Sunday, 28 February 2021

 

Suaka Margakata

Triple Blessing

Oleh: Erry Yulia Siahaan

Mari beranalogi terbalik dengan istilah medis. Dalam bidang Kesehatan masyarakat, kita akrab dengan istilah triple burden. Suatu frase yang dimaknai sebagai beban tiga kali lipat, dengan adanya berbagai penyakit sebagai permasalahan yang harus ditangani dengan cermat. Baik penyakit yang baru muncul (new emerging diseases), penyakit yang sudah ada tapi masih menjadi masalah (emerging diseases atau existing diseases), dan penyakit lama yang kemudian muncul kembali (reemerging diseases).

Dalam kebahasaan, kita bisa menggunakan ketiga istilah sejenis untuk menggambarkan perkembangan bahasa dewasa ini. Yakni munculnya peristilahan baru (new emerging words), bertahannya kosakata yang sudah ada (emerging words atau existing words), dan munculnya kembali kosakata lama (reemerging words). Kita menyebutnya analogi terbalik, karena burden adalah beban, sedangkan kosakata yang berlimpah merupakan anugerah. Berkat. Kita pantas menyebutnya sebagai triple blessing.

Triple blessing mengingatkan kita bahwa perbendaharaan kata dalam bahasa tidak mengenal kompetisi. Semua hadir bersinergi, memperkaya literasi. Kemunculan begitu deras istilah-istilah modern idealnya tidak menjadikan kita lupa atau membengkalaikan kosakata yang sudah ada, baik yang masih aktif maupun yang pasif, kuno, dan klasik. Oleh sebab itu, ketika kita membahas revitalisasi kosakata arkais dalam konteks kebahasaan, tujuannya adalah mencari sinergi ditengah kebhinnekaan.

Triple Blessing

Berikut ini beberapa contoh kosakata yang bisa ditemukan sesuai pengemasan triple blessing tersebut.

Untuk new emerging words, kita kebanjiran peristilahan (dari yang sebenarnya sudah ada sampai ke yang benar-benar baru) akibat pandemic Covid-19. Seperti KDR (kerja dari rumah atau work from home), swakarantina (self-quarantine), karantina wilayah (lockdown), pandemi (pandemic), tes usap tenggorokan (throat swab test), uji cepat (rapid test), kenormalan baru (new normal), tes serentak (massive test), penyintas (survivor), kasus impor (imported case), penjarakan fisik (physical distancing),  penyaringan (screening), spesimen/contoh (specimen), penelusuran atau pelacakan (tracing), pistol termometer (thermo gun), dalam jaringan atau daring (online), luar jaringan atau luring (offline), dan sebagainya.

Untuk existing words, kita sudah mengenal zoonosis (zoonosis), kesehatan masyarakat (public health), virus Corona (coronavirus), penyakit menular (infectious disease), protocol (protocol), mencuci tangan, pencegahan, dan lain-lain.

Sedangkan untuk kategori reemerging words, kita bisa memilih kosakata pasif, arkais, dan klasik yang sengaja dimunculkan untuk kembali kepada bumi literasi di Tanah Air. Contohnya, kata-kata arkais yang sudah saya munculkan melalui seri tulisan tentang Suaka Margakata seperti abid, sarira, kirana, dan lainnya.

Ada semacam perlakuan untuk suatu istilah baru agar bisa masuk ke dalam entri kamus Bahasa Indonesia. Diterima atau tidak biasanya ditentukan oleh kriteria pembentuk istilah, pedoman pembentukan, dan pengguna istilah. Kriteria pembentuk istilah merujuk pedoman yang berisi tata cara pembentukan istilah yang baik. Pengguna yang menjadi target dari pembentukan istilah sangat berperan dalam menentukan  apakah sebuah istilah berterima atau tidak. Jadi, sebuah istilah baru tidak serta merta akan diterima resmi sebagai kosakata dalam Bahasa Indonesia.

Oleh sebab itu, kosakata pasif, arkais, dan klasik yang sudah terdaftar merupakan harta berharga. Sayang bila dibiarkan menghilang karena tidak pernah lagi digunakan, apalagi mengingat banyak kosakata yang cukup estetis untuk sebuah produk kebahasaan. Begitu pula dengan kosakata yang sekarang ada dan kelak ada. Pembangunan literasi merupakan momentum untuk membangkitkan kecerlangan bahasa di Tanah Air. Di mana ketiga anugerah bahasa bisa saling bersinergi dalam alam literasi di Indonesia.

