Berkaca pada Chiko dan Clarissa
Oleh Erry Yulia Siahaan
Chiko dan Clarissa mengisi daftar nama istimewa di buku saya. Daftar yang sebenarnya tidak panjang. Tepatnya, belum panjang. Saya katakan “belum”, karena saya berharap, daftar itu selekasnya menjadi panjang dan terus bertambah panjang.
Saya ingin bertemu dengan lebih banyak nama istimewa dalam hidup saya, untuk kemudian menuliskannya dalam sebuah bundel, tempat saya, Anda, dan banyak lainnya bisa berkaca.
Nama-nama itu tidak harus bergelar panjang. Tidak mesti dari mereka yang bermahkota, pun menahtai kursi penuh kuasa. Yang dibutuhkan oleh bundel saya adalah nama-nama sebagai tempat menera tentang siapa saya, di mana dan bagaimana saya, serta akan ke mana saya.
Chiko dan Clarissa merupakan contohnya. Mereka sangat spesial buat saya, bukan karena mereka terkenal. Mereka bukan kriminal, bukan supernakal, bukan raja bual, bukan pelaku skandal, atau predikat semacamnya yang mudah menggaet atensi lalu diingat.
Mereka hanyalah anak-anak biasa, dari keluarga sederhana, yang menyita perhatian saya Sabtu (15 April 2023) lalu di gereja. Chika genap berusia empat tahun pada 16 April, Chiko masih duduk di Taman Kanak-kanak (TK) Kelas A.
Clarissa, Chiko, dan Nyonya Sidauruk boru Manurung beserta bayi. (Foto: Erry Yulia Siahaan/Dokumentasi pribadi) |
Setiap minggu, mereka diboyong oleh ibu dengan motor. Satu motor berempat. Ibu mereka menggendong adik mereka yang masih bayi, lalu bruumm.... bruumm menuju gereja sekitar 8 kilometer jauhnya.
Mengapa istimewa? Ijinkan saya bercerita.
Sabtu, pada perayaan Paskah Sekolah Minggu di HKBP Cibinong Ressort Cibinong, kakak-beradik ini tampil memukau. Di depan ratusan anak dan jemaat, mereka dengan lancar mengucapkan "Doa Bapa Kami" dan "Pengakuan Iman Rasuli" - dua tuturan lumayan panjang yang lazim diucapkan pada saat seseorang meneguhkan iman Kristiani.
Tepuk-tangan bergemuruh menyambut kebolehan mereka, seakan tidak percaya bahwa kata-kata itu dinyatakan oleh tubuh-tubuh mungil yang belum melek aksara itu.
“Mari kita dengarkan, mereka akan mengucapkan ‘Doa Bapa Kami’ dan ‘Pengakuan Iman Rasuli’,” kata seorang GSM. Dia menceritakan, belum lama ini Chiko dan Clarissa menghampirinya, mencoleknya, dan berkata, “Kakak, saya sudah bisa ‘Doa Bapa Kami’. Saya juga bisa ‘Pengakuan Iman Rasuli’.”
Itu membuat GSM itu kaget. Dia lalu menguji kedua anak tersebut. Ternyata, benar. Dia lalu mencarikan momen untuk menampilkannya. Perayaan Paskah dinilai event yang tepat.
Clarissa mendapatkan giliran pertama. Anak kedua Nyonya Sidauruk boru Manurung ini dengan lancar mengucapkan "Doa Bapa Kami" secara solo, disusul "Pengakuan Iman Rasuli" bersama Chiko. Chiko kemudian mendapatkan giliran mengucapkan ulang "Pengakuan Iman Rasuli" seorang diri.
Tepuk tangan kembali memenuhi ruangan. Kagum. Ikut senang. Berbagai perasaan dan komentar terdengar di sana-sini.Menurut Mama Chiko, anak-anaknya meminta sendiri untuk diajarkan doa dan pernyataan iman itu. Itu bermula dari seringnya mereka diajak ke acara ibadah untuk orang dewasa. Mereka mendengarkan ucapan itu dan bertanya, "Mama, itu ngomong apa?"
"Saya memberikan penjelasan kepada mereka. Mereka lantas minta diajari," kata Mama Chiko, yang mengacungkan tangan tatkala ditanya oleh pendeta, "Mana ibu mereka?" Mama Chiko dengan bangga maju ke depan, menggendong si bungsu yang masih bayi.
