"Maafkan Aku, Aurellia"
Oleh Erry Yulia Siahaan
"Kalena," sambut lelaki tua itu begitu melihat sosok putri semata wayangnya muncul di balik pintu.
Seperti biasa, Kalena menaruh tas dan bawaannya di meja, kemudian menghampiri dan memeluk Luis, ayahnya.
Luis sedang duduk di samping tempat tidur. Tangannya masih memegang sisir. Dia baru saja selesai mandi dan tengah bersiap-siap menuju ruang makan.
Kalena mengambil kursi roda dan membantu ayahnya duduk di atasnya. Luis masih bisa berjalan. Namun, untuk sampai ke ruang makan, dia membutuhkan kekuatan ekstra jika berjalan kaki. Apalagi, hari itu, rencana Luis dan putrinya lumayan panjang.
Sabtu dan Minggu adalah dua hari ayah-anak itu berkumpul, dari pagi hingga menjelang tidur malam. Ada peraturan di rumah jompo itu, bahwa keluarga tidak boleh menginap. Jam jenguk dimulai pukul enam pagi hingga pukul sembilan malam.
Luis berusia 75 tahun. Belum terlalu uzur. Dia terlihat jauh lebih tua dari usianya. Mungkin lantaran terlalu banyak yang dipikirkan. Khususnya, kenangan tentang isterinya yang mati muda, meninggalkan Kalena yang belum selesai kuliah.
Tak ada habisnya Luis memikirkan isterinya dengan kata "seandainya ...." berulangkali. Ya. Luis penuh penyesalan, karena dia belum mengucapkan kata maaf sekali lagi pada saat-saat terakhir sebelum isterinya wafat. Juga, pernyataan cinta. Padahal, hal itu yang diinginkannya.
Aurellia, isteri Luis, pergi begitu cepat. Hanya beberapa hari di rumah sakit. Luis baru saja pulang untuk membawa pakaian kotor ke rumah, ketika perawat meneleponnya dan memberitahukan Aurellia sudah tiada.
Ketika Aurellia menunjukkan tanda-tanda kritis, perawat segera melakukan tindakan darurat yang sudah ditandatangani oleh Luis. Bahwa, jika sewaktu-waktu terjadi kondisi kritis, keluarga mengizinkan pihak rumah sakit melakukan tindakan darurat tersebut. Tindakan itu tidak bisa lagi menunggu Luis tiba kembali di rumah sakit, karena setiap detik sangat berharga untuk mengembalikan detak jantung Aurellia.
Penyesalan itu dibawa Luis hingga masa tuanya. Dia menyesal tidak bisa mengucapkan kata "maaf" kepada Aurellia pada saat-saat terakhirnya. Meskipun sebenarnya, hampir setiap hari Luis mengucapkan kata maaf kepada Aurellia selagi isterinya masih hidup. Permintaan maafnya itu untuk perbuatannya yang pernah satu kali terbilang kasar. Luis sama sekali tidak bermaksud melakukannya. Tapi, saat itu dia lepas kontrol.
Dia baru saja pulang dari sebuah acara pesta bersama Aurellia di sebuah kota saat Luis bertugas di luar negeri. Tidak seperti biasanya, malam itu Luis menenggak minuman keras cukup banyak. Aurellia juga heran.
"Ah, mungkin Luis sedang banyak beban di kantor," kata Aurellia dalam hati.
Setiba di rumah, Aurellia bermaksud membantu Luis melepaskan tuksedo dan jasnya, sementara Luis maunya langsung berbaring, bahkan tanpa melepas sepatu. Ulah yang janggal dan baru kali itu terjadi.
Aurellia sedikit bersikeras. Sebagai isteri, Aurellia merasa berkewajiban mengurus hal-hal seperti itu. Luis mendadak mendorong Aurellia hingga isterinya itu terdorong beberapa langkah dan kepalanya membentur tembok.
"Aaarrhh," teriak Aurellia sebentar, lalu mengusap-usap kepalanya. Aurellia menangis nyaris tanpa suara, dengan tatapan tidak percaya bahwa Luis bisa melakukan itu.
Mengetahui gerakan spontannya telah melukai Aurellia, Luis menyesal. Dia ikut menangis. Bahkan, lebih keras daripada tangisan Aurellia sambil berulangkali meminta maaf.
