Wednesday, 10 February 2021


Almamater

Oleh: Erry Yulia Siahaan

 

Sumber: https://www.pngdownload.id/

Tidak terasa. Satu semester kembali berlalu. Rasanya baru kemarin dimulai, pikir Bagus. Pemuda ini mengisi waktu liburnya yang cuma dua minggu dengan harap-harap cemas. Dia ingin mendapatkan beasiswa. Dia berharap nilai-nilainya cukup baik untuk bisa memuluskan jalan mendapatkan beasiswa. Pria dari Medan ini kuliah dan bekerja di Jakarta. Dia mengambil program ekstensi, dengan jadwal kuliah Jumat sore dan Sabtu. Sesuai sekali dengan jadwal bebas kerjanya. Jumat, Bagus selesai bekerja pukul empat sore. Kadang dia bertahan di kantor sampai malam, memanfaatkan wifi kantor untuk mengikuti kuliah. Minggu adalah waktu untuk ibadah, istirahat, atau refreshing.

Bagus dikenal sebagai mahasiswa yang cerdas. Nilai-nilainya rata-rata A. Ada dua nilai A-  dan satu B+. Nilai B+ diperolehnya karena dia mengikuti ujian susulan (karena sempat sakit). Menjadi kebijakan di kampusnya bahwa nilai maksimal untuk ujian susulan hanya 70. Bagus dikenal idealis. Untuk kebijakan nilai ujian susulan ini dia sudah pernah menyampaikan keberatan. Menurut dia, tidak semestinya hak mendapatkan nilai maksimal 100 menjadi gugur hanya karena mahasiswa sakit. Apalagi syarat surat keterangan sakit dari dokter sudah dipenuhi untuk bisa mengikuti ujian susulan. Untuk apa mahasiswa diberi syarat harus bisa menunjukkan surat keterangan sakit jika perlakuan yang didapat sama saja dengan mereka yang ikut ujian susulan karena alasan lain. Keberatan itu hingga kini belum mampu merubah kebijakan tersebut. Namun, untuk seorang Bagus, menyampaikan apa adanya untuk kebaikan kampus, jauh lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa alias menerima saja. “Ini bagian dari rasa cinta saya kepada almamater,” demikian suara hati Bagus.

Rasa cintanya itu kembali diuji saat harus mengisi survey profesionalisme dosen. Link kuesioner sudah tersedia di kolom nilai pada Learning Management System (LMS). Mahasiswa mesti mengisi survey dulu untuk bisa melihat nilai. Mahasiswa diminta memberi skor untuk performa dosen setiap matakuliah (matkul) yang diikuti, antara lain strategi mengajar, teknologi yang dipakai, apresiasi pada keberagaman mahasiswa, dan saran. Pada semester-semester lalu, Bagus termasuk rajin mengisi survey. Masih manual. Juga, anonim. Kali ini, lain. Survey muncul di tiap akun mahasiswa. Bagus sempat gusar, akankah mempengaruhi nilai nantinya? Dia putuskan untuk mengisinya. Usai mengisi, nilai-nilai langsung keluar (semua A), kecuali satu. Untuk matkul yang satu ini, di kolom nilai bukan huruf A, B, C yang muncul, melainkan BS atau "Belum Selesai". Bagus ketar-ketir. Ini justru matkul yang dosennya oleh Bagus diberi skor tidak maksimal disertai saran paling tidak enak - saran yang menurut Bagus memang harus disampaikan, sebagai bukti cinta almamater. Hari demi hari berlalu. Akhirnya nilai matkul itu keluar: A-. Bagus terpana. Dia merasa yakin selalu terdepan dalam mengikuti diskusi dan menjawab soal-soal. Dia juga yakin bisa mengerjakan soal-soal ujian. Sempat muncul rasa menyesal, mengapa dia memberi penilaian kurang baik dan kritik untuk dosen tersebut. Apakah itu mempengaruhi? Tapi, sekali lagi, cintanya terhadap almamater memenangkan segala. Lebih baik itu disampaikan. Kalaupun benar ada reduksi nilai karena kritik yang diberikan, itu menjadi tanggungjawab moral dosen bersangkutan. Semoga sarannya diketahui kampus dan bermanfaat bagi nama baik almamater ke depan. Ini jauh lebih berarti. Inikah yang disebut “cinta butuh pengorbanan”? ***

 
  
 
 
 
#thepowerofkepepet
#pikir15menit
#nulis15menit
#kasihsayang
#Feb10 AISEIWritingChallenge

 

No comments:

Post a Comment

3 Cara Membangun Ikatan Erat dengan Anak, Orangtua Mesti Tahu

Ikatan erat antara orangtua dan anak berpengaruh besar dalam optimalisasi kesejahteraan anak. Hubungan itu bisa dibangun lewat komunikasi ...