Friday 28 April 2023

Pandangan Psikologi: Daur Ulang Kurang Efektif untuk Keberlanjutan Lingkungan

 

Tempat sampah pilahan. (Foto: Nareeta Martin/Unsplash)

Pandangan Psikologi: Daur Ulang Kurang Efektif untuk Keberlanjutan Lingkungan

Oleh Erry Yulia Siahaan
 
Sebuah ulasan psikologi tentang lingkungan muncul dalam Psychology Today akhir pekan lalu. Pesan intinya: daur ulang ternyata jauh lebih kecil peranannya dalam keberlanjutan lingkungan daripada yang selama ini dipikirkan oleh banyak orang.

Bahkan, daur ulang atau recycling memicu penggunaan bahan-bahan sekali pakai, bukannya mendorong reducing (mengurangi) dan reusing (menggunakan ulang), yang justru lebih hemat.

Dr. Joshua Rottman dalam tulisannya yang bertajuk "Recycling Isn't Virtuous; It's Making Thing Worse" menegaskan, sebaiknya kita sekarang fokus pada reducing (mengurangi) dan reusing (menggunakan ulang). Dia menyayangkan bahwa selama ini daur ulang justru terus dipuji sebagai cara yang etis atau paling etis dalam mengatasi masalah lingkungan.

Menurut Rottman, selama ini orang seakan mendapatkan kepuasan moral dari daur ulang. Padahal, daur ulang menyebabkan kerugian yang tidak setara dengan manfaat kecil yang diberikannya terhadap keberlanjutan lingkungan.

Pada peringatan Hari Bumi, misalnya, jutaan orang membuang sampah ke tempat-tempat terpisah untuk sampah pilahan dan merasa dengan melakukan itu mereka telah sangat membantu Bumi. Menjadi pendaur ulang dianggap bagian untuk meminimalisir kerusakan bumi akibat limbah.

"Daur ulang tidak sehijau yang dipikirkan orang. Faktanya, studi psikologis menunjukkan, kepuasan moral yang kita peroleh dari daur ulang dapat menyebabkan kerusakan, yang menihilkan manfaatnya yang minimal terhadap lingkungan," kata Rottman, Lektor Kepala Psychology and Scientific & Philosophical Studies of Mind pada Franklin & Marshall College. 

Karena sudah meluasnya pemahaman bahwa daur ulang bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan, tindakan memilih dan membuang barang bekas ke tempat sampah daur ulang membuat kita merasa bahwa kita berkelanjutan. Akibatnya, banyak yang membuang barang-barang yang tidak dapat didaur ulang seperti kantong plastik, styrofoam, dan bahkan popok kotor ke tempat sampah daur ulang. Orang yang berusaha berhati-hati dalam membuang limbahnya pun secara tidak sengaja dapat terlibat dalam kebiasaan daur ulang yang buruk. Itu karena konsumen masih sulit mengetahui apa yang dapat diterima untuk didaur ulang.

Pelabelan yang lebih baik dapat memperbaiki kebiasaan buruk. Simbol yang dipakai sekarang dinilai masih menimbulkan salah tafsir sehingga banyak barang yang tidak dapat didaur ulang ikut dicemplungkan ke dalam bak recycling. Beberapa negara kini mulai membatasi representasi yang tidak akurat untuk mendorong daur ulang yang lebih akurat. 

Tapi, kata Rottman, terdapat tren lain. Semakin melabeli tong sampah sebagai "tempat pembuangan sampah" dapat terus memfasilitasi daur ulang yang aspiratif. Penelitian memperlihatkan, label yang makin banyak itu memicu tindakan recycling aspiratif, sehingga makin banyak sampah-sampah yang tidak bisa didaur ulang dimasukkan ke dalam tempat berlabel itu.

Kesalahan kecil saat mendaur ulang berefek hilir yang cukup besar. Daur ulang aspiratif tersebut menyebabkan jutaan ton daur ulang tepi jalan dialihkan ke tempat pembuangan sampah atau insinerator. Peraturan internasional yang baru-baru ini diperketat telah memperburuk masalah ini.

Bahkan jika setiap orang mulai memilah daur ulang dari sampah mereka dengan benar, daur ulang akan tetap tidak efektif dan efisien dibandingkan dengan mengurangi atau menggunakan kembali, tegas Rottman.

Ketika beranggapan bahwa daur ulang memberikan hasil positif, misalnya karena barang-barang itu bisa dibuat barang baru, orang-orang merasa lebih baik untuk memilih barang sekali pakai. 

Studi baru-baru ini menemukan, orang-orang yang membuang plastik di tempat sampah "Waste2Wear" cenderung menggunakan botol plastik ketimbang toples kaca yang dapat digunakan kembali. Sebab, mereka “dijanjikan” telah berjasa kepada publik karena plastik itu akan diubah menjadi pakaian. 

“Ini kemungkinan akan membuat mereka lebih boros karena daur ulang tidak akan pernah lebih berkelanjutan daripada membatasi konsumsi dan menggunakan kembali apa yang sudah dimiliki,” kata dosen yang aktif dalam Laboratorium Pengembangan Nilai Moral itu.

Peneliti-peneliti lain mendokumentasikan fenomena terkait, yang disebut "negative footprint illusion", di mana orang secara keliru mengevaluasi tindakan berkelanjutan sebagai menghasilkan dampak lingkungan yang jauh lebih rendah daripada yang mereka sebenarnya bisa lakukan.

Partisipan dalam suatu riset salah percaya, bahwa membeli burger dengan apel organik (sebagai sisi berkelanjutan) lebih sedikit membebani lingkungan daripada membeli burger tanpa apel organik tersebut.

Dalam studi lain, responden beranggapan bahwa keluarga dengan dua kendaraan listrik hibrida memiliki dampak lingkungan yang setara dengan keluarga dengan hanya satu kendaraan hibrida. Meskipun, mereka dengan benar menilai bahwa keluarga dengan dua mobil konvensional berdampak lebih besar daripada yang dengan satu mobil. Artinya, orang cenderung berpikir bahwa berhemat tidak diperlukan untuk keberlanjutan.

Menurut Rottman, kita tidak boleh berhenti mendaur ulang. Namun, mendorong daur ulang dengan menonjolkan kebaikannya cenderung menjadi bumerang.

Dalam beberapa kasus, memandang daur ulang sebagai kewajiban moral akan secara langsung bertentangan dengan keberlanjutan. Sebaliknya, menjadi hijau akan lebih mudah difasilitasi dengan mempertimbangkan opsi perilaku lain (yang kurang nyaman), khususnya mengurangi konsumsi. Saat mempertimbangkan "Tiga R", kita harus ingat bahwa recycling merupakan pilihan terakhir. ***

No comments:

Post a Comment

3 Cara Membangun Ikatan Erat dengan Anak, Orangtua Mesti Tahu

Ikatan erat antara orangtua dan anak berpengaruh besar dalam optimalisasi kesejahteraan anak. Hubungan itu bisa dibangun lewat komunikasi ...