleming pada the Guardian edisi Senin (24 April 2023) menuliskan kisah Elizabeth Johnson,yang menderita somnifobia sejak berusia 12 tahun. Padahal, sebelumnya justru dia pengin sekali bisa tidur, namun mengalami kesulitan. Dia berusia tujuh tahun ketika mengalami insomnia. Dia takut tidak bisa tidur. Seiring berjalannya waktu, dia kemudian malah menjadi takut untuk tidur.

Fleming menjelaskan, ketika suatu kali pernah tertidur dengan baik secara mental, bisa muncul ketakutan bahwa tidur berikutnya tidak akan bisa seperti sebelumnya. Pada kasus lain, penyebab somnifobia adalah takut bermimpi buruk. Atau, merasa tidak aman jika sampai tertidur, misalnya (kata situs Cleveland Clinic) karena takut berjalan dalam tidur.

Konon, kalau sedang mujur, Johnson bisa tidur sampai lima jam. Kalau kurang beruntung, dia tidur selama nol sampai dua jam. Bahkan, pernah terjadi beberapa hari berturut-turut dia tidak tidur.

Insidensi

Somnifobia merupakan jenis fobia spesifik dan irasional. Fobia spesifik ini merujuk pada ketakutan intens pada objek, situasi, atau hewan tertentu. Menurut Cleveland Clinic, sebenarnya orang dengan fobia spesifik mengetahui, kecemasan yang mereka rasakan sangat ekstrem dibandingkan dengan ancaman sebenarnya yang ditimbulkan oleh rasa takut tersebut. Tetapi, tetap saja yang bersangkutan sulit mengelola rasa takutnya itu.

Somnifobia berbeda dari kecemasan tidur (sleep anxiety), meskipun keduanya sama-sama melibatkan kekhawatiran tentang tertidur. Orang dengan sleep anxiety cemas karena mereka harus berjuang untuk mendapatkan tidur yang cukup. Orang dengan somnifobia takut kalau sampai tertidur. Ketakutannya itu lebih intens, seperti khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi pada mereka ketika mereka tertidur.

Faktor risiko tersignifikan untuk somnifobia adalah riwayat parasomnia berupa masalah tidur kronis, seperti mimpi buruk atau kelumpuhan tidur. Pengidap parasomnia mungkin cemas untuk tidur, atau khawatir mengalami kembali masalah buruk saat tidur.

Tidak diketahui berapa banyak orang yang terkena somnifobia, karena biasanya insiden ini bukan diagnosis utama. Ia muncul sebagai penyerta atau ikutan dari kondisi lain, mulai dari gangguan tidur yang umum hingga Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) - gangguan mental akibat pengalaman traumatis, seperti bencana alam, kecelakaan, terorisme, perang/pertempuran, pelecehan seksual, kekerasan dan sejenisnya.

Penelitian menunjukkan, lebih dari 40 juta orang dewasa di Amerika Serikat memiliki gangguan tidur kronis. Lebih dari 12% orang dewasa di AS memiliki fobia spesifik. Fobia spesifik dua kali lebih umum pada wanita dibandingkan pada pria.

Kelumpuhan tidur ikut menjadi salah satu penyebab somnifobia, kata Dr Alanna Hare, konsultan pada Department of Sleep and Ventilation dari North-West London's Royal Brompton Hospital. "Hingga 40% populasi pernah mengalaminya setidaknya sekali. Bisa sangat menakutkan untuk menjadi lumpuh."

Hare menggambarkan ini sebagai "masalah mis-signaling fisiologis" yang mungkin berhubungan dengan sedikit gangguan pada cara tubuh bergerak menuju kelumpuhan. Ini bagian normal dari tidur, khususnya pada awal tidur atau pada tahap tidur yang lebih ringan (meskipun sebenarnya itu tidak perlu terjadi). Normal untuk mengalaminya sesekali, terutama bila tubuh terlalu lelah atau stres. "Jika terjadi sangat sering, itu memerlukan pemeriksaan lebih lanjut."

Gejala dan Pengobatan

Gejala umum somnifobia adalah rasa tertekan yang hebat saat memikirkan atau mencoba untuk tidur, mudah marah, membiarkan lampu atau televisi menyala saat mencoba tidur, berjuang untuk berkonsentrasi sepanjang hari karena sangat takut untuk tidur.

Gejala fisik bisa saja muncul. Dalam kasus yang parah, kata Cleveland Clinic, ia bisa menyebabkan perubahan pernapasan atau sesak napas (dyspnea), nyeri atau sesak dada, menggigil atau berkeringat dingin, hiperventilasi, jantung berdebar-debar, mual atau muntah, gemetar atau tremor yang tidak terkendali.

Penderita somnifobia dianjurkan menemui spesialis tidur dan psikiater. Diagnosis biasanya ditegakkan melalui serangkaian uji oleh penyedia layanan kesehatan, lewat pertanyaan-pertanyaan seputar iya atau tidak takut tidur.