Bahasa Daerah

Dalam membahas (perkembangan) kebahasaan, kita tidak bisa mengabaikan cerita di balik perkembangan sastra. Kita sering mendengar pernyataan bahwa Bahasa Indonesia berakar pada bahasa daerah. Secara etiologis, hal itu bisa dibenarkan. Sejarah sastra membuktikan hal itu. Sastra Indonesia dibangun dari keragaman genre yang bersifat kedaerahan. Juga gaya kepenulisan, penokohan, mitologi, serta permasalahan politik, sosial, dan budaya dari mana keragaman itu berasal. Keragaman genre, baik yang umum (seperti puisi, prosa, dan drama) maupun yang khusus (seperti dongeng, legenda, mitos, hikayat, syair, pantun, dan gurindam), memberikan pengaruh pada keragaman lain yang diungkapkan oleh sastrawan daerah dalam karya-karya mereka.

Pegiat sastra daerah yang bukan penutur asli Bahasa Indonesia banyak memberi warna kedaerahan pada kreasi mereka yang sarat dengan penggunaan bahasa daerah. Cerita-cerita berlahiran dengan nuansa kedaerahan yang kental, sesuai dengan pemahaman mereka. Mungkin kala itu sulit menemukan peristilahan yang tepat untuk mewakili konsep yang hendak dituangkan. Hal ini mempengaruhi keberagaman produk sastra yang kemudian muncul antardaerah. Di sejumlah kawasan Sumatera, produk sastra yang lahir lebih bernuansa Melayu.  Muncul pula produk-produk bernuansa Batak, Jawa, Sunda, dan lainnya.

Kita bisa menyebutkan sejumlah nama sastrawan daerah seperti Amir Hamzah (nuansa Melayu), Bokor Hutasuhut (Batak), Hamka, Marah Rusli, Abdoel Moeis, daan Nur Sutan Iskandar (Minangkabau). Ada semacam kecenderungan bagi pegiat sastra untuk mengangkat  potensi daerahnya sebagai tema-tema penting dalam karya mereka, mencirikan bangkitnya sastra Indonesia yang bersumber dari budaya sendiri, khususnya sejak memasuki abad ke-20. Bermunculan sosok-sosok seperti Linus Suryadi AG dan YB Mangunwijaya (bernuansa Jawa), Ajip Rosidi dan Ramadhan KH (Sunda), SM Ardan (Betawi), Oka Rusmini (Bali), Putu Aryaa Tirtawirya dan Gerson Poyk (Nusa Tenggara).

Bahwa ada masa-masa di mana khasanah ke-Melayu-an banyak sekali bermunculan dan kemudian bertahan. Mereka kemudian meninggalkan jejak dalam kosakata yang kini kita sebut sebagai kata arkais dan klasik. Kita banyak sekali menemukan diksi arkais dan klasik dalam kamus yang berasal dari Pulau Sumatera. Kita maklumi mengingat Bahasa Melayu yang diangkat sebagai bahasa nasional berasal dari Pulau Sumatera.

Pengaruh bahasa daerah terhadap bahasa nasional, demikian pula sebaliknya, juga interaksi dengan bahasa asing, memunculkan lahirnya sarana baru yang memperkaya pegiat sastra untuk mengeskpresikan daya cipta mereka dengan estetika yang lebih memikat. Kini, kosakata dalam Bahasa Indonesia begitu berlimpah. Tidak lagi hanya bernuansa Melayu. Banyak kata-kata baru bermunculan setiap harinya. Semua itu memperkaya bahasa daerah, bahasa serapan, dan Bahasa Indonesia yang sudah ada sebelumnya.

Bhinneka Tunggal Ika

Riwayat perkembangan sastra di Indonesia memperlihatkan kebhinnekaan Indonesia, sekaligus keikaannya. Sastra Indonesia, khususnya perkembangan bahasa, cukup andil dalam mengatasi  multikulturalisme menuju kehidupan bangsa yang bersatu. Perbedaan bukan untuk dipertentangkan, tetapi merupakan potensi yang memperkuat dan memperindah persaudaraan. Ini sejalan dengan slogan yang sering kita dengar, “bahasa menunjukkan suatu bangsa”.

Di era yang semakin terbuka dan maju ini, pengaruh budaya dari luar Indonesia cukup kencang. Itu tidak bisa dihindari. Bahkan, pengaruh itu sudah kentara dalam produk bahasa sejumlah pegiat sastra sejak awal abad ke-20. Di satu sisi, hal itu bisa membantu pengayaan warna sastra di Tanar Air. Namun demikian, warna asli budaya sendiri sebagai warisan negeri, tetap harus diingat dan dilestarikan. Indonesia boleh modern, tetapi jangan sampai melupakan akar.

