Corona di Tengah Keluarga Ompung Saka
Oleh: Erry Yulia Siahaan
“By three methods we may learn wisdom:
First, by reflection, which is noblest;
Second, by imitation, which is easiest;
and third by experience, which is the bitterest.”
(Confucius)
Akhir tahun merupakan momen istimewa untuk melakukan refleksi. Selalu dinanti dengan menyiapkan sejuta harapan agar tahun yang baru bisa lebih berarti. Namun, esensi hidup tidaklah berhenti sampai di sini. Kita dihadapkan pada dua opsi: Akankah kita menjadi sekadar pemimpi? Ataukah, kita ingin menjadi peresolusi, yakni insan-insan yang tidak berhenti pada mimpi, tetapi mengejarnya dalam aksi yang pasti?
Refleksi merupakan bentuk kerendahan hati. Cara mulia menuju bijaksana. Cara termudah sekaligus tersulit (baca: relatif) namun sarat nilai hidup tertinggi. Makin dalam kita menggali dan makin jujur kita mengakui mana yang salah dan baik, makin berhasil kita memantapkan titik pijak baru untuk esok melangkah lebih pasti.
Salah satu materi refleksi dari masa pandemi Covid-19 adalah insidensi Corona di tengah keluarga. Tidak ada yang mau tertular virus ini, sudah tentu. Untuk pasti terhindar, tak ada yang bisa menjamin. Cara terbaik adalah bersandar pada Tuhan, sambil terus berusaha melakukan yang terbaik untuk pencegahan.
Tulisan ini adalah tentang kejadian Corona di tengah keluarga besar Ompung Saka. Tidak ada niatan melebih-lebihkan, pun mencari pujian. Ini adalah contoh bagaimana sebuah keluarga melakukan refleksi dari peristiwa yang terjadi di tengah pandemi. Berbagi melalui cerita seringkali menemukan jalannya sendiri untuk menjadi jawaban bagi banyak tanya di luar sana. Semoga bermanfaat.
Pomparan Ompung Saka
Ompung adalah istilah Batak untuk “kakek” (Ompung Doli) atau “nenek”.(Ompung Boru). Nama Saka diambil dari nama cucu dari anak laki-laki paling tua. Sedangkan istilah pomparan berarti keluarga besar. Ompung Saka mempunyai sebelas anak, empat laki-laki dan tujuh perempuan. Sudah berkeluarga. Ada yang sudah bercucu. Ada yang tinggal di Sumatera (Medan), sebagian besar di Jawa (Jakarta, Depok, Bogor, dan Bandung).
Tahun 2020 terbilang istimewa buat Pomparan Ompung Saka. Corona yang seperti ada dan tiada menorehkan cerita tersendiri dengan kesan itu tadi: ada dan tiada. Akal tak bisa mencerna. Tapi peristiwa yang terjadi menjadi bukti nyata. Dari yang sehat sampai yang menjadi orang tanpa gejala (OTG). Sebagian besar pomparan tetap sehat sampai sekarang. Termasuk mereka yang langganan ke rumah sakit (RS), baik karena profesinya dokter/perawat maupun karena sakit atau mengantar/menemani yang sakit. Beberapa masuk daftar OTG. Ada yang isolasi di RS atau di rumah saja, ada yang masuk Wisma Atlet di Jakarta.
Mama Maringan (panggilan untuk Sumaryati, anak kelima) pada 2020 harus bolak-balik ke RS karena penyakitnya. Selepas pensiun Februari lalu, kondisi Mama Maringan dropped. Ini membuat Mama Maringan menjadi langganan ke unit gawat darurat (UGD) beberapa RS di Jakarta. Keluarga bergantian mengantar dan menemani, baik untuk rawat jalan maupun rawat inap. Tak terbilang sudah berapa kali rapid test dan swab test yang dijalani oleh Mama Maringan. Selama masa pandemi, RS memberlakukan kewajiban menjalani pemeriksaan tersebut kepada setiap pasien yang masuk UGD, sebelum dipindahkan ke ruang rawat. Selanjutnya, selama di ruang rawat inap juga dilakukan uji Corona. Berbagai tindakan pencegahan diupayakan maksimal oleh keluarga: memakai masker, meminum suplemen untuk meningkatkan daya tahan tubuh, cuci tangan, antisipasi dengan hand sanitizer, dan sebagainya.