Yakni dengan melacak seberapa baik atau buruk kualitas tidur seseorang, apakah rasa takut itu mengambilalih fokus dari tugas sehari-hari, sudah berapa lama berlangsung (sudah enam bulankah atau lebih), apakah kondisi itu mengganggu hubungan, pekerjaan, sekolah, atau tanggung jawab lainnya. Juga, apakah terjadi stres atau kecemasan yang terus-menerus dan secara negatif memengaruhi kesehatan emosional atau fisik.

Pengobatan somnifobia mirip dengan pengobatan fobia spesifik lainnya, seperti obat untuk mengurangi kecemasan atau penurun frekuensi detak jantung (contohnya beta blockers seperti propranolol) atau obat penenang atau sedatif (contohnya preparat benzodiazepine seperti alprazolam, yang efeknya jangka pendek).

Tidak ada cara untuk mencegah somnifobia. Yang bisa dilakukan adalah mengusahakan tidur lebih baik dengan kebiasaan hidup yang sehat. Hindari terlalu sering menggunakan gadget atau televisi, setidaknya hindari mereka satu jam sebelum waktunya tidur, konsumsi makanan bergizi baik dan seimbang, berolahraga teratur, batasi kafein dan alkohol karena dapat mempengaruhi siklus tidur, dan tidurlah dalam suasana yang sejuk dan gelap. ***

Saturday, 22 April 2023

"Mengalami Tuhan"

(Sumber Ilustrasi: Lifeway.com)​

"Mengalami Tuhan"

Oleh Erry Yulia Siahaan
“Hikmat,”jawab seseorang kala saya bertanya apa yang paling dimintanya saat berdoa.

Dia meminta hikmat, khususnya pada awal ibadah. Dia ingin bisa memahami setiap Firman yang dibacanya. Termasuk nas-nas dalam ibadah rutin setiap pagi bersama isterinya, sebelum mereka melakukan kegiatan sehari-hari.

Sepanjang yang saya tahu, dia dan isterinya memang sangat teladan dalam penerapan kasih. Dari cara berbicara, bersikap, bertingkahlaku, sampai ke soal merencanakan atau merespon kejadian. Di tengah kondisi ekonomi yang serba terbatas, mereka tidak mengeluh. Saya perhatikan, mereka tetap memberikan sumbangan di tengah kesulitan hidup.

Mereka juga sangat sopan dalam bersikap dan bertuturkata. Tidak pernah saya dengar keluar kata atau sikap kasar dari mereka. Jika ada yang kurang sreg bagi mereka, misalnya perbincangan ke arah yang kurang baik, sepanjang yang saya perhatikan, mereka lebih memilih diam dan menghindari lanjutan pembahasan ke arah sana.

Saya seringkali berdiskusi dengan mereka. Kalau saya mempunyai pertanyaan, mereka tidak mau asal menjawab jika memang tidak tahu persis masalahnya. Si suami biasanya diam. Tetapi, saya tahu, pertanyaan saya itu dibawanya dalam pergumulan, hingga suatu hari jika bertemu lagi dengan saya, dia akan mengatakannya.

Ketika ada informasi bahwa ada saudara atau keluarga yang mengalami masalah, mereka selekasnya datang. Kondisi keluarga dan saudara-saudaranya ikut menjadi pergumulan mereka. Semua dibawa dalam doa syafaat setiap hari.

Berpuasa

Saya tidak akan tahu bahwa dia (yang suami) sedang berpuasa jika isterinya tidak memberitahukan.

Pernah suatu kali, selama sekitar seminggu, dia membantu memperbaiki pintu pagar di rumah saya. Engselnya ada yang rusak. Selain usianya sudah tua, pintu pagar itu memiliki engsel yang ternyata keliru memasangnya, ketika dulu pertama kali pagar itu dibuat. Itu berpengaruh pada daya tahan pintu pagar, terutama bagian engselnya, apalagi pagar sering dibuka-tutup.

Pagar itu terdiri dari empat lembar pintu, terbuat dari batang-batang besi persegi panjang yang disusun horisontal. Antarlembar terhubung dengan tiga engsel, di atas, di tengah, dan di bawah. Pagar-pagar itu semestinya dibuka ke arah luar, apalagi karena lantai yang ke arah dalam agak menanjak sehingga bukaan pintu tidak bisa lebar-lebar karena terganjal permukaan lantai yang meninggi ke arah garasi.

Diperlukan waktu sekitar seminggu untuk memperbaikinya. Pintu pagar dilepas, dengan mengangkatnya agar tonjolan-tonjolan di pintu terlepas dari lubang-lubang engsel. Bagian yang berkarat digergaji, diganti dengan potongan besi yang baru. Besi-besi kemudian diamplas, sebelum diberi pelapis dan dicat.

Sebagian besar pekerjaan berlangsung di area terbuka, di depan garasi yang tidak berkanopi. Bisa dibayangkan bagaimana letihnya mengerjakan itu. Terutama saat siang hari, ketika matahari begitu terik.

Saya sejak awal sudah menawarinya minuman atau makanan, dia menggeleng.

"Tidak usah," katanya.