Kalena saat itu baru masuk kuliah dan tinggal di asrama di Indonesia. Dia tidak pernah mengetahui kejadian itu, hingga suatu hari, ketika ibunya tiada, dia menangkap-dengar ucapan ayahnya yang berkata "maafkan aku". Berulang-ulang, sambil sesunggukan.
"Ada apa, Dad," tanya Kalena. Sedari kecil dia terbiasa memanggil ayahnya dengan "Daddy" atau "Dad" dan ibunya dengan "Mommy" atau "Mom". Mereka sekeluarga memang sering berkomunikasi dalam bahasa Inggris.
Luis terperanjat. Semula dia tidak mau bercerita. Kalena penasaran. Luis akhirnya mengisahkan peristiwa itu.
Luis menyesal, karena dia tidak menyangka, dorongan spontannya waktu itu telah memicu laju perkembangan tumor di kepala Aurellia. Dua tahun setelah kejadian itu, Aurellia kerap makin sering sakit kepala.
Dulu, Aurellia memang pernah diketahui mempunyai benjolan tidak normal di kepala. Melalui serangkaian tes, benjolan itu dipastikan aman, sehingga tidak ada intervensi serius seperti tindakan operasi. Cukup minum obat jika pusing dan melakukan pemeriksaan berkala.
Sejak terbentur di tembok, Aurellia menjadi sering merasakan pusing. Dia pun ke dokter. Hasil tes menunjukkan, dia mengidap tumor ganas.
Dokter heran, mengapa benjolan itu malah menjadi ganas. Dia bertanya apakah Aurellia pernah mengalami trauma atau benturan sebelumnya. Aurellia tidak menjawab.
Namun, buat Luis, pertanyaan dokter itu membuat batinnya tertohok. Dia syok. Dia membayangkan hal terpahit yang mungkin terjadi pada isterinya dan hal itu karena ulahnya. Sejak itu dia bertekad, kalau waktu pahit itu harus tiba, dia tidak mau kehilangan momen "melepas" Aurellia tanpa meminta maaf dan menyatakan cintanya. Sekali lagi dan untuk yang terakhir kali.
Luis memang sangat mencintai isterinya. Mereka bertemu di sebuah kota di luar negeri, ketika ayah mereka masing-masing menjadi diplomat di negara itu. Mereka pernah ikut orangtua mereka ke suatu pesta. Cinta pada tatapan pertama membuat mereka rajin bertemu setelahnya.
Nama "Luis" adalah dari bahasa Portugis, yang berarti "prajurit yang kuat". Luis dilahirkan di Portugal sewaktu ayahnya menjadi diplomat di sana. Nama Luis diberikan sebagai pengingat jejak karir diplomasi ayahnya yang diplomat di Portugal. Sedangkan Aurellia berasal dari keluarga Inggris dan namanya berarti "bahagia".
Luis sudah berkomitmen membuat Aurellia selalu berbahagia, sesuai dengan makna namanya. Seumur pernikahan mereka, Luis selalu lembut kepada Aurellia. Sebaliknya, Aurellia makin cinta pada Luis dari hari ke hari.
Luis adalah pejabat tinggi di sebuah perusahaan besar. Dia dan Aurellia memberi nama putri tunggal mereka "Kalena". Itu sesuai dengan frasa dalam bahasa Ibrani "Callena" yang berarti "pintar berbicara". Luis ingin Kalena menguasai banyak bahasa dan pandai berkomunikasi, serta menjadi diplomat seperti ayah Luis.
Kalena sengaja menitipkan Luis di panti jompo. Maksudnya, supaya Luis banyak berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya dan tidak menjadi kesepian. Kesepian mudah memancing Luis menjadi banyak melamun. Beban pikirannya tampak begitu besar hingga tanpa sadar Luis akan bergumam sendiri dalam isakan, "maafkan aku".
Pada hari-hari kerja, Senin sampai Jumat, Kalena bekerja di luar kota, dua jam perjalanan jauhnya jika jalan tidak macet. Dia tidak sanggup untuk pergi pulang menyetir sendiri buat bekerja setiap hari. Selain itu, dia juga merasa butuh waktu untuk dirinya sendiri.
