Nai Rosma rehat dari menggarap ladang dan siap menikmati santapan makan siang yang dibawa oleh putrinya, Rosma. (Foto: Potongan video "Holong ni Dainang" HKBP Cibinong) |
"Ipe ingkon sahat di si, mangan ho da, asa unang hansit butuhonmu," kata Nai Rosma sembari memberikan omprengan berisi bekal kepada anak perempuannya, Rosma, sebelum dia ke sekolah.
Ucapan dalam bahasa Batak itu berarti "Begitu sampai di sana (baca: di sekolah), kamu makan ya, supaya jangan sakit perutmu".
Rosma segera menerimanya. Dia membantu ibunya memasukkan bekal itu ke dalam tas. Lalu, dia mencium tangan ibunya dan pamit ke sekolah. Nai Rosma berdiri di depan pintu rumah melepas Rosma, sampai sosok anak sematawayangnya itu hilang dari pandangan saat berbelok di tikungan.
Sementara itu, di rumah lain, terdengar teriakan Nai Tigor berkali-kali membangunkan anak-anaknya.
"Tigoooorrrr ... Timbuuuull ... bangun ho," kata Nai Tigor dari dapur, mencoba membangunkan kedua anak lelakinya untuk kesekian kali. "Sekolah, sekolah. Ayo, ayo, amang."
Kata "ho" berarti "kamu" atau "kalian". Sedangkan "amang" berarti "bapak". Kata "amang" juga merupakan panggilan sayang dari seorang ibu kepada anak laki-lakinya.
Kakak beradik itu bukannya bangun, malah kesal. Keduanya masih bermalasan di kasur yang digelar di lantai. Nai Tigor akhirnya meninggalkan dapur, masuk ke kamar, membangunkan mereka yang masih rebahan. Pemilik warung itu membantu menarik badan mereka agar duduk, lalu memastikan mereka benar-benar bangun.
"Aduuuhh. Aaahhh...," gumam Timbul sambil melangkah malas dan mengucek matanya, menyusul Tigor, abangnya, yang juga mengucek-ngucek mata dan menggumamkan entah apa.
"Aku dulu yang mandi," kata Timbul.
"Aku dulu," kata Tigor.
Keduanya tidak mau kalah. Kedua badan mereka berhimpitan dan saling mendorong di depan pintu kamar mandi.
"Ngalah kau sama adikmu," kata Nai Tigor dengan suara keras, ketika melihat anak-anaknya itu dorong-dorongan berebut masuk ke kamar mandi, melewati pintu yang relatif kecil. Si ibu meminta Tigor, yang lebih kakak, membolehkan adiknya mandi lebih dulu.
Suara-suara keras, kegaduhan pagi, terus terjadi, sampai-sampai pembeli yang mengetuk warung dan berteriak "beliiii.... beliiiii.." kurang terlayani. Pembeli pun pergi. Nai Tigor keluar, celingak-celinguk, mencari pembeli yang tadi, yang ternyata sudah pergi.
Demikian adegan awal tayangan film pendek "Holong ni Dainang" ("Cinta Seorang Ibu") dalam perayaan Paskah Anak Sekolah Minggu (ASM) di HKBP Cibinong Ressort Cibinong, Sabtu (15 April 2023). Acara yang berlangsung siang sampai sore hari itu diawali dengan ibadah, disusul tayangan film dan aneka permainan, termasuk mencari telur dan stik es krim, lomba menghias telur Paskah, dan menjawab pertanyaan Pendeta tentang isi khotbah.
Film berdurasi lebih dari 25 menit itu merupakan sebuah terobosan, karena baru pertama kali diadakan di lingkungan HKBP Cibinong. Film melibatkan ASM, guru sekolah minggu (GSM), dan lanjut usia (lansia). Sangat menarik bahwa ide cerita, penggarapan, sampai finishing semua dilakukan oleh jemaat. Bahkan, editing film dilakukan oleh ASM kelas 2 SMP dan urusan soundtrack oleh anak ASM juga.
***
Rosma (diperankan oleh Aurel Siregar) merupakan anak tunggal dari seorang janda, Nai Rosma (Ratna Siahaan). Mereka dikenal sebagai keluarga baik-baik, takut pada Tuhan, saling mengasihi. Rosma anak yang rajin dan berbakti. Tokoh protagonis, Nai Rosma adalah seorang ibu yang rajin beribadah. Nai Rosma selalu membawa putrinya dalam doanya, baik di gereja, di rumah, dan tempat lain.
Selepas Rosma ke sekolah dan mengurus rumah, Nai Rosma biasanya langsung ke ladang, untuk bertani. Dengan pacul, dia menyiapkan lahan agar siap tanam. Dari kejauhan, Rosma menghampiri, dengan menjinjing bekal makan siang buat ibunya.
Begitulah bagian dari rutinitas mereka sehari-hari.
Sementara di rumah yang lain, Nai Tigor (Victoria Tampubolon) suka kewalahan menghadapi kenakalan kedua anaknya. Kenakalan Tigor (Harliano Siregar) dan Timbul (Lucky Siahaan) sudah terkenal di kalangan teman-teman.
