D-dimer, Misteri Covid-19
Oleh: Erry Yulia Siahaan
Sumber: https://www.shutterstock.com/ |
Hari-hari ini topik D-dimer mengemuka dalam isu pandemi Covid-19. Khususnya ketika dua kasus terangkat di media massa. Pertama, wafatnya seorang warga Semarang setelah 10 hari dinyatakan sembuh dari Covid-19. Kedua, tulisan Dahlan Iskan pada blog pribadinya, yang kemudian tersebar melalui media sosial lainnya. Kedua kasus ini sama-sama dikaitkan dengan D-dimer.
Pada kasus pertama, pasien dinyatakan terkena Covid-19 pada 9 Desember 2020 dan dinyatakan sembuh pada 21 Desember 2020. Hasil tes swab-nya negatif. Namun, beberapa hari kemudian pasien sulit bernafas, dimasukkan ke ICU non-Covid, dipasangi ventilator, dan akhirnya wafat pada 1 Januari 2021. Diketahui, D-dimer pasien 6.000 ng/ml.
Pada kasus kedua, Dahlan Iskan menceritakan kadar D-dimer-nya sempat 2600 ng/ml, jauh di atas batas maksimal normal 500 ng/ml. Dia bersyukur bahwa dokter memasukkan D-dimer pada pemeriksaan darahnya, sehingga bisa lebih diantisipasi..
Terindikasi
Hubungan kuat antara D-dimer dan fatalitas Covid-19 sebenarnya sudah terindikasi sejak awal pandemi di Cina. Dalam British Journal of Haematology yang terbit 18 Mei 2020 diungkapkan, dari 279 pasien Covid-19 di tiga rumah sakit di Provinsi Hubei Cina, diketahui bahwa kelainan pembekuan darah merupakan hal yang banyak ditemukan pada pasien kritis dengan Covid-19. Diduga, proses trombosis mikrovaskuler sistemik terjadi pada sebagian besar kematian. Ini diperkuat dengan hasil otopsi. Namun demikian laporan itu menyebutkan masih belum jelas bagaimana keterlibatan D-dimer pada perkembangan penyakit.
Selanjutnya, menurut penelitian lain yang hasilnya dimuat pada Journal of Intensive Care terbitan 10 Juli 2020, D-dimer merupakan biomarker (penanda biologis) untuk tingkat keparahan dan mortalitas (kematian) pada pasien Covid-19. Tim riset meneliti karakteristik klinis, laboratoris, dan radiologis dari 248 kasus Covid-19 di Renmin Hospital of Wuhan University, Wuhan, Cina pada kurun waktu 28 Januari sampai 8 Maret 2020. Mereka ingin melihat korelasi D-dimer terhadap tingkat keparahan dan mortalitas pasien. Diperoleh kesimpulan bahwa D-dimer umumnya meningkat pada pasien Covid-19 dan berkorelasi dengan fatalitas penyakit. Bahkan disimpulkan, tingginya D-dimer merupakan marker atau penanda penting terkait tingkat kematian pasien.
Apa Sebenarnya D-dimer?
D-dimer merupakan salah satu fragmen protein dalam darah yang berperan dalam degradasi fibrin dalam darah. Ia merupakan hasil pemecahan fibrin pada bekuan darah dari hasil fibrinolisis. Fibrin diperlukan saat terjadi luka atau perdarahan, yakni untuk pembentukan bekuan darah atau trombus. D-dimer diproduksi ketika bekuan darah diserap dalam tubuh. Secara normal, D-dimer tidak terdeteksi. Atau, kalaupun terdeteksi, ia berada pada level atau jumlah yang sangat rendah kecuali bila tubuh membentuk dan memecah bekuan darah, di mana pada kondisi seperti ini jumlah D-dimer bisa meningkat secara signifikan.
Kadar normal D-dimer pada orang dewasa adalah kurang dari 500 ng/ml. Pada wanita hamil, kadar D-dimer meningkat dan itu dinilai normal. Pada kehamilan trimester pertama, level D-dimer berkisar 50-950 ng/ml, trimester kedua berkisar
320-1300 ng/ml, trimester ketiga berkisar 130-1700 ng/ml. Pada kondisi ini, hasil pemeriksaan disebut hasil positif palsu.
Mengapa D-dimer perlu diketahui? Dengan mengetahui level D-dimer seseorang, kita dapat mencegah terjadinya episode trombosis atau clotting (pembekuan) dalam darah dan membantu menegakkan diagnosis kondisi seseorang terkait dengan trombosis. Pemeriksaan D-dimer biasanya dilakukan pada seseorang dengan masalah seputar bekuan darah seperti deep vein thrombosis (DVT), pulmonary embolism (PE), atau disseminated intravascular coagulation (DIC). Pemeriksaan D-dimer juga diperlukan untuk memonitor pengobatan pasien dengan DIC dan masalah pembekuan darah yang parah.
Deep vein thrombosis adalah trombosis atau penggumpalan darah pada satu atau lebih pembuluh darah vena dalam, umumnya di paha atau betis, tetapi bisa juga di bagian tubuh lain. Pulmonary embolism atau emboli paru adalah penyumbatan pada pembuluh darah di paru-paru, yang biasanya akibat gumpalan darah yang awalnya terbentuk di bagian tubuh lain, terutama kaki. Sementara DIC atau koagulasi intravaskular diseminata adalah sindrom langka yang cukup serius di mana terjadi pembekuan darah secara berlebihan. Koagulasi sistemik teraktivasi sehingga terjadi peningkatan aktivitas platelet, faktor koagulasi, serta deposisi fibrin intravaskular. Kondisi ini menghasilkan trombus mikrovaskular yang dapat menghalangi aliran ke organ tubuh, sehingga bisa terjadi kerusakan jaringan dan kegagalan multiorgan. Selain itu, trombosit dan faktor pembekuan dalam darah lama-lama menurun dan terjadilah perdarahan serius.
Misteri
Meningkatnya D-dimer ternyata bukan hanya disebabkan bekuan darah, tapi bisa oleh faktor-faktor lain. Peningkatan D-dimer akan terlihat pada kondisi di mana fibrin darah terbentuk (sebagai respon atas terjadinya perdarahan) dan kemudian fibrin ini dirusak. Misalnya, pada waktu operasi/bedah, adanya trauma infeksi, serangan jantung, kanker, dan kondisi lain di mana fibrin tidak normal (seperti pada kasus penyakit hati).
Namun demikian, masih menjadi misteri bagi peneliti medis tentang bagaimana keberadaan D-dimer bisa meningkat pada pasien Covid-19. Persoalan lain adalah bagaimana mengatasinya.
Secara teoretis, penatalaksanaan untuk kasus di mana D-dimer tinggi tidak boleh ditekankan hanya pada memperbaiki hasil laboratorium. Tetapi, juga pada upaya mengatasi penyebabnya. Jika ada perdarahan misalnya, bisa dilakukan pengobatan dengan pemberian platelet atau faktor pembekuan darah. Namun, karena keberadaan D-dimer belum jelas penyebabnya pada pasien Covid-19, masih menjadi persoalan untuk mengatasinya.
Kita tentu berharap, semoga misteri ini lekas terjawab. ***
No comments:
Post a Comment