Metafora
Sampai di sini, saya teringat apa yang dikatakan oleh Pdt. Dr. T Hutahaean pada suatu kesempatan, yang membingkai kualitas iman dalam sebuah metafora. Ada iman bayi, ada iman dewasa.
Metafora ini selintas disinggung juga oleh Pdt. Monru Nainggolan dalam ibadah wilayah mingguan di Sektor 5 di mana saya tinggal, Selasa (18 April 2023) malam.
Seseorang dengan “iman bayi”, ketika melakukan kebaikan akan berkata, “puji dong” atau “mana hadiah untuk saya?” Dia juga selayaknya bayi, yang maunya “menyusu”, “merengek”, “kalau disentuh sedikit saja bisa ngamuk”, dan sebagainya.
Sedangkan seseorang dengan iman yang dewasa, ketika melakukan kebaikan, akan berkata, “terpujilah Tuhan yang memampukan saya dan telah lebih dulu mengasihi saya”. Dia tidak hanya mau menerima, tetapi juga memberi. Dia tahan uji. Tidak “merengek” bila menghadapi situasi yang kurang mengenakkan.
Metafora itu bisa diperluas dengan melihat iman bukan sebatas mengucapkan doa, menghafal Firman, datang ke gereja, melainkan melampaui itu semua. Seperti Firman Allah bilang, “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.” (1 Korintus 13 ayat 13)
Berkaca pada Chiko dan Clarissa, apa yang kita lihat tentang diri kita?
Kita sama level seperti mereka, jika sebagai umat Kristen yang sudah dewasa, yang sudah mengenal-Nya berpuluh tahun, kita hanya tahu mengucapkan "Doa Bapa Kami" dan "Pengakuan Iman Rasuli", namun tidak menghayati dan tidak melakukannya.
Artinya, jika saya, Anda, dan lainnya ke gereja hanya untuk mengucapkan keduanya itu, lalu pulang dengan hampa, seperti orang yang tidak mengerti apa-apa atau membiarkan diri seakan tidak berdaya untuk melakukan apa-apa, kita tidaklah lebih dewasa dalam iman dibandingkan Chiko dan Clarissa.
Mengalami Tuhan
Nainggolan menegaskan, sebagai orang yang dewasa dalam iman, kita tidak cukup mengetahui tentang Tuhan (baca: membaca dan menghafal), melainkan perlu “mengalami Tuhan”. Jika sekadar “mengetahui Tuhan”, lanjut Nainggolan, kita seperti anak kecil, yang tahu tentang Tuhan tetapi ketika mengalami pergumulan akan “merengek”.
Istilah “mengalami Tuhan” memang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Alkitab. Namun, banyak nas dalam Alkitab yang mengatur bagaimana kita membangun dan menjaga relasi kita dengan Tuhan. Antara lain, kita harus mengasihi Tuhan dengan segenap hati (Ulangan 6: 5) dan percaya kepada-Nya (Yohanes 14: 1).
Penulis Mazmur 116 merupakan contoh orang yang “mengalami Tuhan”. Pada ayat 12 sampai 19 tertulis, “12 Bagaimana akan kubalas kepada TUHAN segala kebajikan-Nya kepadaku? 13 Aku akan mengangkat piala keselamatan, dan akan menyerukan nama TUHAN, 14 akan membayar nazarku kepada TUHAN di depan seluruh umat-Nya. 15 Berharga di mata TUHAN kematian semua orang yang dikasihi-Nya. 16 Ya TUHAN, aku hamba-Mu! Aku hamba-Mu, anak dari hamba-Mu perempuan! Engkau telah membuka ikatan-ikatanku! 17 Aku akan mempersembahkan korban syukur kepada-Mu, dan akan menyerukan nama TUHAN, 18 akan membayar nazarku kepada TUHAN di depan seluruh umat-Nya, 19 di pelataran rumah TUHAN, di tengah-tengahmu, ya Yerusalem! Haleluya”
Mazmur 116 ini mirip dengan isi Mazmur lain pada umumnya, yaitu ucapan syukur kepada Allah. Namun, pasal 116 sedikit berbeda, karena menyebutkan alasan khusus mengenai ucapan syukurnya tersebut, yaitu dia (penulisnya) hampir mati, dia berseru kepada Tuhan untuk keselamatan. Dia juga bernazar akan berterima kasih pada Tuhan di Yerusalem (baca: Bait Allah) dalam ibadah untuk belas kasihan, kasih karunia, dan keselamatan dari Allah.
