Flojamora
Oleh: Erry Yulia Siahaan
Beberapa hari lalu, sebuah pertemuan tak dirancang, terlaksana dengan penuh haru biru. Hari itu kami baru saja usai mengikuti misa 100 hari Opa Tuan, pastor SVD dengan masa imamat lebih dari 65 tahun yang wafat tahun lalu pada usia 93 tahun. Berkat kemajuan teknologi, keluarga besar kami, yang tersebar di mana-mana bisa mengikuti misa tersebut. Ada yang di Flores, Jakarta, Jawa, Timor, dan lainnya. Kalau disingkat bisa menjadi Flojamora, untuk mendekatkan akronimnya dengan singkatan Flobamora, yang sudah lama ada dan dikenal publik sebagai kependekan dari nama-nama pulau besar di NTT.
Usai misa, saudara perempuan kami yang tinggal di Kupang membuat link zoom meeting selekasnya. Kami pun bermunculan satu persatu. Termasuk tanta dan kaka ade yang di pelosok Flores, yang cukup lama tidak bersua. Mengharukan, bisa melihat tanta yang sudah tua, dikelilingi kaka ade. Saya ingat ketika datang ke rumah Tanta, habis panen jagung. Ada satu ruangan besar yang isinya jagung yang menggunung. Pemandangan yang mudah dilihat di rumah-rumah petani saat musim panen. Jagung-jagung itu jelas tidak akan habis dimakan dalam waktu dekat. Sebagaimana biasa, jagung-jagung itu dibuat jagung tite, makanan khas Flores. Jagung direbus sebentar saja dan dalam keadaan panas-panas dipereteli, lalu dipukul pipih serupa emping, dijemur sampai kering. Kita bisa membelinya di pasar-pasar tradisional dalam ukuran cup atau gelas. Jika sedang musim, harganya murah. Jika sedang tidak musim, mahal. Jagung tite masih dirindukan oleh perantau yang jauh dari Flores. Jagung tite dibeli dan dibawa sebagai oleh-oleh, penanda kasih sayang bagi perantau. Mereka akan mengetahui bahwa mereka masih diingat dan dirindukan. Opa-oma dan om-tanta yang sudah tua masih suka memakan penganan yang rada alot itu. Biasanya jagung tite itu dicelupkan di dalam gelas berisi teh, kopi, atau susu panas. Mereka yang masih muda biasanya menggorengnya lalu dicampur dengan kacang tanah atau teri goreng.
Pertemuan dadakan itu terputus sebentar. Maklum, linknya dibuat dengan kuota terbatas, jadi mesti putus-sambung. Beberapa kali tersambung rasanya belum cukup membayar rasa rindu. Hari sudah malam. Yang di NTT mesti segera tidur, karena besok pagi mesti bekerja, sekolah, ke ladang, dan lainnya. Ada perbedaan waktu satu jam antara kami yang di Jawa dengan mereka yang di sana. Dengan berat, satu persatu wajah yang dirindu mohon ijin meninggalkan perjumpaan itu. Lain kali kita kembali bertemu. Suatu perjumpaan yang tanpa rencana ternyata bisa begitu berarti jika ada rasa kasih sayang yang melandasi. ***
Berjumpa karena semesta penuh cinta
ReplyDelete