Suaka Margakata
Polisemi
Oleh: Erry Yulia
Linguistik merupakan ilmu yang mempelajari tentang bahasa. Cakupannya cukup luas. Pada dasarnya, kajian mengenai bahasa mencakup aspek, makna, dan konteks bahasa.
Dalam mempelajari bahasa, kehadiran kata dan maknanya merupakan bagian penting dalam membangun makna dan konteks kalimat. Kebermaknaan kata dalam suatu bahasa tidak hanya tergantung pada ejaannya, tetapi juga pada bagaimana kata itu dibunyikan dan dalam konteks apa digunakan.
Ilmu bahasa bercabang-cabang. Ada yang membahas soal bunyi bahasa, yang disebut Fonetik. Ada yang mengkaji makna kata dan kode atau simbol representasi lainnya, baik sintaks maupun pragmatis, yang disebut Semantik. Ada pula yang membahas bentuk-bentuk kata beserta fungsi perubahaannya, baik fungsi ketatabahasaannya maupun semantiknya, yang disebut Morfologi. Atau. cabang lainnya yang cukup luas, mengingat kajian bahasa yang bisa merambah ke dalam ilmu kognitif, psikologi, atau antropologi, tergantung sudut pandang dan pendekatan peneliti.
Dalam konteks kebermaknaan kata, kehadiran kata-kata bermakna ganda bisa menimbulkan kebingungan, dan kesalahpahaman, terlebih bila komunikan target kurang terbiasa bergaul dengan kata-kata tersebut. Itu sebabnya, penggunaan kosakata perlu memperhatikan konteks dalam hal apa dan untuk tujuan apa kosakata itu digunakan. Istilah teknis di bidang kedokteran, misalnya, tentu tidak akan cocok dilepas begitu saja bila komunikan target adalah masyarakat awam. Diperlukan diseminator yang cukup memahami konteks bahasa untuk menjembatani dunia medis dan awam dalam hal ini. Sebab, prinsip bahasa adalah penggunaannya dapat dipahami oleh pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi.
Polisemi dalam Kosakata Aktif
Sebuah kata dapat memiliki arti ganda yang masih berhubungan atau berbeda sama sekali. Tidak hanya untuk kata-kata aktif atau yang masih sering digunakan, tetapi juga kosakata arkais (kuno), klasik (berhubungan dengan kesusastraan Melayu kuno), dan pasif (jarang dipakai). Kegandaan makna bisa berupa homonim dan polisemi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), polisemi diartikan sebagai bentuk bahasa (kata, frasa dan sebagainya) yang memiliki makna lebih dari satu. karena adanya beberapa konsep dalam pemaknaan suatu kata. Perbedaan makna ini cukup berdekatan. Jadi, berbeda dengan homonim, yang dibahas pada edisi sebelumnya. Homonim merupakan kata dengan makna ganda, tetapi perbedaannya cukup kontras, berasal dari sumber yang berbeda.
Tulisan ini mencoba mengulas tentang polisemi pada konteks kosakata pasif dan arkais, dengan mengambil contoh dari kosakata aktif sebagi komparasi awal. Yakni polisemi pada kata darah dan akar.
Polisemi pada kata darah:
(1) Ani masih berhubungan darah dengan keluarga saya.
(2) Ani terluka. Darahnya bercucuran mengotori lantai.
Pada kalimat pertama, kata darah (atau berhubungan darah) bermakna ada hubungan kekerabatan atau kesaudaraan atau masih satu keluarga. Sedangkan pada kalimat kedua, kata darah menunjukkan cairan fisiologis berwarna merah dari dalam tubuh. Makna pada kalimat pertama disebut dengan makna konotasi, sedangkan makna pada kalimat kedua adalah makna denotasi. Makna konotasi adalah makna tambahan yang berkaitan dengan rasa, bersifat konsensus (makna kata bisa berbeda antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok lainnya, sesuai dengan norma atau adat yang berlaku), dapat berubah dari waktu ke waktu. Makna denotasi adalah makna apa adanya, sesuai makna sebenarnya, merupakan hasil observasi.
Polisemi pada kata akar:
(1) Akar tanaman itu menjalar ke mana-mana.