Terlihat bahwa dominasi Melayu pada khasanah kosakata arkais punya riwayat sendiri. Daftar diksi arkais akan bertambah panjang bila kosakata yang ada dan yang baru kemudian juga dilupakan. Corak asli bahasa Indonesia, yang berpilar pada bahasa daerah, idealnya mendapat tempat dalam perkembangan dan eksistensi budaya bangsa. ***



 

#Lomba Blog PGRI Bulan Februari 2021

#Hari ke-28, Minggu, 28 Februari 2021

"Manusya Mriga Satwa Sewaka"

Oleh: Erry Yulia Siahaan 

https://twitter.com/kshitiz_m/status/1365151395058356230 









This is how love can also be stated.

Hewan juga butuh kasih sayang. Hewan bisa kesepian. Ketika diberi  perhatian, hewan menunjukkan respon penanda hatinya senang. Kira-kira itulah yang bisa kita simpulkan dari tayangan melalui twitter milik kshitiz mahajan tentang terobosan di Jerman. Tayangan yang dilepas pada 26 Februari 2021 ini langsung mendapatkan perhatian. Tidak hanya di kalangan pecinta fauna, tetapi juga masyarakat awam. Apalagi, dokter hewan, yang makin percaya pada semboyan "Manusya Mriga Satwa Sewaka" (“Menciptakan Kesejahteraan Masyarakat melalui Kesejahteraan Hewan).

Dikisahkan, selama pandemi, satwa di kebun binatang di Jerman merasa kesepian. Mereka tertekan karena tidak ada yang mengunjungi. Kemudian Otoritas Kebun Binatang mengundang seorang pianis dari Koln, Thelonious Herrmann, untuk menggelar konser. Sebuah ide yang tidak biasa, kata Herrmann. Dengan pianonya yang bisa ditarik berkeliling Kebun Binatang Cologne, Herrmann dengan lincah memainkan irama ceria dengan alat musiknya. Gubahannya sendiri. Nada-nada menghibur itu bertaburan di antara komunitas kambing, monyet, jerapah, penguin, anjing laut, dan sebagainya. Dalam video berdurasi 96 detik itu kita bisa menyaksikan betapa hewan-hewan di sekitarnya jelas sekali menerima stimulan dan berperilaku seakan bisa menikmatinya. Lumba-lumba menari di air, jumpalitan. Singa laut mengapresiasi dengan bertepuk tangan.

Sekarang ini memang banyak tempat penampungan satwa yang terkena dampak oleh pandemi. Banyak kebun binatang tutup. Dunia musik pun senasib. Pandemi menyebabkan Herrmann kekurangan penonton. Dengan kampanye tersebut, Herrmann ingin mengumpulkan donasi untuk Kebun Binatang Cologne. Sungguh tidak lazim. Sebab, biasanya, musisi muda itu melakukan perjalanan ke seluruh Eropa dengan pianonya. Herrman  sudah berkeliling ke 18 negara dengan proyeknya "Stadtgeklimper". Di ujung film singkat hasil bidikan Julius Tyson itu, tertulis “Made for minds”. Ya, saya menangkap pesan itu. Semoga Anda juga. "Manusya Mriga Satwa Sewaka".

 

#thepowerofkepepet
#pikir15menit
#nulis15menit
#kasihsayang
#Feb28 AISEIWritingChallenge

Saturday, 27 February 2021

Suaka Margakata

Kata Arkais dalam Bahasa Figuratif

Oleh: Erry Yulia Siahaan

Setidaknya ada tiga cara yang bisa diterapkan dalam merevitalisasi penggunaan kosakata pasif, arkais, dan klasik dalam khasanah literasi di Tanah Air. Yaitu reuse, recycle, dan repurpose atau disingkat 3R. Reuse berarti memperpanjang usia penggunaan suatu kata atau memakai ulang. Recycle berarti mendaur ulang. Repurpose berarti menata kembali tujuan penggunaan kata.

Repurpose dapat dilakukan dengan melakukan improvisasi pada penggunaan kosakata pasif, arkis, dan klasik sehingga lebih hidup, menarik, relevan, dan tidak ketinggalan zaman. Langkah yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan kosakata tersebut dalam bahasa figuratif, seperti metafora, simile, personifikasi, dan lainnya.