Isterinya yang ikut datang ke rumah, menjelaskan bahwa suaminya sedang berpuasa. Dia berpuasa setiap hari dari pagi hingga malam, kecuali hari Minggu.

Jam buka puasanya adalah pukul sembilan malam. Dia sudah meniatkan berbuka puasa di rumah. Jadi, jika sedang ada keperluan atau kegiatan di luar rumah, selarut malam apapun dia tidak akan berbuka apabila belum sampai rumah.

Dia juga pernah memperbaiki pompa rumah. Dibantu oleh anak saya, dia memperbaiki pompa dengan beberapa kali harus mengangkat sebagian pipa sambungan ke tanah. Dia di rumah sampai malam. Dia tetap tidak berbuka puasa, walaupun masih harus menempuh perjalanan 30 kilometer naik motor untuk pulang.

Yang saya heran, selama dia berpuasa, dia tidak menunjukkan bahwa dia berpuasa, atau seperti orang yang kehausan atau lapar. Emosinya sangat terjaga. Kalem. Sopan. Saya menyebutnya, "berhikmat".

Saya teringat dengan nas dalam Alkitab perihal berpuasa. "16 Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. 17 Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, 18 supaya jangan dilihat oleh orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu." (Matius 6 ayat 16 sampai 18)

Dia memang mengagumkan, tetapi saya tidak mau memujinya berlebihan. Dia tidak suka dipuji. Saya juga tidak mau terjadi semacam pengkultusan. Sebab, di balik itu semua, Tuhan yang bekerja. Tuhan adalah sumber hikmat. Selayaknya, Tuhan yang ditinggikan.

Hikmat itu sendiri, merujuk Alkitab, seperti dijelaskan oleh Pdt. Bigman Sirait dalam situs Reformata, adalah pengertian (Ayub 39 ayat 17), kebijakan, atau bijaksana (Mazmur 136 ayat 5). Jadi, hikmat bukanlah pengetahuan teoritis. Ia tidak terkait dengan intelligence quotient (IQ) yang bisa menjadi ukuran untuk mengatakan seseorang itu pintar atau tidak. Hikmat itu lebih bersifat praktis. Hikmat terhubung dengan kedewasaan dan pengalaman hidup. Hikmat terletak pada sikap hati (1 Raja-raja 3 ayat 9), yang membuat seseorang berpengertian, bijaksana. 

"Sehingga keputusan-keputusannya seringkali melebihi kepintaran yang tanpa kebijaksanaan. Banyak orang pintar gagal, tapi keberhasilan orang berhikmat besar. Inilah defenisi hikmat," jelas Sirait.

"Mengalami Tuhan"

Saya bersyukur bahwa saya masih menemukan orang-orang demikian di dekat saya. Saya menyebut karakter suami-isteri itu sebagai penerapan sesungguhnya dari arti kasih. Orang-orang yang berhikmat. Baru-baru ini, saya mengemasnya juga dalam istilah orang yang sudah "mengalami Tuhan".

Istilah "mengalami Tuhan" ini makin akrab di telinga saya, khususnya setelah hal serupa diingatkan oleh Pdt. M Nainggolan pada ibadah di Sektor 5 HKBP Cibinong Ressort Cibinong, Selasa (18 April 2023) malam. Sektor 5 adalah wilayah di mana saya tinggal.

Nainggolan menegaskan, sebagai orang yang dewasa dalam iman, kita tidak cukup mengetahui tentang Tuhan, melainkan perlu "mengalami Tuhan". Sekadar "mengetahui Tuhan", katanya, membuat kita masih seperti anak kecil, yang mudah "merengek" jika mengalami kondisi yang tidak menyukakan kita. Sebaliknya, "mengalami Tuhan", membuat kita tegar dan bersyukur serta percaya semua yang terjadi adalah dalam pengetahuan dan kendali Tuhan.

Kata "mengalami", menurut kamus, berarti belajar melalui suatu pengalaman. Jadi, "mengalami Tuhan" bisa diartikan sebagai mengenal Tuhan dan melakukan apa yang Tuhan kehendaki, dalam rangka menjaga relasi kita dengan Tuhan.

"Mengalami Tuhan", kata seorang penulis dari Filipina, Guthrie Hynes, adalah berjalan berdasarkan iman, bukan penglihatan (dengan mata dunia). Ini bisa kita simak dari bagaimana Nabi Nuh, Nabi Abraham, dan Nabi Musa melakukan perintah Allah untuk melakukan sesuatu yang menurut kacamata dunia "tidak mungkin".

Dalam Matius 4 ayat 19, "Yesus berkata kepada mereka: "Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia." Hal ini direspon oleh yang mendengarnya (murid-murid Tuhan Yesus) sebagai berikut, "20 Lalu merekapun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia. 21 Dan setelah Yesus pergi dari sana, dilihat-Nya pula dua orang bersaudara, yaitu Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes saudaranya, bersama ayah mereka, Zebedeus, sedang membereskan jala di dalam perahu. Yesus memanggil mereka 22 dan mereka segera meninggalkan perahu serta ayahnya, lalu mengikuti Dia."