Meskipun demikian, Nai Tigor tetap menyayangi kedua putranya itu.
"Anakhonhi do hamoraon di ahu", demikian pepatah terkenal dalam masyarakat Batak yang menjadi pegangan Nai Tigor. Artinya, "anakku adalah kekayaan bagiku".
Nai Tigor tak jemu-jemu menasehati Tigor dan Timbul. (Foto: Potongan film "Holong ni Dainang" HKBP Cibinong) |
Itu sebabnya, Nai Tigor sebagai seorang ibu, tidak jemu-jemunya menasehati. Dia ingin anak-anaknya menjadi orang yang berhasil kelak. Setidaknya ekonominya bisa lebih baik daripada dirinya yang membuka warung dan dari suaminya (Lindung Nadapdap) yang seorang pengendara motor sewa. Demikianlah, karena anak adalah kekayaan, seorang ibu pasti melakukan apapun untuk menjaga kekayaannya itu. "Kasih ibu sepanjang jalan", demikian pepatah.
Selang beberapa tahun kemudian, Rosma berhasil dalam pendidikannya. Tidak diceritakan bagaimana tentang Tigor dan Timbul. Pendeta memotivasi penonton bahwa tentunya Tigor dan Timbul juga berhasil, karena mereka tentu anak-anak yang mengenal Firman Tuhan yang kelima ("hormatilah orangtuamu"). Sementara orangtua mereka juga orang yang beriman.
***
Pemilihan judul, "Holong ni Dainang", cukup berisiko. Sebab, "Holong ni Dainang" juga merupakan tajuk sebuah lagu terkenal di tengah masyarakat Batak. Diciptakan oleh Fendi Manurung, lagu tersebut kerap dinyanyikan dan menjadi terkenal lewat suara Arvindo Simatupang.
Saya katakan berisiko, karena ada kecenderungan di kalangan penikmat dan pemerhati sastra untuk mendapatkan suguhan yang levelnya minimal setara dari produk lain dengan tajuk yang sama. Meskipun yang satu adalah lagu dan yang lain adalah film, risiko-risiko itu bukan mustahil tetap ada.
Sebagai penikmat dan pengamat film, dalam kasus ini, saya kurang mempersoalkan mutu dan ketaatan film ini pada teori-teori, khususnya sinematografi. Saya lebih tertarik mencerna cerita di balik layar, yang kerap justru lebih seru dan lebih sarat kisah daripada film itu sendiri.
Misalnya, terkait ide pembuatan film yang kemudian menjadi sebuah produk. Ide film ini bisa dikatakan orisinal, sesuatu yang saat ini menjadi "barang mahal" di tengah penegakan hak kekayaan intelektual.
Ide film ("cinta seorang ibu") membumi dan tetap menarik sampai kapanpun. Apalagi, hari-hari ini kita menjelang peringatan Hari Kartini. Membumi, juga karena masih dalam masa-masa hari parheheon parompuan (kebangkitan perempuan), parheheon ASM, dan perayaan Paskah.
Kita mengenal Kartini sebagai pejuang emansipasi. Emansipasi bukan melulu soal
perempuan menjadi apa dan berapa banyak jumlahnya, tetapi lebih kepada
kemerdekaan dari keterbelengguan. Kemerdekaan hak. Paskah juga berbicara
soal kemerdekaan, tepatnya kemerdekaan oleh kebangkitan Kristus. Kata
"kebangkitan" pada Parheheon parompuan dan parheheon ASM sama-sama merujuk pada proses penegasan identitas diri, yang mantap, "merdeka", dan "tidak tidur".
Ide itu kemudian menjadi produk. Ini menyiratkan proses, yang membutuhkan kerjasama, kekompakan, dan adanya kesatuan antara kata dengan tindakan. Ide akan tetap menjadi ide jika tidak digarap. Ketika sebuah ide berhasil diselesaikan sebagai sebuah produk, patutlah dipuji. Ini merupakan indikasi adanya integritas dan analog dengan hubungan antara "kasih dan perbuatan". Suatu pencerahan di tengah kehidupan kita, bahwa seringkali kata-kata kita dan pemikiran kita sebatas disuarakan, tetapi tidak dilakukan. Kasih tidak cukup sebatas diucapkan, tetapi harus dinyatakan.
Produk rumahan yang digarap oleh sekelompok amatiran ini, pantas diberi acungan jempol. Sebagai produk rumahan, film ini digarap dengan alat seadanya. Perekaman adegan dilakukan dengan handphone, yang kadang menjadi kendala ketika memorinya penuh sehingga HP harus dikosongkan dulu, lalu syuting bisa dilanjutkan. Selain itu, satu adegan kadang harus di-take beberapa kali.
