Pengantar:
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tantangan Kamis
Menulis -- salah satu kegiatan rutin Lagerunal (Cakrawala Blogger Guru
Nasional). Tema minggu ini adalah "partisipasi". Ini cerita pendek
tentang Neri dan integritasnya menjaga sesuatu yang "terang".
Partisipasi tidak melulu bisa dimaknai sebagai pilihan untuk berpijak
pada salah satu kubu. Akan lebih tepat bila ia dilihat sebagai
keikutsertaan pada sesuatu, khususnya sesuatu yang bermanfaat. Oleh
sebab itu, sikap netral Neri merupakan salah satu bentuk dari
partisipasi itu sendiri, yakni pada warna "terang" yang diminatinya.
Neri menyukai sesuatu yang terang. Orang mengesankannya sebagai pribadi yang ingin selalu "bermain aman". Alasannya, dia ingin punya banyak teman. Tidak mau bermusuhan. Tidak mau dianggap oposan atau lawan. Buat Neri, hal itu bukan persoalan. Yang dicarinya memanglah teman dan persahabatan. Lebih spesifik: mengamankan pelanggan.
Dirinya bisa ada di mana saja. Di sini atau di sana. Tetapi, ke sini 'tidak', ke sana juga 'tidak'. Itu pilihannya.
Orang sering menganggapnya 'tidak jelas'. Kurang integritas. Nggak punya sikap. Tapi, Neri jalan terus.
"Tak masalah," pikir sosok paruh usia itu. "Yang penting sikapku tidak merugikan orang. Semua aman."
***
Suatu hari, tempat ibadah di depan warungnya 'pecah'. Bukan seperti piring, yang jatuh dan "praaang", pecah, berantakan. Itu hanya kiasan. Tempat ibadah itu sih utuh-utuh saja. Cuma saja, orang-orang di dalamnya terbagi menjadi dua kubu. Yang satu ikut Timirawati, yang lain ikut Widiawan. (Sebenarnya ada tiga kubu. Kubu yang satu lagi netral, menyukai "terang" seperti Neri.)
Dari luar, orang tidak akan tahu. Setidaknya, untuk menjadi tahu, mereka mesti mencium dulu desas-desus. Lalu, jika kepo, kudu ikut cas-cis-cus. Jika perlu, ajak orang minum kopi di warung. Salah satunya, warung Neri, yang kesohor strategis sekali.
Pamor Neri juga terkenal: netral. Orang tidak takut blak-blakan untuk curhat-curhatan atau kalau perlu bicara kasar sebagai pelampiasan. Di tangan Neri, semua aman. Mulut Neri seperti ada segelnya. Otomatis nyegel sendiri.
Orang-orang di rumah ibadah itu terpecah menjadi kubu-kubu. Pas jam ibadah, mereka semua duduk sama-sama. Tetapi di luar, konflik bisa dirasakan. Setidaknya dari yang mereka obrolkan.
***
Timirawati dan Widiawan adalah kembaran. Lahir pada hari yang sama, tapi beda jam. Mitos bilang, manusia punya tujuh kembaran. Jangankan tujuh, dua saja sudah dianggap merepotkan, begitu pikir orang-orang setelah mencermati polah si kembar. "Orang-orang" di sini, tentulah mereka yang berhubungan dekat dengan si kembar. Tidak cukup "dekat" tetapi "sangat dekat", seperti bapak si kembar.
Tetangga atau yang awam melihat mereka adalah anak baik-baik, sebelum akhirnya mereka bertemu pada satu titik yang membuat mereka sadar, ada yang janggal dengan si kembar.
Timirawati dan Widiawan berjenis kelamin sama. Akhiran "wati" dan "wan" diberikan sekadar penambah kepantasan, ketika nama-nama itu sampai di pendengaran.
Si kembar sering membuat sedih bapak mereka. Selaku orangtua tunggal, bapak si kembar berusaha melakukan yang terbaik untuk anak-anaknya. Tapi, sepertinya, apa yang dilakukannya selalu salah buat si kembar.
(Si kembar tidak mempunyai ibu. Sejak lahir mereka belum pernah bertatapan. Mereka sering mendengar nama ibu mereka.)
Sejak lahir, tanda-tanda ketidakrukunan di antara Timirawati dan Widiawan sudah kelihatan. Apalagi kalau sudah terkait urusan atau barang pribadi. Bapak si kembar selalu sedih dan kasihan. Terutama sejak anak-anak itu mulai bisa iri dan membanding-bandingkan. Kadang Timirawati yang jadi biang masalah, cemburu karena menurut dia saudara kembarnya dibelikan mainan yang lebih bagus. Entah dari warna mainannya maupun dari jenisnya.