Tuhan mempunyai rencana baik untuk setiap orang. Untuk bisa "mengalami Tuhan" kita perlu percaya pada panggilan-Nya. Bersabar. Tuhan terus bekerja, meskipun kita tidak melihat Dia sedang bekerja. 

Kita meminta yang baik, pasti diberikan-Nya. Waktu-Nya adalah waktu yang terbaik, karena Dia Maha Tahu. Tuhan itu Allah yang setia. "Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya, sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat." (1 Petrus 4 ayat 19)

Penulis buku terkenal "Experiencing God", Henry T Blackaby, mengatakan, "mengalami Tuhan" berarti "mengenal Tuhan dan melakukan kehendak Tuhan". Buku itu, sejak diluncurkan pada 1990, dilaporkan telah mengubah hidup secara radikal jutaan orang dan ribuan gereja di seluruh dunia.  Orang-orang itu adalah narapidana, personel militer, pengacara, hakim, CEO, atlet profesional, politisi, dan orang tua. Banyak yang sekarang melayani sebagai misionaris, pendeta, penginjil, dan menjadi hamba yang setia. 

Bagaimana bisa? 

Itu rahasia Tuhan.

Menurut saya, orang yang meminta hikmat dari Tuhan dan menerimanya adalah orang-orang yang terberkati. Dengan anugerah itu, seseorang bisa menghadapi berbagai persoalan dan menjalani kehidupan dengan hati penuh rasa syukur dan tetap bersukacita. Sebab, dia tahu, semuanya ada di bawah kuasa-Nya.

Semoga saya dan Anda termasuk yang beruntung mendapatkan anugerah itu. Amin. ***

Friday, 21 April 2023

Mengenang Aroma Lebaran

Poster ucapan Idul Fitri. (Sumber ilustrasi: Masagipedia)

Mengenang Aroma Lebaran

Oleh Erry Yulia Siahaan
 

Bunyi petasan berulangkali membentur udara, terbawa angin sampai ke rumah. Dari kiri, kanan, depan, belakang. Bergantian.

Lia tidak keluar rumah. Dia cukup memutar ingatan mengenai pemandangan yang dilihatnya tahun lalu atau sebelumnya, tentang percikan benda yang meletus-letus itu dari kejauhan. Kadang, dia melihatnya dari luar pintu di lantai satu. Kala lain, dari loteng.

Sambil mendengarkan lagu-lagu rohani di kanal YouTube, Lia sibuk mengetikkan ucapan "Selamat Hari Raya Idul Fitri 1444 Hijriah" kepada teman-teman yang merayakan. Utamanya, melalui WhatsApp (WA).

Iseng, Lia mampir di status WA adik perempuan bungsunya, Sertian.

"Waduh ada bunyi petasan , tiba-tiba meledak, ributlah doggyku mengonggong..." Begitu tulis Sertian.

Lia bisa membayangkan, bagaimana heboh dan riuhnya suasana rumah Sertian hingga dia memunculkan status seperti itu. Anjing piaraannya masih ada sekitar 20-an ekor. Sebagian di lantai dua, sebagian lagi di bawah. Jika ada tamu atau suara yang asing, mereka langsung menanggapi dengan gonggongan. Apalagi jika datangnya tiba-tiba dan keras pula.

Terkenang

Lia jadi terkenang aroma lebaran masa kecilnya. Memori muncul bersaingan dengan bunyi petasan dan takbir di luar rumahnya.

Dulu, malam-malam seperti ini, Lia dan teman-teman perempuan biasanya berkumpul di luar rumah, ngobrol, gembira, sambil sesekali meletupkan petasan atau menonton yang lebih tua meledakkan mercon bumbung, petasan yang pakai bambu berlubang, seperti meriam. Lia dan teman-teman ngeriung, membicarakan pakaian yang akan mereka pakai besoknya, pas hari-H Idul Fitri, serta mau melakukan apa dan bagaimana bersama keluarga.

Lia biasanya mendengarkan baik-baik, kadang nimbrung percakapan. Disimaknya, bahwa ada yang sehabis bersalam-salaman bakal pergi ke Kuningan, Bandung, atau kota lain, untuk bertemu nenek-kakek dan kerabat mereka. Rata-rata, pagi hari mereka akan bersalam-salaman dulu di perumahan, barulah berangkat ke luar rumah atau ke luar kota.

Lia dan teman-teman juga membicarakan rencana besok akan berkumpul di mana sebelum berkeliling dari rumah ke rumah.

Pada hari pertama lebaran, biasanya pagi-pagi ketika sholat Ied selesai, Lia dan anak-anak kecil yang lain berkumpul di tempat yang disepakati. Mereka sudah mandi, wangi, keluar rumah dengan baju lebaran masing-masing. Setiap ada teman yang baru muncul, yang sudah menunggu memperhatikan apa yang menarik dari pakaian yang dikenakan oleh anak itu, juga sepatunya, kemudian memberikan komentar dan tertawa cekikian.