Itu sebabnya, dia memutuskan tinggal di apartemen. Jumat sore sepulang dari kerja, dari kantor dia langsung menuju kota kelahirannya untuk menghabiskan Sabtu dan Minggu bersama Luis.
Suatu pagi, di tengah rapat, Kalena mendapatkan telepon dari nomor penting dalam daftar kontaknya.
"Bapak Luis kritis. Sudah kami bawa ke rumah sakit," kata suara di seberang telepon. Dia adalah salah satu petugas di rumah jompo.
"Baik, saya segera ke sana," kata Kalena.
Tak lama kemudian, telepon berdering lagi. Kali ini dari tante Kalena, yang menanyakan bagaimana pendapat Kalena tentang tindakan darurat yang mesti dilakukan terhadap Luis. Keputusan harus diambil segera.
Luis didapati tidak sadarkan diri di kamar. Seorang petugas masuk kamar Luis, karena seusai sarapan Luis tidak muncul lagi hingga jam makan siang. Luis diduga terkena stroke.
Luis tidak bisa lagi bernapas sendiri. Rumah sakit menilai perlu dilakukan tindakan pemasangan ventilator untuk membantu pernapasannya. Hanya saja, ada ketentuan yang mengharuskan keluarga menandatangani surat pernyatan setuju pemasangan ventilator dan tindakan tambahan berupa resusitasi juga suatu saat jantungnya terindikasi berhenti. Persetujuan di atas materai diperlukan, karena tindakan-tindakan itu berisiko tinggi.
Perempuan berusia empatpuluhan itu meminta telepon diteruskan ke pihak rumah sakit dan menyerahkan wewenang persetujuan kepada tantenya. Kalena segera menemui atasannya dan meminta izin meninggalkan pekerjaan, karena situasi darurat yang menimpa ayahnya.
Selama dalam perjalanan pulang, Kalena berdoa, semoga dia masih bisa bertemu dengan ayahnya, meminta maaf karena tidak bisa maksimal merawat dan mendampinginya. Dia ingin meyakinkan ayahnya bahwa dia sangat mencintainya.
Dia berharap tidak ada telepon yang masuk dari rumah jompo atau pihak rumah sakit sebelum dia sampai. Hatinya cukup was-was karena tidak mau itu terjadi.
Kalena langsung menuju rumah sakit. Dia tidak tega melihat ayahnya sudah dipasangi alat bantu pernapasan. Selang besar dimasukkan ke tubuh Luis lewat mulut. Luis masih tidak sadarkan diri.
Dua hari Kalena tidak pulang. Dia menunggui Luis di rumah sakit, bersama tante dan kerabat yang lain. Dia tidak mau kehilangan momen seperti ayahnya terhadap ibunya.
Sama seperti Luis dulu, Kalena memikirkan kenyataan terpahit yang mungkin terjadi. Dia tidak mau beranjak dari kamar tunggu buat keluarga pasien rawat intensif.
Sama dengan para penunggu yang lain, dia terus berdoa mengharapkan mukjizat terjadi. Namun, dia juga harus siap jika sewaktu-waktu muncul pengumuman di pengeras suara: "keluarga Luis harap menemui dokter".
Panggilan yang biasanya berakhir dengan tangisan. Panggilan serupa itu menjadi penanda kondisi pasien pada tahap terminal kritis dan keluarga diberikan kesempatan untuk berdoa di ruang pasien, mengucapkan kata-kata akhir di telinga pasien.
"Pegang tangan Tuhan, Dad," kata Kalena. "Maafkan Kalena, belum bisa maksimal mengurus Daddy. Kalena sayang Daddy."
***
Mata Kalena berkaca-kaca. Di tangannya, sepucuk surat sudah lepas dari amplopnya. Dia duduk di ruang khusus di rumah jompo. Petugas meninggalkannya sendirian untuk membaca surat itu.
"Maafkan Daddy, Kalena. Daddy sayang pada Kalena. Peluk kasih Daddy untuk Kalena," demikian kata-kata di ujung surat itu.
Luis ingin memastikan bahwa dirinya tidak ingin mengulangi penyesalannya, kehilangan momen untuk meminta maaf dan menyatakan rasa sayangnya kepada Kalena, putri semata wayangnya. ***
Bogor, 14 Mei 2023
No comments:
Post a Comment