Tidak ada alat audio yang bisa membantu ucapan pemain lebih jelas dan bersih. Sementara editornya yang masih duduk di bangku SMP, hanya bermodalkan laptop model lama milik kakaknya, yang seakan tak sanggup untuk mengatasi noisy pada tayangan sebanyak 6 gigabyte itu. Memang bisa dilakukan dubbing sebagai salah satu solusi, misalnya dengan HP. Namun itu membutuhkan waktu dan, sekali lagi, membutuhkan prosesor berkecepatan tinggi saat proses mixing dan editing.
Nai Rosma, janda, selalu "menjaga" anaknya dengan nasehat dan doa. (Foto: Potongan film "Holong ni Dainang" HKBP Cibinong) |
Kisah di balik film ini menjadi model yang baik untuk dipelajari, termasuk tentang bagaimana sebuah saran dari yang mengerti film beberapa hari lalu itu ternyata sangat mereka perhatikan, kemudian mereka usahakan di tengah waktu yang serba mepet. Terlihat sejumlah perbaikan. Antara lain penambahan adegan yang semula tidak ada, yakni doa Rosma yang disuarakan dalam hati. Begitu pula dengan noisy, yang jauh berkurang ketimbang ketika film itu masih pra-tayang.
Saya katakan menjadi model yang baik, karena dalam keseharian kita seringkali kita bersikap "kepala batu" ketika mendengarkan saran dari orang lain. Padahal, saran orang lain seringkali dilontarkan untuk hal-hal yang positif. Tetapi, ketika kesombongan diri melampaui kasih, yang terjadi adalah penyangkalan diri dan emosi, alih-alih mendengarkan saran dan melakukannya.
Waktu penggarapan film yang relatif singkat, yakni hanya beberapa minggu (belum dipotong rehat selama kegiatan pra-Paskah sampai Senin Paskah), patut pula diapresiasi.
"Setelah ini, kami berencana membuat film untuk Natal tahun ini," kata Teti, sutradara film.
Kak Teti, Kak Marta, Kak Lindung, Kak Bonur, Kak Lolita, dan lainnya bertekad menerapkan masukan yang mereka terima dari seorang kritisi film, mengenai elemen drama, tahapan plotting (dari eksposisi, konflik, komplikasi, klimaks, resolusi, dan keputusan), penggunaan script dan scene, dan lain-lain.
Film ini sarat teladan. Sebuah refleksi sederhana yang mengagumkan tentang makna "kemerdekaan" yang dibawa oleh penyaliban dan kebangkutan Kristus, yang menjadi dasar dilakukannya perayaan Paskah itu sendiri. Teladan, karena refleksinya datang dari guru-guru dan anak sekolah minggu, yang merupakan anak-anak muda gereja.
***
Ketika beberapa hari sebelumnya saya diundang untuk menyaksikan "Drama Paskah", ada rasa penasaran, kagum, dan berakhir dengan pemahaman.
Kagum, karena saya tahu bahwa membuat drama itu relatif sulit. Kita bicara banyak aspek, mulai dari script yang harus ada dan menunjang. Juga, harus dipikirkan mengenai teknik penyuaraan, lighting, sinkronisasi panggung dengan tema, pemilihan peran yang tepat, teknik vokal dan gerak tubuh ketika berbicara atau beraksi dalam sebuah drama, yang semua terjadi satu kali dan secara langsung di atas panggung. Kata "satu kali" berarti tidak akan ada pengulangan. Jadi, berbeda dengan sebuah film yang pada pengambilan adegannya bisa diulang-ulang, kemudian hasilnya bisa diedit (dipotong-sambung, dan sebagainya).
Saya penasaran, ingin tahu seperti apa panggung itu nanti. Sebab, batas kursi terdepan ke altar cukup dekat. Altar memiliki beberapa anak tangga di depan, yang memanjang.
Tetapi kemudian saya paham bahwa yang dimaksud adalah sebuah film. Film pendek tepatnya (meskipun penggunaan istilah "film" di sini pun sebenarnya kurang pas dari segi materialnya). Saya malah menjadi kagum setelah menyimak kisah di balik pembuatan film itu sendiri.
Saya melihat banyak talenta pada anak-anak sekolah minggu. Mereka adalah bibit-bibit yang rindu dirawat, disirami, diajak bicara, supaya bisa bertumbuh dan berbuah. Ini menjadi "pekerjaan rumah" semua warga gereja, termasuk orangtua, penatua, gembala, pemerhati, dan lainnya.
Semoga setiap ide yang baik bisa melahirkan kreasi yang menginspirasi. Amin. ***
Penggarap "Holong ni Dainang":
- Produser 1: Labora Simarmata (Ketua Seksi Sekolah Minggu)
- Sutradara & kamerawati: Teti Sembiring
- Produser 2: Fitri Maria Simanjuntak (Seksi SKM)
- Produser 3: Martha Silitonga (Seksi SKM)
- Produser 4: Bonur Panjaitan
- Editor 1: Juan Sitorus (ASM)
- Editor 2: Lindung Nadapdap
- Soundtrack: Iliana Siahaan (ASM)
- Aransemen Musik: St. Tioria Simanjuntak
No comments:
Post a Comment