Beberapa kali, setiap lebaran, Lia mendapatkan pakaian baru buatan kakaknya yang bisa menjahit. Bahannya biasa saja. Tapi, dengan kemahiran menjahit serta kecerdasan memilih dan menggunakan renda atau bisban, juga pemilihan warna yang tepat dan serasi, baju itu bisa menjadi begitu cantik, tak kalah bagus dari busana teman-temannya. Untuk Lia, perhatian dari kakaknya hingga membuatkannya baju baru, sudah membuatnya senang. Bahwa baju itu indah, itu tambahan.

Setelah anggota komplit, Lia dan teman-teman segera bergerak, berbondong-bondong dari rumah ke rumah di kompleks. Rata-rata mereka cuma datang bersalaman. Di satu dua rumah, mereka makan ketupat dan rendang, atau kue-kue kering dan kacang.

Beberapa ibu atau bapak ada yang memberikan uang kepada setiap anak yang datang ke rumahnya. Misalnya, di rumah Pak Haji yang terkenal ramah dan anak-anaknya teman bermain Lia. Tidak besar, tapi cukup membuat senang Lia dan teman-teman. Setelah itu, biasanya mereka berkumpul lagi untuk menjumlahkan uang masing-masing dan saling membandingkan, barulah bubar.

Seingat Lia, tidak ada kiriman makanan ke rumah-rumah seperti yang terjadi belakangan ini. Makanan dinikmati saat silaturahmi.

Orangtua Lia dan tetangga yang beragama nonmuslim ikut berkeliling, tidak lama setelah anak-anak pada keluar rumah. Jadi, adakalanya Lia bertemu dengan bapak-ibunya yang sedang keluar dari satu rumah dan masuk ke rumah lain.

Di perumahan itu ada sekitar 60 rumah. Kecil-kecil dan saling berhimpitan. Mereka berbaris dalam empat barisan panjang. Di paling luar kiri, barisan itu terdiri dari 18 rumah, memanjang tidak terpotong, lurus dari pangkal batas kompleks hingga ujung yang bertembok melintang. Rumah-rumah itu menghadap ke barat.

Pada barisan paling kanan, menghadap ke timur, ada enam rumah, berjejer mulai dari pangkal batas kompleks. Pada kavling selebihnya, berturut-turut ada sekolah Taman Kanak-Kanak Purwajaya, tempat Lia, adik-adik, dan teman-teman sepermainannya bersekolah. Disusul lahan kosong di pinggir kali kecil, yang beberapa tahun kemudian menjadi lapangan dan masjid. Lapangan itu merupakan area serbaguna untuk berbagai acara. Dari peringatan tujuhbelas agustusan, aneka pertandingan, dan sebagainya.

Jadi, rumah di kiri berhadapan dengan yang di kanan. Sedangkan dua baris di tengah, masing-masing terdiri dari 18 rumah, tiap deret saling membelakangi. Setiap enam rumah terpotong oleh dua jalan melintang, sehingga membentuk semacam tiga blok. Tiap blok terdiri dari duabelas rumah, di mana enam rumah menghadap ke barisan lurus yang di kiri, enam lainnya menghadap ke barisan lurus di kanan atau sekolah, lapangan, dan masjid. Jadi, saling bertolak-belakang.

Pada tradisi berkeliling saat lebaran, semua rumah dijalani oleh umat nonmuslim, termasuk orangtua Lia.

Kunjungan balasan akan dilakukan oleh warga muslim pada saat Natal. Giliran mereka yang berkunjung ke rumah orangtua Lia dan tetangga yang merayakan Natal. Beberapa tetangga bisa berjam-jam ngobrol dalam suasana gembira.

Seiring berjalannya waktu, kebiasaan itu berkurang. Sebagian orangtua yang segenerasi ayah-ibu Lia sudah meninggal. Ada yang sudah berpindah rumah dan entah bagaimana kabarnya. Rumah mereka dijual dan pemilik baru kurang terbiasa mengikuti tradisi itu. Sekarang ini, yang tinggal di kompleks itu adalah anak-anak dan/atau cucu-cucu dari generasi ayah-ibu Lia, serta pendatang baru.

Kebiasaan bersilaturahmi dari rumah ke rumah, nyaris hilang. Kini, penghuni perumahan itu biasanya bersalamam pada saat bertemu di sekitar tempat sholat Ied. Bersalaman dengan berkeliling kompleks nyaris tidak terlihat lagi. Kehangatan silaturahmi antartetangga ada pula yang dinyatakan dengan berkiriman makanan pada malam takbiran, meskipun tidak semua. Rumah masa kecil Lia masih mendapatkan kiriman makanan sampai sekarang.

Di Perumahan Besar

Sementara Lia sendiri kini sudah pindah rumah. Lia dan keluarga tinggal di perumahan yang lumayan besar. Sudah hampir 20 tahun Lia tinggal di residensi itu di mana tradisi Lebaran masa kecilnya tidak dijumpainya sejak Lia bermukim di sana.  Silaturahmi dari rumah ke rumah praktis tidak terlihat sejak Lia tinggal di sana.

