Cantik, Cerdas, Multitask (Sumber: IStock Photo) |
Oleh Erry Yulia Siahaan
Menjadi ibu yang sempurna menjadi semacam label atau predikat yang dianggap penting bagi perempuan, khususnya para ibu. Jika tidak diwaspadai, keinginan untuk mengejar predikat itu justru bisa menjadi bumerang dan membuat kita terperangkap.
Sudah menjadi kelaziman dalam norma berkeluarga bahwa seorang perempuan akan disoroti, apakah dia bisa menjadi ibu yang sempurna ataukah tidak. Dari perihal mengurus anak dan rumah hingga ke urusan tetap bisa cantik, cerdas, dan sukses dalam karir.
Sorotan "ibu yang sempurna" kerap disertai ukuran yang kurang realistis dan kurang nyaman bagi perempuan pada umumnya. Bahkan, penuh kritik dan kata-kata pedas jika tidak terpenuhi. Herannya, "norma" itu tetap saja ada di tengah masyarakat.
Saya katakan kurang realistis dan kurang nyaman karena sejujurnya ukuran yang dipakai dianggap universal alias pukul rata, padahal kondisi setiap perempuan tidaklah sama. Begitu pula budayanya.
Buat sebagian perempuan, ukuran itu terlalu tinggi. Bila memaksakan diri untuk "mencapainya", mereka bisa "menjadi orang lain", bukan menjadi "diri sendiri". "Menjadi orang lain" pada banyak titik adalah kesia-siaan, bahkan menambah beban.
Sebagaimana pernah saya tuliskan, menjadi orang lain merupakan pekerjaan yang melelahkan. Sebab, hal itu menguras energi, usaha, dan waktu, bahkan dana, yang tidak jelas ujungnya sampai di mana. Di atas langit masih ada langit. Artinya, tidak ada sesuatupun yang sempurna di dunia ini. Satu pun tidak. Bahkan, ukuran, sorotan, label, atau predikat itu sendiri pun tidak sempurna.
"Ibu yang Sempurna"
Bagaimana sebenarnya pandangan atau konsep yang benar mengenai "ibu yang sempurna"?
Jawabannya, tidak bisa dipukul rata. Ibu yang baik terjewantahkan secara beragam antarbudaya. Tiap kultur memiliki cara berinteraksi yang berbeda, begitu pula dalam hal busana, pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan, nilai-nilai adat, jam kerja dan apa yang dilakukan, dan sebagainya.
Yang termasuk umum dan sudah terlanjur terinternalisasi antara lain: seorang perempuan harus menghasilkan keturunan sebelum dia bisa disebut "ibu", bisa menyusui anaknya untuk bisa disebut "ibu yang sempurna".
Ibu yang sempurna adalah ibu yang pagi-pagi sudah bangun (lebih dulu bangun daripada suami dan anak-anak), masuk dapur, menyiapkan sarapan dan bekal untuk dibawa ke kantor dan sekolah, membereskan rumah dan tugas lain, memasak untuk makan siang dan malam, mencuci pakaian dan menyeterika.
Bahkan, kalau perlu, bisa menjahit, mahir memasak, rajin, tetapi tetap cantik, langsing, dan rapi, sehingga mengundang pujian ketika tampil sebagai ibu di depan anak dan teman-temannya dan sebagai isteri di depan komunitas suaminya.
Dapur rumah dibuatnya selalu bersih dan kinclong. Semua ruang tidur di rumah tertata rapi dan harum. Urusan kesehatan suami dan anak-anak beres di tangannya. Dia didapati pula rajin beribadah. Seandainya pun dia perempuan yang bekerja (wanita karir), dia tetap mampu memenuhi ukuran itu.
Mungkin ada yang mengatakan, "oh, itu bukan saya". Tunggu dulu. Pernahkah yang mengatakan itu merasakan hal-hal ini: Pernah atau kerap harus menekan dan mengalahkan kebutuhan, keinginan, dan kepribadiannya yang sejati demi mengejar target-target tertentu agar mendapatkan pengakuan bahwa dirinya hebat, sempurna, atau semacamnya?
Atau, di zaman digital sekarang ini, di mana media sosial menjadi media lumrah di tangan para ibu. Pernahkah kita jepret sana jepret sini, dengan gaya yang diatur dulu, kalau perlu memasang muka cerah, dengan senyum merekah, dan mengulangi bidikan kamera sampai fotonya pas dengan selera? Lalu, foto-foto itu kita pasang di facebook atau instagram misalnya, untuk kemudian bolak-balik kita pantau responnya. Entah itu sekadar tanda jempol, tanda "love", atau pujian di kotak komentar?