Padahal, sejujurnya, mainan-mainan itu sama saja harganya. Dibelikan beda warna, maksud bapak si kembar, supaya ketahuan yang ini atau yang itu mainan siapa. Jika terjadi masalah, misalnya klaim-klaiman, si bapak sudah tahu bagaimana melerai.
"Pembedaan warna juga untuk melatih tanggung jawab," si bapak bicara dalam batin suatu kali, menjawab pertimbangannya sendiri ketika pertama kali hendak memutuskan kebijaksanaannya itu.
Sebaliknya, Widiawan bisa juga yang lebih dulu jadi biang persoalan. Dia tidak mau barang-barangnya disentuh orang lain, termasuk oleh saudara kembarnya.
Begitulah watak si kembar. Sampai suatu kali, persoalan muncul.
Si kembar ke rumah ibadah. Timirawati merasa kehilangan uangnya, selembar seratus ribuan. Dia merasa yakin sudah membawanya tadi dari rumah sebelum berangkat. Dia merasa sudah memasukkannya ke kantong celana, tanpa dompet. Sebab, dompetnya tidak kelihatan sewaktu dia mau berangkat. Dia lupa meletakkannya di mana semalam sepulang kerja.
"Ah, sudahlah, tidak usah bawa dompet," pikir Timirawati.
Di rumah ibadah, Timirawati mencari uangnya ke mana-mana. Pandangannya menyapu sebisanya. Tidak ketemu. Dia pasrah. Tidak jadi memecah uang untuk memberi sedekah seperti biasa. Dia pulang dengan motornya.
Pada hari yang sama, Widiawan kehilangan dompetnya. Dia sudah membawa dompetnya ke rumah ibadah, tetapi ketika hendak pulang dan merogoh kantong celana untuk mengambil kunci motor, dia baru sadar bahwa dompetnya yang berwarna biru itu tidak ada. Dia kembali ke dalam rumah ibadah, menyusuri lintasan yang dipijakinya dari titik terakhir yang dia yakin dompetnya tadi masih ada. Itu ketika dia mengeluarkan uang seratus ribuan. Tetapi, pencariannya nihil.
"Ah, sudahlah, mungkin nanti ada yang menemukannya. Mudah-mudahan dompet itu kembali lagi kepadaku," pikir Widiawan, dengan gaya bicara hampir sama dengan kembarannya. Dia agak tenang, begitu yakin, isi dompetnya tidak banyak. Cuma recehan. Uang seratus ribuan satu-satunya yang dibawa dari rumah, sudah dipakainya tadi.
(Dia juga tenang. Sama seperti kembarannya, dia tidak pernah menaruh kartu identitas dalam dompetnya. Mereka paling tidak mau bahwa orang-orang mengenali mereka dari barang milik mereka. Si kembar memang sebenarnya pribadi yang "tertutup" di satu sisi. Bahwa mereka mempunyai geng, itu karena mereka pandai "bermain peran".)Di rumah, seperti biasa, tidak ada curhat-curhatan di antara mereka. Sesampai di rumah, masing-masing masuk ke kamar. Kalau sudah berada di kamar, satu sama lain tidak boleh saling mengganggu. Mereka sangat paham "wilayah kekuasaan" masing-masing. Namun, untuk makan bersama, bersih-bersih rumah, mereka cukup terlihat akur.
Apalagi bila di rumah sedang ada yang bertamu. Mereka pandai sekali menjaga citra. Mereka tidak mau membuat malu predikat mereka sendiri yang sudah dicitrakan selama ini, bahwa mereka adalah anak-anak berbakti. Mereka untuk satu dua kepentingan sangat paham menjaga persatuan. Sejak dulu mereka sudah mempunyai agenda besar: penakluk dunia. Potret diri tentu penting di sini, bagaimanapun.
***
Begitulah, sampai suatu hari, ketika kembali lagi ke rumah ibadah, di etalase terpampang pengumuman: "Telah ditemukan, sebuah dompet biru berisi selembar uang seratus ribuan. Silakan mengambilnya di kantor."
Timirawati sampai lebih dulu. Dia bergegas menemui orang kantor. Dia penasaran, cuma ingin melihat, apakah uang seratus ribuan itu miliknya atau bukan. Dia selalu memberi tanda pada uangnya, terlebih pada lembaran besar seperti seratus ribuan, tanda kecil yang nyaris luput dari pandangan. Di sudut atas kanan ditulisnya inisial "T". Kalau soal dompet, dia yakin itu bukan miliknya. Sebab dompetnya berwarna kuning.
