Titik Nol
Oleh: Erry Yulia Siahaan*
Setiap titik merupakan titik nol bagi siapa saja yang mau melakukan refleksi dan bertekad untuk memulai sesuatu dengan lebih baik daripada sebelumnya. Yang lama biarlah berlalu, yang baru kita sambut dengan niat dan langkah baru menuju keberartian hidup sebagai makhluk ciptaan Allah yang hadir oleh Dia dan untuk Dia, serta akan kembali kepada-Nya.
Ibarat uap, hidup itu hanyalah sekejap. Sebentar saja kita ada, lalu kita akan lenyap. Hari ini mungkin orang menaburkan pujian untuk kita atas segala yang kita miliki. Sebagai insan di titik nol, kita akan ingat untuk merespon pujian dengan melihat segala kelebihan kita sebagai titipan dari Allah. Mobil, rumah, harta, anak-anak, dan sebagainya adalah titipan-Nya.
Mungkin kita pernah lupa untuk bertanya, mengapa Tuhan menitipkan semua itu kepada kita? Mengapa kita seringkali merasa berat untuk melepas titipan itu untuk membantu orang lain? Bahkan, ketika titipan itu tidak ada lagi pada kita, kita malah menilai keadaan itu tidak menyenangkan, yang tidak semestinya terjadi. Kita menganggapnya ujian, musibah, petaka, atau entah apa hanya untuk melukiskan bahwa semua itu adalah derita. Tak jarang kita menyalahkan orang lain, bahkan Tuhan, atas ketidaksenangan kita.
Ketika kita berdoa, kita sering menuntut kepada Tuhan untuk memberikan apa yang kita mau, apa yang menurut kita cocok dengan kebutuhan duniawi kita, seakan Tuhan salah dengan keputusan-Nya. Kita meminta harta, mobil, rumah, popularitas, dan segala hal yang menurut kita baik dan bisa mendatangkan pujian bagi kita. Sebaliknya, kita menolak untuk sakit, miskin, dan semacamnya yang bisa membuat kita susah. Kita menganggap pembawa derita itu sebagai hukuman bagi kita.
Kita seperti beranalogi secara matematika untuk menyetarakan keadilan dan kasih Tuhan dengan apa yang kita inginkan. Kita merasa pantas menerima yang menurut kita baik dan menyenangkan, hanya karena kita sudah rajin beribadah. Kita tidak sadar telah berbuat curang dengan memperlakukan Tuhan seperti mitra dagang, bukan sebagai kekasih. Kita menuntut Tuhan memberikan yang menurut kita baik karena kita sudah berbuat baik. Kita menolak keputusan-Nya jika itu, menurut kita, menyakitkan. Padahal, ketika kita berdoa, kita menyebut Tuhan sebagai kekasih, yang kita muliakan, yang kita sembah, yang kepada-Nya kita akan kembali dan mempertanggungjawabkan perbuatan kita semasa hidup.
Titik nol membawa kita pada awal langkah yang baru, untuk menjadi pribadi yang selalu bersyukur dan bijaksana, percaya kepada Tuhan atas segala keputusan-Nya kepada kita. Semua itu didasarkan keyakinan kita bahwa Tuhan merupakan sumber segala anugerah dan Dia tidak pernah salah. Sepatutnya kita selalu terarah kepada-Nya.
Terarah kepada Allah menyadarkan kita bahwa kekayaan itu bukanlah hanya seputar emas, berlian, hidup kenyang, mobil mewah, rumah nyaman, atau semacamnya. Ketika kita masih hidup hari ini, kita sebenarnya kaya. Ketika kita berat untuk memberi kepada orang lain, kita sebenarnya lupa bahwa semua yang ada pada kita adalah pemberian. Ketika kita ingin menjadi yang terkuat, kita lupa bahwa dalam kelemahan itu sebenarnya kita diberi jeda untuk melihat kekuatan Tuhan. Ketika kita takut rugi, kita lupa bahwa hidup kita adalah keberuntungan karena hidup adalah anugerah.
Dengan bersyukur, hidup kita menjadi lebih indah. Kita bahagia bukan karena hari ini indah. Kita bahagia, maka hari ini menjadi indah. Bukan karena tidak ada rintangan kita menjadi optimis, tetapi karena optimis kita mampu melihat segala yang ada tidaklah seberat yang kita kira dan pastilah ada solusinya. Bukan karena mudah, kita bisa, melainkan karena kita yakin maka semuanya menjadi mudah. Bukan karena semua baik, kita tersenyum, melainkan karena kita tersenyum, semua menjadi baik.
Tidak ada hari yang menyulitkan kita, kecuali kita sendiri yang membuatnya menjadi sulit. Hidup kita pasti bisa berfaedah. Tidak hanya dengan perbuatan besar, tetapi setidaknya cukup untuk memberikan jalan menuju kemudahan ke arah yang benar bagi orang di sekitar kita. Kita tidak mesti menjadi jalan besar untuk berguna bagi orang lain, tetapi dengan menjadi jalan setapak kita sudah banyak memberikan manfaat. Kita tidak perlu menjadi matahari untuk menerangi orang lain, tetapi cukup menjadi lentera penerang di tengah kegelapan di sekitar kita. Setidaknya, bila kita tidak dapat berbuat sesuatu untuk seseorang, kita masih bisa berdoa untuk kebaikan.
Titik nol merupakan awal kita kembali melangkah dengan penuh rasa syukur. Titik nol menjadi penanda waktu untuk kita selalu ingat akan hakekat keberadaan dan hidup kita. **
* Tulisan ini dibuat dari puisi WS Rendra sebagai salah satu jawanban untuk Ujian Akhir Semester Bahasa Indonesia, Desember 2021.
No comments:
Post a Comment