|
"Siapakah Allah?" tanya seorang hamba Tuhan kepada sejumlah orang. Beragam jawaban muncul. Hamba Tuhan itu akhirnya menutup pertanyaan itu dengan penegasan bahwa "Allah adalah Kasih".
Allah atau Kasih tidak bisa diukur. Bahkan, kata salah satu adik saya dalam suatu diskusi, ketika kita mengatakan bahwa Allah adalah "tak terhingga", kita telah menetapkan suatu parameter pada keterukuran Allah.
"Tak terhingga" (infinity dalam bahasa Inggris) dikenal sebagai salah satu konsep dalam Matematika. Ia merupakan gagasan bersimbol khusus. Ia merupakan sesuatu yang tidak memiliki batas dan tidak terikat, namun jika ia menjadi faktor pembagi dari angka satu, ia akan menghasilkan nol.
Kok, bisa? Itulah yang terjadi pada infinity sebagai salah satu konsep pengukuran dan keberukuran. Meskipun di satu sisi, bidang Matematika mengatakan bahwa infinity adalah "tidak terdefinisikan", di sisi lain bidang ini merumuskan keberadaan infinity dengan pernyataan bahwa "minus 'tak terhingga' < x < 'tak terhingga'", di mana "tak terhingga" terdefinisi sebagai yang lebih kecil dan lebih besar dari bilangan real apapun. Pemecahan "satu dibagi 'tak terhingga'" dilakukan dengan penyelesaian limit, yang hasilnya mendekati nol.
Ketidakterukuran Allah atau Kasih, secara sederhana bisa kita lihat dari bagaimana Allah tetap memelihara kita, padahal kita terus saja berbuat dosa. Allah tetap mau mengampuni, sekalipun kita kerap bersalah atau lalai.
Anak-anak Kasih
Merujuk pada pernyataan "Allah adalah Kasih", orang-orang yang mengakui diri mereka sebagai "anak-anak Allah" sudah seyogyanya memiliki hidup sebagai "anak-anak Kasih". Artinya, apa yang diajarkan oleh Allah tentang kasih, itulah yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Rasul Yohanes mengatakan, "Marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah dan setiap orang yang mengasihi lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah Kasih". (1 Yohanes 4 ayat 7 dan 8)
Jelas, bahwa hanya orang yang mengenal Allah yang bisa mengasihi. Lantas, apa itu kasih?
Banyak nas dalam Alkitab yang mengulas tentang kasih. Masih dalam Injil Yohanes (Yohanes 4 ayat 18-19), kita mengetahui, bahwa "Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih. Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita."
Dalam 1 Korintus 13 ayat 4 sampai 7 dituliskan, "Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu"
Berangkat dari Hukum Taurat, Allah mengajarkan kepada kita tentang dua macam kasih, yaitu kasih kepada Allah (hukum Taurat pertama hingga keempat) dan kasih kepada sesama manusia (hukum Taurat kelima hingga ke-10).
Penegasan mengenai kasih kepada Allah dan sesama manusia bisa kita dapatkan pada Matius 22 ayat 37 sampai 40 yang berbunyi, "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi".
SOP dalam Menyatakan Kasih
Standard Operating Procedure (SOP) tidak hanya berlaku di laboratorium atau pekerjaan kantoran. Penerapan kasih juga memiliki SOP, baik tentang prosedur maupun tentang "siapa melakukan apa". Anak-anak Tuhan idealnya mengerti SOP kasih, sebagaimana halnya pekerja yang profesional memahami SOP dalam pekerjaannya.
Mengasihi Allah dapat kita lakukan dengan menuruti perintah-perintah-Nya (1 Yohanes 5 ayat 3). Berpijak pada 1 Korintus 13 ayat 4 sampai 7, misalnya, kita mewujudkan kasih dengan karakter sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri dan tidak sombong, tidak melakukan yang tidak sopan, tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah, tidak menyimpan kesalahan orang lain.
Kita juga mengaplikasikan kasih dengan "tidak bersukacita karena ketidakadilan" (melainkan "bersukacita karena kebenaran"), "menutupi segala sesuatu", "percaya segala sesuatu", "mengharapkan segala sesuatu", "sabar menanggung segala sesuatu".
Kata-kata "menutupi segala sesuatu" berkonotasi bahwa kita tidak boleh menjelek-jelekkan orang lain. Sementara "percaya segala sesuatu" mengajarkan bahwa kita harus percaya kepada rancangan Allah. Percaya, bahwa dalam setiap perkara ada hal yang baik dan indah.
"Kecurigaan" menyebabkan ketidaktenangan. Ketidaktenangan bisa melahirkan emosi, bahkan bisa berimbas pada hal-hal yang di luar konteks. Emosi yang tidak selesai di rumah atau di suatu tempat akan terbawa sebagai obsesi yang bisa meledak kapan saja, di mana saja, terhadap siapa saja. (Waduh, jadi teringat film A Man Called Otto) Orang yang memiliki obsesi seperti itu biasanya nyata terlihat sebagai kepribadian yang pemarah, "meledak-ledak", terus-menerus penasaran, bahkan ketika kebenaran sudah dinyatakan.