Kepadanya disodorkan dompet biru. Timirawati sempat bimbang. Heran. Itu kan dompet Widiawan, katanya. Mengapa bisa ada di kantor. Bagaimanapun, dompet itu segera diambilnya. Dia cuma ingin melihat isinya, karena penasaran. Benar atau tidak uang seratus ribuan itu miliknya.
"Akhirnyaaaa...," teriak Timirawati di balik tawanya yang lebar. Dia senang bukan kepalang bisa menemukannya kembali.
Timirawati masih memegang dompet itu ketika Widiawan datang. Widiawan marah sekali bahwa dompet itu ada di tangan Timirawati.
Widiawan mengira, Timirawati yang mengambil dompet itu tempo hari, lalu memasukkan uangnya ke dalam dompet itu sebelum dompet itu juga hilang.
Timirawati tidak sempat menjelaskan. Dompet itu sudah disambar oleh Widiawan yang marah-marah dan langsung memeriksa isinya, termasuk recehan di dalamnya. Widiawan juga kesal, karena dia paling tidak suka ada orang yang menggerayangi barang miliknya.
Melihat suasana tegang, orang kantor meminta mereka keluar untuk menyelesaikan persoalan pribadi.
"Mohon maaf, kami sedang ada pekerjaan," kata petugas. "Dompet dan uang sudah ditemukan. Sudah yakin bahwa itu dompet dan uang kalian, kan. Ya sudah, mungkin urusan selanjutnya di luar saja. Masih ada yang antre untuk urusan yang lain."
Terbawa emosi, si kembar tidak bertanya lagi kepada si petugas kantor, untuk minta penjelasan, siapa yang menemukan dompet itu atau bagaimana ceritanya sampai dompet itu bisa diinformasikan di papan pengumuman. Mereka malah berdebat, main tuduh-tuduhan dan masalahnya melebar menjadi konflik antar-geng. (Istilah geng di sini untuk melukiskan teman sekumpulan dari Timirawati dan Widiawan.)
***
Begitulah, orang-orang di tempat ibadah pecah menjadi dua kubu. Yang satu kubu Timirawati, yang lain kubu Widiawan. (Sebenarnya pecah menjadi tiga kubu, kalau kubu yang satu lagi, yang netral, ikut diperhitungkan.)
Anehnya, kalau mau curhat-curhatan, kedua kubu suka mampir di warung Neri. Memang lebih sering masing-masing kubu berkumpul pada waktu berbeda. Tapi, tidak jarang kedua kubu hadir di warung Neri secara bersamaan. Kalau sudah demikian, curhat-curhatan pun disuarakan dengan bisikan-bisikan.
Neri cukup tajam telinganya. Sebagai orang paling netral, dia paling aman mendekat tanpa dicurigai, baik ke kubu Timirawati maupun ke kubu Widiawan. Saat mengantarkan kopi panas atau teh tarik panas, dia mendengar, menyerap.
Dia geli sendiri, tertawa dalam hati untuk konflik yang satu ini.
"Mengapa mereka tidak tanya ya, apa yang saya tahu soal dompet dan uang itu," kata Neri dalam hati. "Seandainya saja mereka bertanya, persoalan terjawab."
Di sisi lain, Neri melihat, kedua kubu tampak "menikmati" sekali aroma ketegangan di antara mereka. Sekalipun misterinya terjawab, emosi mereka belum tentu serta-merta surut. Bahkan mungkin, seperti yang sudah-sudah, mereka tetap "bermain peran" sangking menikmatinya. Menjadi cukup alasan untuk berkumpul, saling membakar emosi. Lagi dan lagi.
"Pandai sekali Timirawati dan Widiawan memang," pikir Neri. Pernah dia mencoba membuka "segel" mulutnya, tetapi malah dianggap sok mau jadi pahlawan.
Neri makin paham, mengapa bapak si kembar suka mengiriminya surat tentang polah adik-adiknya itu. Neri tidak menyesal bahwa dia dulu memutuskan untuk tidak tinggal lagi satu rumah dengan Timirawati dan Widiawan. Sebagai kakak tertua, dia pamit baik-baik pada bapaknya, untuk membina diri dengan tidak satu rumah lagi. Si bapak merestui karena yakin dengan integritas Neri, meskipun di luar sana orang menilai anaknya itu tidak punya integritas.
"Pergilah, nak, aku merestuimu," kata si bapak penuh haru dan bangga. "Aku akan terus menyuratimu."
Begitulah Neri. Diam saja. Orang bilang "main aman". Tidak ingin ada lawan. Ingin berteman. Orang lain tidak paham apa yang menjadi pergumulan Neri, di balik mulutnya yang kerap bungkam. Cukup orang tahu, hatinya senang karena pelanggan banyak yang datang.
***
Logo "Kamis Menulis". (Foto: Lagerunal) |
No comments:
Post a Comment