Ayat 12 berupa pertanyaan “Bagaimana akan kubalas kepada TUHAN segala kebajikan-Nya kepadaku?” Itu sebenarnya pertanyaan yang sudah jelas jawabannya, bahwa penulisnya merasa tidak bisa membalas kebaikan Tuhan karena Tuhan telah membebaskannya dari kematian. (Mazmur 116 ayat 1 sampai 11 berisi nas tentang “Terluput dari belenggu maut”. Pada ayat 8 sampai 10 dikatakan, ‘”Ya, Engkau telah meluputkan aku dari pada maut, dan mataku dari pada air mata, dan kakiku dari pada tersandung. ku boleh berjalan di hadapan TUHAN, di negeri orang-orang hidup. Aku percaya, sekalipun aku berkata: "Aku ini sangat tertindas.”’)
Ada kemiripan bunyi nas pada ayat 14 dan 18, yaitu ”akan membayar nazarku kepada TUHAN di depan seluruh umat-Nya”. Di antara ayat-ayat itu ada pernyataan “Berharga di mata TUHAN kematian semua orang yang dikasihi-Nya.” (ayat 15). Ayat 15 itu mengingatkan, hidup kita berada dalam kasih dan pemeliharaan Allah. Kita semua akan mati, tetapi kita bisa tetap tenang karena percaya, bahwa tidak ada yang dapat mengakhiri hidup kita tanpa sepengetahuan Allah atau di luar kendali-Nya.
Merujuk kamus, kata “mengalami” berarti belajar melalui suatu pengalaman. “Mengalami Tuhan” bisa dimaknai sebagai proses mengetahui, mengenal, menghayati, dan mengamalkan teladan berdasarkan Firman Tuhan atau melakukan apa yang Tuhan kehendaki, dalam rangka menjaga relasi kita dengan Tuhan.
Dengan “mengalami Tuhan” kita dapat hidup tenang, seperti penulis Mazmur 116, yang sudah di ujung maut karena ada ancaman akan dibunuh tetapi tetap bisa mengucapkan "Haleluya". Sebab, dia tahu, “Berharga di mata TUHAN kematian semua orang yang dikasihi-Nya.”
Dengan berkaca pada Chiko dan Clarissa, mari kita merefleksi diri, tentang siapa kita dan sejauh mana kita “mengalami Tuhan”. Apakah kita masih mudah merengek, gampang tersinggung, hidup cemas dan takut, berdoa tetapi tetap tidak yakin? Ataukah, kita sudah seperti penulis Mazmur, yang tetap bersukacita karena benar-benar “mengalami Tuhan”, yang menuliskan perjumpaannya dengan Tuhan dalam kidung yang begitu indah dan mengakhirinya dengan "Haleluya"?
(Saya jadi teringat dengan adik ipar saya yang rumahnya habis, ludes, terbakar pada Minggu siang (16 April 2023), pada saat dia dan anaknya sedang di gereja. Dia memuji Tuhan. "Perkataan Tuhan harus dinyatakan. Saya tadinya tidak punya apa-apa. Lalu, saya punya apa-apa. Sekarang Tuhan ijinkan ini terjadi. Saya percaya Tuhan punya rencana yang baik." Dalam pandangan saya, imannya luar biasa. Menjadi refleksi juga bagi saya. Namanya ikut mengisi daftar di bundel saya. Saya bersyukur kepada Tuhan, karena daftar saya boleh lebih panjang dengan adanya tulisan "Mama Evan".)
Semoga saya bisa “mengalami Tuhan” dan makin dewasa dalam iman.
Semoga kita selalu bisa mengatakan "Puji Tuhan" untuk setiap situasi dan kondisi yang terjadi dalam hidup kita, karena kita yakin, tidak ada satu hal pun luput dari perhatian dan kendali-Nya. Amin. ***
No comments:
Post a Comment