Jika memang kita menilai ada sesuatu yang patut dipertanyakan, berbicaralah empat mata. Sebab, bukan mustahil, persoalan itu lahir hanya karena prasangka, yang belum tentu benar. Anak-anak Kasih perlu menanyakannya kepada orang yang paling relevan untuk ditanyakan, bukan kepada orang lain, apalagi kepada orang yang belum mengerti persoalannya. Bisa-bisa yang terjadi adalah ghibah dan mencari pembenaran atas prasangka yang ada. Dengan berbicara empat mata diharapkan ada pelurusan atau jawaban untuk setiap prasangka.
Jika memang kita menilai ada sesuatu yang patut dipertanyakan, Alkitab sudah mengajarkan cara-cara yang patut ditempuh oleh anak-anak Kasih. Yakni, berbicaralah empat mata. Sebab, bukan mustahil, persoalan itu lahir hanya karena prasangka, yang belum tentu benar.
Itulah gunanya anak-anak Kasih perlu menanyakannya kepada orang yang paling relevan untuk ditanyakan, bukan kepada orang lain, apalagi kepada orang yang belum mengerti persoalannya. Bisa-bisa yang terjadi adalah ghibah dan mencari pembenaran atas prasangka kita. Dengan berbicara empat mata diharapkan ada pelurusan atau jawaban untuk setiap prasangka.
Jika setelah beberapa kali berbicara empat mata, hal itu belum selesai, bisa ditempuh cara lain dengan melibatkan orang lain yang ikut berkepentingan. Misalnya, beberapa jemaat atau penatua gereja, bila persoalannya berhubungan dengan gereja. Matius 18 ayat 15 hingga 17 mengatakan, ”Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali. Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan. Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat. Dan jika ia tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai."
Dalam nas itu tegas dikatakan "Apabila saudaramu berbuat dosa ...". Jadi, bukan atas prasangka. Untuk mengatakan sesuatu itu "dosa atau tidak dosa", kita harus berhati-hati. Jika tidak, kita bisa terjerat pada sikap "menghakimi" orang lain.
Lagi, yang dimaksud berbuat dosa dalam konteks itu adalah jika orang itu "berbuat dosa terhadap kamu" (ayat 15: “If your brother sins against you, go and tell him his fault, between you and him alone") dan "ada saksinya" (ayat 16: "But if he does not listen, take one or two others along with you, that every word may be confirmed by the evidence of two or three witnesses").
Jika tahapannya baru sebatas prasangka dan hal itu terkait dengan pemimpin gereja, Alkitab juga sudah memberitahukan cara kita menyikapinya sebagai anak-anak Kasih. "Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab atasnya. Dengan jalan itu mereka akan melakukannya dengan gembira, bukan dengan keluh kesah, sebab hal itu tidak akan membawa keuntungan bagimu." (Ibrani 13 ayat 17)
Kita mengenal Presiden sebagai orang yang sudah dipilih oleh rakyat. Bahwa seseorang menjadi Presiden, meskipun prosesnya merupakan hasil voting, itu terjadi atas seijin Allah. Kita sebagai anak-anak Kasih idealnya "percaya segala sesuatu" dan menerapkan SOP kasih.
Begitu pula dalam menyikapi persoalan yang muncul dalam kepemimpinan gereja, misalnya. Pendeta adalah pemimpin, yang patut dihormati. Mereka adalah gembala, yang atas seijin Tuhan melayani di suatu tempat. Gembala bertanggungjawab terhadap semua domba yang digembalakannya. Jika ada satu saja domba yang hilang atau tersesat, gembala yang baik akan mencarinya hingga menemukannya.
Sebagai jemaat, anak-anak Kasih
ikut mendoakan agar wibawa Kasih selalu terlihat dalam diri para
pemimpin gereja dan apa yang dilakukan oleh mereka. Anak-anak Kasih
meminta Tuhan senantiasa menyiapkan hati mereka sebagai lahan persemaian
yang subur, sehingga setiap kali perbuatan kasih dinyatakan, setiap
kali mendengar Firman, semua itu menjadi benih-benih yang siap bertumbuh
dan menghasilkan buah.
Adanya SOP juga menyiratkan "siapa melakukan apa". Biarlah setiap orang bekerja sesuai dengan deskripsi tugasnya. Tidak ada yang hina di dunia ini, kecuali orang yang "menghinakan dirinya sendiri" dengan melakukan sesuatu di luar SOP kasih. (Maaf, itu cuma ekspresi ekstrem rumusan saya). Indah sekali mendapatkan bahwa dalam suatu komunitas, setiap orang mengerjakan tugasnya dengan sukacita, penuh tanggungjawab, saling menopang, dan selalu mengingat bahwa apa yang dilakukannya adalah sebagai tanda kasih kepada Tuhan karena Tuhan sudah mengasihi dirinya lebih dulu.