(2) Akar permasalahan itu mesti secepatnya ditemukan, supaya persoalan bisa lekas diselesaikan.
Pada kalimat pertama, kata akar berarti ‘bagian tumbuhan yang biasanya tertanam di dalam tanah sebagai penguat dan pengisap air serta zat makanan’. Pada kalimat kedua, makna kata akar adalah ‘pokok atau pangkal’. Makna denotasi ada pada kalimat pertama, sedangkan makna konotasi ada pada kalimat kedua.
Polisemi dalam Kosakata Arkais
Ada ratusan kata arkais dalam KBBI. Sebanyak 300 kata di antaranya memiliki makna ganda, baik sebagai homonim maupun sebagai polisemi. Berikut ini adalah beberapa contoh polisemi dalam kosakata arkais.
Polisemi pada kata wiweka:
(1) Gilang dikenal sebagai pemuda yang wiweka. Pemuda ini luput dari aksi percobaan penipuan uang yang mengatasnamakan sahabatnya.
(2) Wiweka merupakan unsur penting untuk membentuk pribadi yang kuat. Wiweka membuat seseorang tidak mudah terperdaya oleh sesuatu yang situasional.
Pada kalimat pertama, wiweka berfungsi sebagai adjektiva (kata sifat) yang berarti sangat berhati-hati. Pada kalimat kedua, wiweka berfungsi sebagai nomina (kata benda) yang berarti sikap berhati-hati terhadap segala masalah.
Polisemi pada kata warita:
(1) Radio itu mewaritakan berakhirnya pandemi Covid-19 di Tanah Air.
(2) Sinta membacakan warita tentang Si Kancil untuk teman-temannya.
Kata warita pada kalimat pertama berarti berita dan pada kalimat kedua adalah cerita. Keduanya merupakan makna denotasi, sehingga lebih jelas terasa kedekatan maknanya.
Polisemi pada kata cabar:
(1) Mantranya menjadi cabar ketika datang fajar.
(2) Hatinya cabar melihat lawan tandingnya berbadan besar.
Kata cabar merupakan adjektiva. Kata cabar pada kalimat pertama berarti tidak manjur, sedangkan pada kalimat kedua bermakna tawar hati atau tidak berani.
Polisemi pada kata joreng:
(1) Sesuai wasiat ayahnya, tanah itu dibagi menjadi sembilan joreng.
(2) Karni mengambil lima joreng kertas dari buku itu.
Kata joreng pada kalimat pertama berarti bidang atau bagian kecil tanah, sedangkan pada kalimat kedua berarti lembar. Di sini terlihat keterkaitan makna dan konteks terhadap eksistensi sebuah kata.
Polisemi pada kata kadera:
(1) Baginda duduk di atas kadera yang megah.
(2) Suti berusaha duduk di atas kadera yang dibawa sejumlah perawat menuju ambulans.
Kata kadera termasuk kelas nomina dalam kosakata arkais. Pada kalimat pertama, kata kadera berarti kursi, sesuatu yang menjadi tempat duduk dalam arti denotasi. Pada kalimat kedua, sekalipun ada kata duduk dalam kalimat tersebut, namun sesuai dengan konteksnya, kata kadera dalam kalimat itu bukan berarti kursi, melainkan usungan atau tandu.
Dari kata ini kita bisa membuat kalimat lainnya dalam konteks beragam dengan makna-makna konotasi. Misalnya, memasukkan kata kadera dalam bentuk puisi sebagai berikut:
Kadera
Oleh: Erry Yulia Siahaan
Dalam pancakala
Ambisi beradu cita
Cari peluang ‘nuju realita
Sekisar kadera
Dalam pancakala
Nafsu berbumbu janji
Bumbungi cakrawala
Tak peduli akankah terpenuhi
Dalam pancakala
Menabuh lenggok para purna
Kami tagih kaulmu
Di tiap lipatan sakumu yang berlalu
Dalam pancakala
Kami nanti kadera
Persona mempesona
Pengabid suara nusantara
Semoga bisa dimaknai dan bermanfaat. ***
#Lomba Blog PGRI Bulan Februari 2021
#Hari ke-25, Kamis, 25 Februari 2021
No comments:
Post a Comment