Jika iya, bagaimana kita merefleksikan semua itu, khususnya jika senyuman itu tidak menggambarkan kondisi sebenarnya. Juga keakraban yang kita coba kesankan melalui foto-foto itu, khususnya ketika kita bersama keluarga, bukanlah potret yang sesungguhnya?
Menjadi Diri Sendiri
Ini kisah Lia, ibu dari dua anak. Saat mengandung anak keduanya, yang sudah dinantinya sekitar tujuh tahun, Lia diketahui hamil. Awalnya, Lia tersandung saat berjalan kaki. Kemudian, dia menemukan ada flek darah pada pakaian dalamnya. Lia curiga dirinya hamil, karena sudah telat haid beberapa hari. Namun, dia perlu melakukan tes untuk memastikannya.
Hasil tes adalah positif. Lia langsung ke dokter kandungan. Dokter bertanya, apakah kandungan itu ingin dipertahankan? Kalau ya, berarti Lia harus banyak beristirahat. Bahkan untuk beberapa waktu ke depan, mesti bed-rest dan meminum obat penguat rahim.
Lia langsung memutuskan akan mempertahankan kandungannya, meskipun itu berarti dia harus menunda pendidikan pascasarjananya, banyak bolos dari pekerjaannya, dan seterusnya. Juga harus rela makan banyak-banyak agar bayi dalam kandungannya bisa bertambah berat badannya. Berat badan Lia sudah mencapai lebih dari seratus kilogram, dari yang semula sekitar enampuluh. Lia tidak berani lagi menimbang berat badannya, tetapi dia terus mengikuti saran dokter: makan banyak-banyak agar bayinya bisa bertambah berat badannya.
Bayinya lahir prematur melalui sesar. Lia memutuskan mengambil kamar di rumah sakit meskipun harus membayar. Tujuannya, agar bisa setiap hari berdekatan dengan bayinya, yang sekitar dua minggu di ruang NICU. Lia akhirnya pulang bersama bayinya dalam keadaan sehat dan penuh sukacita. Tetap bersukacita dan bersyukur, kendati kemudian dia harus melepas pendidikan pascasarjananya kala itu dan kehilangan pekerjaan.
Lia tidak peduli apa pandangan orang mengenai dirinya, yang tubuhnya menjadi sangat gemuk karena membela bayinya. Juga soal air susunya yang sedikit sekali sehingga bayinya dominan minum susu formula. Atau, ketika dia memberikan kebebasan kepada anak-anaknya yang memilih mengikuti jalannya: untuk tidak terbuai pada berselfie-ria di media sosial, tidak malu membawa kue buatan rumah untuk dijual kepada teman-teman ke kampus atau sekolah, beralaskaki sederhana dan murah serta harus berbasah-basah manakala datang hujan.
Lia ingin menjadi dirinya sendiri. Karena dirinyalah yang lebih tahu tentang kondisi dan kebutuhannya. Bukan orang lain, bukan label atau predikat yang berseliweran di sekitarnya, pun para penganutnya.
Sikap Lia patut diapresiasi. Konsep "ibu yang sempurna" lebih berwarna mitos dan bisa menjerat perempuan karena rasa ketakutan yang ditimbulkannya. Ketakutan membuat perempuan menjadi tidak jujur pada dirinya sendiri dan antarperempuan bersikap saling menghakimi.
Kita mungkin bisa menjadi bertambah gemuk dan kurang cantik secara fisik, kehilangan pekerjaan di kantoran, tidak bisa melanjutkan studi, tidak bisa memberikan air susu ibu kepada anak, tidak sanggup membersihkan seluruh bagian rumah. Itu tidaklah berarti kita bukan ibu yang baik.
Melakukan segala sesuatu tanpa tekanan adalah awal menjadi diri sendiri. Kelegaan dan keikhlasan melakukan tugas seorang ibu demi bahagianya keluarga akan menjadi nilai-nilai yang baik buat diteruskan pada generasi berikutnya.
Tidak ada satupun formula yang berlaku bagi semua hal, semua kondisi, semua budaya, termasuk dalam hal mengurus anak atau menjadi ibu yang baik. ***
No comments:
Post a Comment