Data Protection Day
Oleh: Erry Yulia Siahaan
Hari ini, tepatnya tanggal 28 Januari 2021, adalah hari khusus, tidak hanya untuk Majelis Eropa, tetapi juga seluruh unsur masyarakat yang ingin diakui haknya dalam hal perlindungan data pribadi. Hari ini adalah peringatan Hari Perlindungan Data (Data Protection Day/DPD) yang ke-14, setelah tanggal ini secara resmi ditetapkan sebagai DPD oleh Majelis Eropa pada 26 April 2006. Atau, merupakan peringatan ke-40 konvensi tentang perlindungan data atau yang dikenal sebagai "Convention 108". Kini, DPD diperingati secara global dan disebut sebagai Privacy Day di luar Eropa.
Tulisan ini sengaja saya angkat untuk mengisi kegiatan rutin Cakrawala Blogger Guru Nasional (Lagerunal). Tidak seperti biasanya, kali ini Lagerunal tidak menetapkan tema khusus dalam kegiatan Kamis Menulis. Anggota diberikan kebebasan dalam menentukan sendiri tema untuk tulisannya. Menurut saya, relevan untuk mengulas DPD hari ini.
Perlindungan data merupakan topik yang menarik dibahas seiring makin intensnya lalu-lintas informasi. Data siapa saja sangat mungkin diproses dalam hitungan detik, baik dalam urusan pekerjaan, kebijakan publik, keperluan kesehatan, pengaturan perjalanan, berselancar di dunia maya, dan lainnya. Semua itu meninggalkan jejak. Namun masih banyak yang mungkin belum peduli atau menyadari tentang risiko bobolnya data pribadi sehingga kurang merasakan perlunya perlindungan atas data pribadi, apalagi menyadari itu sebagai hak asasi.
Perlindungan data pribadi merupakan respon atas pesatnya perkembangan teknologi dan arus globalisasi berikut segala risikonya. Makin banyak orang atau lembaga yang berbagi (sharing) atau melakukan pemrosesan informasi mengenai data pribadi, misalnya untuk keperluan sosial, ekonomi, urusan perjalanan, dan sebagainya. Kemajuan teknologi membuat kegiatan itu menjadi lebih mudah dilakukan.
Kesadaran pentingnya melindungi privasi sudah muncul sejak lama. Setidaknya pada 1890, Warren dan Brandeis sudah mengingatkan adanya serangan terhadap privasi oleh "penemuan-penemuan dan metode-metode bisnis baru". Mereka sudah menyerukan pentingnya hak-hak pribadi dilindungi oleh hukum. Termasuk "hak privasi" atau yang mereka sebut "hak untuk dibiarkan sendiri" (right to be let alone).
Teknologi hanyalah alat. Yang menyebabkan adanya pelanggaran atau penyalahgunaan adalah penggunanya. Juga, tentu saja, sejauh mana kesadaran akan hal ini sudah ditindaklanjuti dengan kemunculan produk hukum sebagai payung untuk melindungi hak tersebut.
Di Eropa, pada 2016 regulasi perlindungan data pribadi (General Data Protection Regulation/ GDPR) yang dilandasi Piagam Hak Asasi Eropa menstandardisasi undang-undang perlindungan data di semua negara Uni Eropa. Juga,menerapkan aturan baru yang ketat untuk mengendalikan dan memproses informasi pribadi.
Pada peringatan hari perlindungan data, biasanya pemerintah, parlemen, lembaga perlindungan data, dan pihak lain di berbagai negara menyelenggarakan kegiatan untuk meningkatkan kepedulian tentang pentingnya perlindungan dan privacy atas data-data pribadi individu. Bentuknya beragam. Bisa berupa kampanye terbuka, program khusus yang melibatkan guru dan peserta didik, konferensi pers, diseminasi oleh lembaga yang peduli, dan sebagainya.
Tahun ini, DPD diperingati di berbagai kawasan termasuk Asia Pasifik, negara-negara Afrika, dan Amerika Latin. Di Asia Pasifik digelar pertemuan online dengan pembicara dari Singapura, Jepang, Filipina, Hong Kong, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, dengan moderator dari New South Wales dan dibuka oleh Sophie Kwasny (Ketua Unit Perlindungan Data, Majelis Eropa). Di Afrika diadakan kegiatan serupa dengan pembicara dari Kenya, Mauritius, Afrika Selatan, Moroko, dan Ghana. Sedangkan di Amerika Latin, acara diisi oleh wakil-wakil dari Spanyol, Kolumbia, Uruguay, Argentina, Meksiko, Portugal, Kosta Rika.
Di Asia, Indonesia mungkin bisa dibilang sedikit "tertinggal" dibandingkan negara tetangga. Malaysia sudah mengeluarkan regulasi tentang ini pada 2010, Singapura dan Filipina pada 2012, dan Thailand pada 2019. Indonesia sampai akhir 2020, menurut anggota Steering Committee The Indonesia Fintech Society (IFSoc) Yose Rizal Damuri*, masih menyusun naskah rancangan undang-undang (RUU). Padahal, materi ini sudah cukup lama diangkat di ruang legislasi. Kabarnya RUU ini menjadi satu dari empat RUU yang mendapatkan prioritas untuk dibahas di DPR. **
Keren informasi nya , mantap ....
ReplyDeleteBunda... Trimks infonya keren...
ReplyDeleteAlhamdulillah Indonesia sudah mulai membahanya dan menjadi perioritas RUU yang akan disahkan. JossLah emang Indonesia
ReplyDeleteInformasi yang mantap, Bu Erry. Terima kasih sudah berbagi.
ReplyDeleteCici Jang: mantap informasinya bu.
ReplyDelete