Rumah-rumah relatif lebih besar daripada rumah masa kecil Lia. Tiap rumah ada pagarnya. Berbeda dengan rumah masa kecil Lia, yang rata-rata tidak berpagar.

Pada hari-H, yang bersholat Ied cukup banyak. Masjid besar di dekat gerbang kompleks tidak muat menampung umat, yang tidak hanya warga kompleks tetapi juga penduduk kampung sekitar. Sehingga, masjid tidak bisa menampung semuanya. Banyak yang menjalankan ibadah di halaman masjid atau di jalan masuk kompleks.

Usai sholat, mereka bersalaman. Setelah itu, mereka kembali ke rumah masing-masing untuk berkumpul dengan keluarga dan/atau melakukan agenda di luar rumah sesuai dengan apa yang sudah mereka rencanakan sebelumnya.

Lia sendiri biasanya bersama keluarga bersilaturahmi ke rumah sepupu dari suaminya yang seorang hajjah di Bogor. Mereka berkumpul dengan saudara yang lain, baik dari keluarga suami yang mayoritas Kristen maupun dari keluarga sepupu sebagai tuan rumah yang mayoritas muslim. Tahun lalu, Lia dan keluarga tidak berlebaran ke sana. Lia dan anak-anak mendampingi suami Lia yang sakit serius.

Sedangkan di kompleks, Lia dan para tetangga biasanya berkumpul bersama pada acara Halal bihalal beberapa waktu sesudah lebaran. Ini tradisi setiap tahun (kecuali saat pandemi Covid).

Begitulah, tradisi yang berbeda ini membentuk memori yang baru buat Lia dan anak-anaknya. Memori Lebaran pada masa kecil anak-anak Lia tersebut akan terbawa sampai tahun-tahun ke depan dalam kehidupan mereka, yang mungkin pula suatu saat ketika muncul sebagai kenangan akan bertemu dengan fakta yang berbeda.

Zaman berubah dan memiliki warnanya sendiri.

***

Thursday, 20 April 2023

Triana, Kartini Keluarga

Terompet kuning, pengingat yang telah "pergi". (Foto: Erry Yulia Siahaan/Dokumentasi pribadi)

Puisi Akrostik:

Triana, Kartini Keluarga


Temaram selimuti perhentianmu

Rumah abadi menantimu

Indah matamu saat pergimu

Airmata berangkatkanmu

Namamu jadi afeksiku

Abadi terwarkat untukku

 

Keluh tak kau ucap

Adik-adik hangat kau lekap

Rahasia deritamu kau sengap

Tertutup kerjamu nan sigap

Iman terceloteh lewat cinta  

Nian langgaskan sepenuh wangsa

Isyaratkan kau sekala ada

 

Keluarga kau jaga

Edukasi ito-anggi yang utama

Lelah beban kau sita

Untung-malang kau endap jadi rahasia

Abaikan sakit, penat, wasangka  

Renggut ajeknya hati-raga

Gapura baka bagimu merenjana, siaga

Abadi bersama Bapa di Surga


Bogor, 20 April 2023

Catatan:
Tulisan ini untuk memenuhi tantangan "Kamis Menulis" - kegiatan rutin mingguan Cakrawala Blogger Guru Nasional (Lagerunal) bertema "Kartini"

Wednesday, 19 April 2023

Selibat Pemerdeka Keluarga

Women Bible. (Foto: Freepik)

Selibat Pemerdeka Keluarga

Oleh Erry Yulia Siahaan

Nama aslinya Desmi Perina. Nama indah yang jarang ada. Entah mengapa dia dinamakan demikian. Kata "Desmi" mungkin karena dia kelahiran Desember. Sedangkan "Perina", belum terjawab. Jika dihubungkan dengan nama sebuah studio rekaman, kurang masuk akal. Perina lahir pada 1954, sedangkan studio itu baru ada pada 1960an.

Perina gemar lagu-lagu balada, berbahasa Inggris atau Indonesia, dengan kaset berlabel "Perina". Skeeter Davis dan duet Muchsin Alatas-Titiek Sandora ada dalam koleksinya.

Perina berparas cantik, beralis tebal, bermata bundar nan indah. Kulit putih bersih membungkus tubuh sintalnya. Rambutnya lebat, panjang, lurus, tergerai hingga pinggang. Perina sangat cerdas, bahkan diakui genius. Nilai 10 bertebaran dalam rapornya. Dia selalu juara umum di sekolah.

Sangking penasaran dengan prestasi Perina, juga kakak dan dua adiknya yang selalu memimpin kelas, gurunya menyempatkan diri berkunjung ke rumah. Mereka terkejut mendapati Perina tinggal di salah satu deretan rumah kecil-kecil yang berhimpitan, bersama orangtua, satu kakak, tujuh adik, dan beberapa saudara dari kampung.

Ayahnya pegawai biasa. Ibunya mengurus rumah tangga. Bagaimana cara dia belajar, pikir gurunya. Selain rumahnya sempit, Perina bersama kakak sulungnya harus ikut merawat adik-adik mereka yang masih kecil. Mereka disiplin, rajin, ingin menjadi teladan bagi adik-adik.