"Tanpa batas," kata Pdt. M. Nainggolan dalam khotbah di HKBP Cibinong pekan lalu. Nainggolan mengutip apa yang dikatakan dalam Matius 18 ayat 21, bahwa Tuhan Yesus mengajarkan kita untuk mengampuni bukan sampai tujuh kali seperti yang ditanyakan Petrus. "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali."
Menurut Nainggolan, "tujuh" merupakan angka sempurna. Nas itu berkonotasi ketiadaan batas dalam mengampuni orang lain, terlebih saudara kita sendiri. Yang secara tidak langsung berkonotasi pada ketiadaan batas dari arti Kasih. Hal "mengampuni" termasuk yang tersulit dalam aplikasi kasih.
Kasih dan Persatuan
Menurut pemahaman saya, gereja adalah masing-masing diri kita. Bukan gedung. Bahwa Allah mempertemukan kita dalam satu persekutuan yang sama, itu adalah anugerah, dan anugerah itu patut dikerjakan untuk kemuliaan Allah.
Dalam sejumlah sermon lanjut usia (lansia) dan ibadah lain di gereja, saya berulangkali mendapatkan pencerahan dari pendeta mengenai keuntungan dari persatuan dan kesatuan. Antara lain dari Mazmur 133 tentang persaudaraan yang rukun. Pada ayat 1 sampai 3 ("Nyanyian ziarah Daud") tertulis, "Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun! Seperti minyak yang baik di atas kepala meleleh ke janggut, yang meleleh ke janggut Harun dan ke leher jubahnya. Seperti embun gunung Hermon yang turun ke atas gunung-gunung Sion. Sebab ke sanalah TUHAN memerintahkan berkat, kehidupan untuk selama-lamanya."
Kesatuan dan keutuhan antarorang merupakan cerminan dari adanya kasih, baik dalam keluarga maupun dalam komunitas seperti gereja. Menjaga keutuhan bisa dilakukan dengan setiap orang mencari persamaan satu sama lain, bukan fokus pada perbedaan.
Alih-alih meributkan kekurangan orang lain, lebih baik kita mengejar kelimpahan karunia dari Allah. Misalnya, agar Allah memampukan kita mengerti Firman dan melakukannya. Karunia demi karunia yang dari Allah adalah untuk kepentingan bersama dan kemuliaan Allah. Bukan untuk kepentingan diri sendiri. Setiap orang bisa saja mendapatkan karunia berbeda, namun perbedaan ini bukan untuk dibanding-bandingkan. Karunia bukan untuk dipamer-pamerkan atau untuk merendahkan karunia orang lain.
Sebaliknya mengenai perpecahan, Alkitab juga sudah menuliskannya. Yang sangat tegas adalah apa yang dikatakan oleh Tuhan Yesus dalam Markus 3 ayat 23 sampai 26. Dikatakan, "23 Yesus memanggil mereka, lalu berkata kepada mereka dalam perumpamaan: "Bagaimana Iblis dapat mengusir Iblis? 24 Kalau suatu kerajaan terpecah-pecah, kerajaan itu tidak dapat bertahan, 25 dan jika suatu rumah tangga terpecah-pecah, rumah tangga itu tidak dapat bertahan. 26 Demikianlah juga kalau Iblis berontak melawan dirinya sendiri dan kalau ia terbagi-bagi, ia tidak dapat bertahan, melainkan sudahlah tiba kesudahannya."
Saya menyebut ayat ini salah satu ayat mengerikan. Yang bisa direnungkan untuk nas ini adalah bahwa manusia sebagai orang berakal pasti mengerti pentingnya kesatuan. Anak-anak Kasih idealnya memahami bahwa nas itu menyatakan bahwa iblis sendiri saja tidak mau terpecah atau terbagi-bagi, karena iblis mengerti pentingnya kesatuan dan bahwa dalam keterpecahan ia tidak mampu bertahan.
Seorang mantan dukun yang kini menjadi hamba Tuhan mengatakan, kekuatan setan dari seberang pulau tidak mempan di pulau lain. Sebab, katanya, iblis mempunyai kerajaan-kerajaannya sendiri dan mereka saling menghormati otoritas wilayah antarkerajaan.
Menyedihkan bahwa masih mudah kita temukan pribadi yang tega melakukan sesuatu demi kepentingannya sendiri atau kelompoknya, walaupun harus mengorbankan kesatuan. Mencari pamor, haus pujian, dan membangun pencitraan yang duniawi merupakan bentuk-bentuk kesombongan yang tidak selaras dengan arti Kasih.
Jika iblis saja dapat memahami bahwa di dalam kesatuan terdapat kekuatan, bagaimana dengan kita yang mengaku sebagai anak-anak Kasih? ***
No comments:
Post a Comment