Memakamkan Keluarga yang Positif Covid-19
Oleh: Erry Yulia Siahaan
Sumber: https://unsplash.com/photos/ZzOtl6FSpLs |
Selalu ada yang pertama kali untuk yang namanya pengalaman. Menyaksikan pemakaman jenazah pasien Covid-19 ternyata berbeda dengan mengikuti langsung prosesi pemakaman kerabat sendiri. Saya sudah sering menonton melalui televisi, tayangan YouTube, atau video pribadi tentang pemakaman jenazah pasien Covid-19. Hari ini saya mengikuti langsung prosesi pemakaman serupa, tetapi itu ternyata sangat berbeda, terutama soal emosi dan persepsi yang mewarnai.
Kemarin malam, usai menerima pesan teks Oma melalui whatsapp (WA) grup keluarga tentang kepergian Bapak Gabby (baca, klik di sini), saya chatting ke sana ke mari melalui jalur pribadi untuk mendapatkan detail informasi. Baik mengenai persemayaman maupun soal rencana penguburan jenazah. Pesan teks dari Oma di WA grup terasa kurang lengkap. Melalui chatting hingga lewat tengah malam itu, barulah ada kejelasan bahwa jenazah dikuburkan paginya, langsung diberangkatkan dari rumah sakit menuju pemakaman. Keluarga disarankan langsung saja menuju dan menunggu di lokasi pemakaman. Timbul pertanyaan, sakit apa gerangan. Namun, pikiran saya sudah memiliki opsi jawaban yang mengarah pada kemungkinan paling relevan.
Sumber: https://unsplash.com/photos/uUEYZmK8LjE |
Satu persatu keluarga turun dari kendaraan yang terparkir sekitar seratus meter dari titik ambulans berhenti. Saya langsung menghampiri isteri dan anak-anak almarhum. Menyatakan simpati dan memberikan dukungan. Empat petugas berkostum APD dengan wearpack biru dan boots hijau muda mengeluarkan peti berbalut plastik dari pintu belakang ambulans. Saya menyesuaikan diri dengan keluarga inti dan warga gereja yang terpaku di kejauhan. Kami terhenti pada jarak lebih dari 30 meter dari liang kuburan. Hanya satu-dua pemuda yang berani sedikit mendekat. Mereka membidikkan kamera untuk rekaman video. Begitu cepatnya kerja para petugas tersebut: menurunkan dan mengangkat jenazah, menurunkan dalam liang, menimbun tanah, menancapkan papan nisan, membuka APD dan membakarnya. Setelah selesai, seorang petugas memberi tanda dengan tangan agar keluarga mendekat.
Sumber: https://unsplash.com/photos/jTK820WUr2k |
Kami pun bergegas mendekati titik lahat. Menaburkan bunga, membaringkan papan salib dalam rangkaian bunga putih di atas timbunan tanah yang merah gembur, menuangkan wewangian, kemudian berdoa bersama dan mendengarkan ungkapan-ungkapan dukacita dan dukungan dari gereja, lingkungan RT, dan keluarga. Kemudian kami berdiri dan duduk sambil bercerita tentang kenangan mengenai almarhum semasa hidup, mengenai penyakitnya, dan lain-lain. Roti Holland Bakery dan minuman dalam kemasan diedarkan. Dari cerita-cerita yang terdengar, ternyata informasi mengenai penyakit Bapak Gabby sengaja tidak diinformasikan dalam WA grup agar tidak sampai pada kerabat sedarah yang juga sedang berjuang melawan Covid-19. Suami-isteri dan anak sedang menjalani isolasi di titik-titik isolasi (rumah sakit dan hotel). "Kalau mereka sampai tahu, takut down," kata seorang keluarga. Tak lama setelah itu, kami pun meluncur ke tempat di mana Opa dan Oma sudah menunggu untuk berdoa bersama.
Dari pengalaman hari ini, saya melihat betapa pandemi Covid-19 merubah banyak agenda ritual persemayaman dan pemakaman jenazah. Kekurangpahaman keluarga mengenai protokol penanganan jenazah sampai penguburan, menunjukkan betapa informasi mengenai ketentuan tersebut masih belum sepenuhnya sampai kepada masyarakat. Bisa jadi karena diseminasi informasi yang kurang, bisa juga karena masyarakat kurang mau untuk mencari tahu.
Sumber: https://unsplash.com/photos/LiPIUvzwekw |
Disayangkan, karena sebenarnya keluarga boleh mendekat sedikit ke liang lahat, asalkan tetap menjaga jarak fisik minimal sekitar dua meter, baik saat prosesi maupun saat berdiri di kejauhan. Dengan begitu, keluarga dapat melihat lebih dekat, sambil menjalankan ritual-ritual yang memungkinkan dari kejauhan. Misalnya, untuk menaikkan doa bersama-sama saat jenazah dikuburkan oleh petugas.
Idealnya, tidak ada acara makan minum di lokasi pemakaman. Sebab, di saat seperti itu, kita mengandalkan kebersihan tangan dan lainnya dengan hand sanitizer. Kita merasa semuanya aman dan terkendali dengan hand sanitizer. Padahal kita tahu, hand sanitizer tidak membunuh semua jenis kuman. Mencuci tangan dengan sabun dan air bersih yang mengalir adalah cara yang paling dianjurkan untuk mencegah penularan kuman penyakit.
Semoga pemahaman masyarakat tentang protokol dan aturan terkait Covid-19 lebih baik lagi. Yang tak kalah penting adalah menerapkannya (tidak sebatas mengetahui). Semoga ....
No comments:
Post a Comment