Dengan listrik yang sering hidup-mati, prestasi Perina terbilang sangat menonjol, baik sebagai pelajar maupun penyuka sastra. Dia bintang kelas, juara umum, juara baca puisi, dan gemar menari. Karakternya yang menyolok adalah santun, suka menolong orang, dan rendah hati.

***

Usianya 18 tahun, ketika menjelang ujian akhir kelas tiga Sekolah Asisten Apoteker, dia jatuh sakit. Serius. Ususnya busuk 15 sentimeter. Berulangkali diopname. Hingga suatu kali dia tidak sadarkan diri, koma. Dokter angkat tangan.

Ketika tidak sadar, dia bergumam, dia akan kembali dan sembuh. Kapan waktunya? Tidak diberitahukan. Tetapi, dia mengingatkan keluarga untuk terus-menerus berdoa.

Keluarga bergantian berjaga. Saat ini berdoa bersama, saat lain bergiliran jaga sambil berdoa. Demikian pengaturannya. Doa tetap berjalan, keluarga tetap ada yang terjaga. Hingga pada suatu saat, doa berjeda. Yang menjaga tertidur. Menjelang Perina sadar, ada keluarga yang menengoki kamar. Mendapati tidak ada yang berdoa, dia bergegas menghimpun yang lain untuk sama-sama berdoa.

Perina masih tertidur. Sebuah mahkota sudah siap ditaruhkan ke kepalanya, ketika dia akhirnya membuka mata dan kembali sadar.

"Hampir terlambat," lirihnya saat "kembali".  

Keluarga bertangisan. Histeria, membayangkan mereka nyaris terlambat dan tersadar hanya selang beberapa menit sebelum Perina "kembali".

Perina bercerita, dia dibawa ke suatu tempat, yang membuatnya senang. Sebuah mahkota sudah siap ditaruh di kepalanya, ketika akhirnya dia "kembali". Pada saat itulah dia menemukan keluarganya sedang berdoa. Jika mahkota itu sampai ke kepalanya, kata Perina, mungkin dia "tidak kembali".

"Nama saya sekarang Junianti Indah Triana," katanya seraya menambahkan, nama itu diberikan oleh Tuhan untuknya.

***

Begitulah, Perina menjadi Triana. Ususnya tidak jadi dipotong. Dia kembali sehat. Beberapa kali terjadi keajaiban. Orang sakit yang tanpa sengaja disentuhnya menjadi sembuh.

"Mungkin kamu harus melayani Tuhan dengan talenta menyembuhkan," kata ibunya.

Suatu kali, dengan naluri keibuan Triana membawa adik bungsunya yang masih bayi dalam doa pada sebuah kebaktian akbar yang didengarnya mengadakan karunia kesembuhan. Dia pergi ke stadion Senayan, dari mana dia kemudian menaikkan doa untuk adiknya yang mengalami pembesaran di bagian kemaluan. (Hal ini mengejutkan keluarga, karena Triana jemaat setia gereja konvensional dan belum pernah mengikuti ibadah karismatik.)

Triana menopangkan tangan ke "tubuh adiknya", sewaktu hamba Tuhan dari podium (dari jauh) berdoa dan memberikan berkat kesembuhan. Sepulang ibadah, adiknya benar-benar dipulihkan. Sekarang, adiknya itu perwira tinggi di kemiliteran.

Tentang perkataan ibunya, Triana bukan tidak mendengarkan. Dia mempunyai pemikiran lain, yang menurutnya sama penting, yaitu membantu ekonomi keluarga.

Dia memutuskan menjadi selibat, meski tanpa pakaian identitas. Tidak menikah. Dia bisa menjadi ibu bagi keluarga dan banyak orang. Bukan ibu kandung atau ibu sambung, tetapi tak kalah penting.

Dia tetap cantik dan cerdas. Beberapa kali ada yang melamar. Dia merespon dengan senyuman.

Sewaktu ayahnya memasuki masa pensiun, dengan ibu yang tidak bekerja, Triana sadar, uang pensiun ayahnya dan gajinya tidak akan cukup untuk keperluan keluarga. Adik-adiknya yang sudah sembilan orang, banyak yang masih bersekolah atau kuliah.

Triana lebih giat bekerja. Dia membuka wirausaha konveksi bersama ayah dan dua pamannya. Dia mengikuti kursus memasak dan les menjahit. Adik-adiknya senang mendapatkan baju Natal dan ulangtahun darinya. Tidak jarang, untuk menghemat bahan, kakak-beradik tampil dengan baju seragam saat Natal atau acara lain. Dia juga menjahitkan baju untuk di rumah, beribadah, maupun kuliah.

Triana pernah melanjutkan sekolah pada usia lebih dari 30 tahun. Namun, itu dilakukannya untuk memotivasi sahabatnya yang cacat fisik, agar tetap semangat mengikuti dan menyelesaikan pendidikan kejar paket C.