Sebuah tulisan, menurut saya, idealnya mampu menjadi alat komunikasi, informasi, dan edukasi. Terlebih jika tulisan itu dilepas ke publik. Sebab, secara langsung atau tidak langsung, karya-karya yang diperuntukkan bagi publik berpengaruh dalam membentuk opini massa. Kita berharap, kreasi tersebut mampu menggiring opini ke arah yang positif dan mendidik. Menggunakan kosakata pasif, arkais, dan klasik berarti memperkenalkan kembali kata-kata itu untuk bermuara pada pengayaan literasi, sekaligus pewarisan bahasa nusantara. Selain kata-katanya memperkaya diksi publik, maknanya diharapkan ikut mendidik.

Bahasa Figuratif 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahasa adalah “sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri”. Bahasa juga berarti “percakapan (perkataan) yang baik; tingkah laku yang baik; sopan santun”. Sedangkan figuratif berarti bersifat kiasan atau lambang.

Bahasa figuratif adalah bahasa yang menggunakan kiasan. Jadi, makna dalam bahasa figuratif bukanlah makna secara literal (harfiah) atau makna dari kata-kata yang menyusunnya, melainkan makna kiasan.

Ada cukup banyak tipe bahasa figuratif. Tulisan ini mengulas beberapa saja di antaranya, diikuti contoh bahasa figuratif yang sudah ada dan yang bisa kita ciptakan dari kosakata pasif, arkais, dan klasik. Semua kata atau istilah tidak langsung terkenal atau dikenal. Ia pasti mulanya muncul sebagai sesuatu yang baru. Ia kemudian menjadi kosakata aktif setelah diterima dan banyak dipakai. Demikian pula dengan frase dan kalimat. Mnghidupkan kembali kosakata lama melalui bahasa figuratif memang membutuhkan keberanian. Spekulatif. Namun tetap harus dicoba. Semoga bisa diterima lebih luas.

Metafora

Metafora adalah pemakaian kata atau kelompok kata untuk melukiskan sesuatu berdasarkan persamaan atau perbandingan. Misalnya, membandingkan sesuatu yang abstrak dengan entitas yang nyata. Seperti contoh berikut ini:

(1)   Orang itu adalah buaya darat.

(2)   Waktu adalah uang.

(3)   Keluarga adalah harta termahal.

Itu adalah contoh metafora dengan menggunakan kosakata aktif. Dalam diksi arkais, ada sejumlah kata atau frase yang biasa digunakan sebagai metafora. Misalnya, lalat hijau yang berarti muncikari. Sehingga dalam bahasa figuratif, kita bisa membuat kalimatnya menjadi misalnya:

  • Perempuan itu adalah lalat hijau.

Contoh lain adalah kata kelindan yang termasuk kelas nomina (kata benda), yang berarti  benang yang baru dipintal; benang untuk pemutar kincir; benang berpilin untuk menjalankan jentera; benang yang sudah dimasukkan ke dalam lubang jarum (untuk menjahit). Sebagai kiasan, kata kelindan yang diubah menjadi verba (kata kerja) berkelindan memiliki arti erat menjadi satu. Contoh metafora untuk diksi ini adalah:

  • Norma-norma yang baik berkelindan dalam diri Budi dan keluarganya. 
  • Budi dan teman-temannya berkelindan sebagai saudara.

Simile

Simile adalah majas yang menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dengan menggunakan kata-kata pembanding seperti bagaikan, seperti, dan sebagainya. Simile mirip dengan metafora. Perbedaannya metafora tidak menggunakan perbandingan atau kata-kata pembanding. Contoh simile dengan kosakata aktif adalah:

(1)   Bibirnya bak delima merekah.

(2)   Mereka berdua bagaikan pinang dibelah dua.

(3)   Alis matanya seperti semut beriring.

Contoh dengan kosakata arkais adalah:

  • Perempuan itu seperti lalat hijau.

Perbedaan penggunaan frase lalat hijau pada metafora dan simile adalah bahwa pada metafora perempuan yang dimaksud memang seorang muncikari. Pada simile, perempuan tersebut mungkin karena gayanya (berpakaian, bahasa, gesture, tindak-tanduk, dan sebagainya) mirip atau serupa dengan gaya muncikari.

Dari kata arkais nyonyeh, kita juga bisa membuat simile sebagai berikut:

  • Pemuda itu masih berusia empatpuluh tahun, tetapi tampangnya seperti nyonyeh.

Dalam kalimat itu terdapat fakta bahwa orang yang dimaksud masih berusia empatpuluh tahun. Pada usia itu, seorang laki-laki biasanya masih kekar dan gagah. Namun, karena perawakannya menunjukkan sebaliknya, kita menggunakan kata nyonyeh yang berarti tua. Lebih ekstrem lagi, nyonyeh juga berarti tua sekali, tidak bergigi lagi. Terlihat bahwa simile di sini memiliki makna perumpamaan yang cukup ekstrem.