***

Sehari-hari, Triana makan sampai piringnya bersih. Dia tidak banyak berbicara, tetapi saudara-saudaranya tahu, dia sedang memberi teladan melalui setiap kebiasaannya. Jika ada makanan sisa, disimpannya di kulkas. Besoknya, dia memasak ulang baginya. Untuk yang lain, dia menyediakan yang terbaik, yang baru.

Triana rajin di dapur. Dia jago masak. Tangannya juga dikenal "dingin" sebagai perawat tanaman.

Suatu hari dia didiagnosis mengidap diabetes. Heran, karena dia paling tidak suka yang manis-manis. Dia meminum obat setiap hari. Beberapa tahun kemudian, dia juga diketahui mengidap penyakit ginjal dan jantung. Keluarga heran, karena Triana rajin berjalan kaki dan banyak minum air putih.

Semua dijalaninya tanpa banyak bicara.

Hari berlalu. Kebutuhan uang membengkak. Beberapa adiknya kuliah serentak. Kakak pertama dan adik nomor tiga sudah menikah, hidup pas-pasan. Adik nomor empat mengenyam studi ke jenjang lanjutan. Yang lain masih kuliah dan sekolah.

Suatu hari, tetangga ke rumah, menangis, meminjam uang untuk membayar hutang. Hatinya tersentuh. Dia mencarikan pinjaman, yang ternyata tersendat-sendat pelunasannya, hingga Triana yang mengambilalih beban itu.

Dia membuka percetakan, karena bisnis konveksinya berhenti akibat ada orang dalam yang "curang". Dia membayari hutang akibat kerugian. Sendirian, setelah ayahnya meninggal. Tanah dan emas-berlian simpanan hasil usaha kala jaya-jayanya, terjual satu persatu.

Triana membanting tulang, namun tidak pernah mengeluh. Dia kerapkali berbicara empat mata dengan ibunya, soal keuangan keluarga. Tidak ada adiknya yang boleh tahu. Dia ingin semua adiknya fokus pada sekolah.

Dia seperti tidak memikirkan kebutuhannya sendiri. Yang serba-murah untuknya, yang terbaik untuk keluarga. Ketika rumah kebakaran, seisinya ludes, Triana tidak mengeluh. Dia mencari pinjaman ke sana ke sini dan dari tahun ke tahun tutup-gali lubang.

Triana ikut berkontribusi untuk urusan di luar sekolah, untuk ibu, adik-adik, dan kerabatnya. Termasuk untuk urusan pernikahan, kematian, adat, dan lainnya. Saudara dari kampung masih silih berganti datang dan pergi. Jika ada yang bertamu, Triana wajib menjamu.

"Karena belas kasihan," kata Triana ketika suatu kali ditanya mengapa dia mau membantu begitu banyak orang, padahal dirinya sendiri kekurangan.

Suatu hari, Triana divonis harus cuci darah. Dia menjalaninya dengan tabah. Ketika tunnel untuk cuci darah dilakukan di paha, yang terkenal paling sakit dari seluruh prosedur, Triana tidak mengeluh. Juga ketika prosesnya dipindahkan ke bagian leher kanan, yang risih dan sakit.

Dua tahun, kondisinya makin parah. Bibirnya tertutup rapat, kendati kondisinya memburuk dari waktu ke waktu: pergelangan kakinya terkilir dan tidak mungkin dipasangi pin lalu digips; terkena stroke, tangan kanannya lunglai; jari kakinya luka, tidak sembuh-sembuh, menghitam, akhirnya diamputasi (satu jari menjadi dua, hingga dia berkata "tidak" untuk jari ketiga).

Berkali-kali kondisi sulit terjadi, berkali-kali Triana memenangi situasi. Selagi kaki dan tangannya masih bisa bergerak, dia bekerja. Sekalipun di kursi roda dan sebelah tangan lunglai, dia tetap ke dapur, memasak. Di meja makan, dia menyiangi wortel dan sayuran lain untuk diolah.

Pada hari-hari terakhirnya, Triana kurang nafsu makan. Sering mual dan muntah. Dia melemah. Di rumah sakit, dia gelisah, tetapi tidak mengeluh.

Dia masih berusaha menggeser-geser tubuh. Keluarga membantu. Hingga pada suatu titik, matanya yang besar bundar tidak menutup lagi. Begitu cantik. Mata superindah, yang melahap derita keluarga dan menyimpan sejuta rahasia tentang kepenatannya.

Dia tertidur. Kali ini tidak terbangun.

Triana adalah selibat. Tidak bersuami, tidak beranak. Tapi, banyak yang melayat. Menghormatinya sebagai pahlawan, pemerdeka. Tidak hanya dari materi, tetapi juga kasih sayang dan keteladanan.

Orang-orang bangga padanya. Saya juga. Saya adalah adiknya. ***

3 Cara Membangun Ikatan Erat dengan Anak, Orangtua Mesti Tahu

Ikatan erat antara orangtua dan anak berpengaruh besar dalam optimalisasi kesejahteraan anak. Hubungan itu bisa dibangun lewat komunikasi ...