Personifikasi

Personifikasi adalah bahasa figuratif yang mempersamakan benda mati atau makhluk selain manusia menjadi seperti manusia, baik dalam bertindak, berpikir, bergaya, dan sebagainya. Contoh pada kosakata aktif adalah:

(1)   Pohon nyiur itu menari-nari ditiup angin.

(2)   Tanaman di rumah kehausan selama kami tinggal berhari-hari. Daun-daunnya kuning merana.

Untuk kosakata arkais, kita bisa contohkan penggunaan kata panus, dari kelas nomina yang berarti penyangga dian atau lilin.

  • Panus di pojok ruang berdiri dan diam saja di tengah kegelapan malam. Ia tak jua berteriak tentang dirinya yang sia-sia, tak menopang siapapun dengan ketiadaan cahayanya saat itu.

Melalui personifikasi itu, saya melukiskan keadaan di rumah saya pada suatu malam, listrik padam, lilin-lilin sudah habis dinyalakan. Panus di rumah saya tidak lagi ditancapi lilin karena lilin sudah habis, warung sudah tutup.

Hiperbola

Hiperbola adalah bahasa figuratif yang sengaja dilebih-lebihkan untuk mendapatkan efek tertentu. Contoh hiperbola dengan kosakata aktif adalah:

(1)   Suaranya mengguntur di lapangan.

(2)   Isak tangis dan airmatanya menenggelamkan keluarganya.

Pilihan diksi mengguntur bermaksud menimbulkan efek penguatan makna bahwa suara orang dimaksud keras sekali, seperti suara guntur di alam terbuka yang kedengaran ke mana-mana. Pada kalimat kedua, ada kata menenggelamkan, yang bertujuan menguatkan pesan betapa orang dimaksud menangis sejadi-jadinya, dengan air mata bercucuran dan isak tangis yang membuat semua terbawa emosi kesedihan orang tersebut.

Untuk kata klasik, kita bisa pilihkan kata caruk, yang berarti menguliti, sebagai berikut:

  • Keterangan saksi dan bukti-bukti mencaruk terdakwa.

Dalam contoh ini, saya menggambarkan bahwa keterangan saksi dan bukti-bukti begitu kuatnya sehingga membuat terdakwa tidak berkutik atau tidak bisa lagi menolak tuduhan bersalah atas tindakan yang dilakukannya.

Lainnya
Masih banyak bahasa figuratif lainnya yang bisa membingkai kosakata pasif, arkais, dan klasik sehingga tetap relevan dalam berbagai konteks di era sekarang.  Seperti ironi, sinisme, sarkasme, eufimisme, idiom, dan lain-lain.

Ironi digunakan untuk menyatakan sesuatu dengan makna atau maksud yang berlainan atau sebaliknya dari makna sebenarnya kata-kata yang digunakan. Misalnya:

  • Semua orang bilang anda memang orang yang hemat.

Sinisme merupakan pernyataan sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keiklasan dan ketulusan hati. Contohnya:

  • Anda memang yang tercantik di dunia ini, sampai mampu mengalahkan kecantikan Ratu Kecantikan sejagat.

Sarkasme merupakan pernyataan yang lebih kasar daripada ironi dan sinisme. Sarkasme mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Contohnya: 

  • Mulutmu adalah harimaumu.

Eufemisme adalah bahasa figuratif yang bertujuan menghaluskan makna dengan memilih diksi yang bermakna konotatif positif. Contoh untuk kosakata aktif adalah:

  • Pemerintah memberikan subsidi untuk para tunawisma.
  • Kesibukan perempuan yang tinggal di kota-kota besar menyebabkan tingginya kebutuhan akan asisten rumah tangga.

Tunawisma adalah penghalusan untuk gelandangan, dan asisten rumah tangga untuk pembantu.

Idiom merupakan kiasan di mana kata-kata yang membentuknya mempunyai arti sendiri-sendiri tapi sebagai kesatuan menimbulkan makna yang baru. Contohnya:

  • Anak itu dikenal panjang tangan.

Panjang tangan di sini dimaksudkan sebagai tukang mencuri.  ***



#Lomba Blog PGRI Bulan Februari 2021

#Hari ke-27, Sabtu, 27 Februari 2021

 

3 Cara Membangun Ikatan Erat dengan Anak, Orangtua Mesti Tahu

Ikatan erat antara orangtua dan anak berpengaruh besar dalam optimalisasi kesejahteraan anak. Hubungan itu bisa dibangun lewat komunikasi ...