Tanggal 27 Oktober lalu, Mama Maringan berpulang, setelah diopname untuk yang terakhir kalinya di RS. Bukan karena Covid-19. Saat masuk UGD, kondisi Mama Maringan memang sudah sangat buruk. Mama Maringan bertahan cukup lama di RS, sekitar dua minggu, sebelum akhirnya wafat. Keluarga tidak boleh menjenguk karena pasien berada di ruang isolasi. Namun keluarga selalu standby di RS sepanjang hari. Tentunya dengan risiko lebih tinggi untuk terjadinya infeksi nosokomial ketimbang mereka yang di rumah. Kondisi Mama Maringan sempat membaik, membangkitkan optimisme keluarga. Selama dirawat, swab test dilakukan berulang sesuai ketentuan. Hasilnya selalu negatif. Yang menemani/menjaga juga ikut ketentuan: rapid test. Hasilnya negatif.
Mama Maringan wafat tak lama setelah hasil swab test terakhir keluar dan hasilnya juga tetap negatif. Dengan hasil swab negatif terakhir itulah, Mama Maringan dinyatakan wafat dengan negatif Corona, sehingga segala perlakuan pascakematian berlaku secara normal. Mama Maringan bisa dimakamkan dengan normal (baca: bukan sebagai pasien Covid-19). Jenazah bisa dimandikan oleh keluarga, dibawa pulang, disemayamkan di lingkungan gereja, dan dimakamkan dengan diantar kerabat dan handai taulan. Melegakan, terlebih sebelum wafat, keluarga sempat menitipkan minyak urapan (yang sudah didoakan) untuk dioleskan oleh petugas pada tubuh Mama Maringan.
Kita sering mengukur kehadiran Tuhan menurut ukuran kita, misalnya dari hal-hal yang kita anggap menyenangkan saja. Saat kita tidak suka, kita bertanya “mengapa”. Lalu, “bukankah kita sudah berdoa dan berusaha”. Sering kita terpana pada akhirnya, saat menyadari kuasa Tuhan itu nyata dan selalu ada. Tuhan menyatakan kasih-Nya dengan cara-Nya dan pada waktu-Nya.
Sumber: http://www.technologyreview.com
Keluarga yang OTG
Saka tinggal di Bandung. Orangtua dan Karen, adik Saka, sempat masuk kategori OTG, sehingga menjalani isolasi di rumah selama beberapa waktu. Bandung termasuk wilayah yang cukup “merah” untuk Covid-19. Sebelum ketahuan OTG, mereka melakukan kegiatan seperti biasa. Bekerja dari kantor. Bahkan, keluar kota juga, untuk urusan dinas.
Bapak Saka menjalani rapid test sewaktu ada kegiatan di Bandung dengan salah satu direktorat Kemdikbud. Semua peserta wajib diperiksa. Bapak Saka dan seorang temannya reaktif, lalu disuruh pulang dan menjalani swab test. Hasil swab pertama dan kedua negatif.
Selang berapa lama Karen flu, lalu ke dokter. Tetapi tidak sembuh meski sudah minum obat. Menyusul Mama Saka, flu, juga tidak sembuh-sembuh. Keluhannya sakit kepala dan sakit tenggorokan. Maunya minum terus. Begitu mendengar ada rapid test di tempat kerja (Politeknik Bandung/Polban), Mama Saka memeriksakan diri. Hasilnya, reaktif. Lanjut dengan swab test, hasilnya positif Covid-19. Dengan begitu, mengikuti protokol kesehatan, semua anggota keluarga wajib swab test. Karen ternyata juga positif. Tetapi.Saka dan Bapak Saka negatif. Diduga, Karen terkena lebih dulu, tetapi dikira flu biasa.
Heran karena protokol kesehatan selalu diupayakan. Terpapar di mana atau dari siapa, sulit ditelusuri. Yang terpenting adalah mencari solusi. Keluarga memotivasi, saling berkomunikasi dan berkontribusi. Syukurlah, masa-masa sulit itu sudah terlewati.
“Memang sudah jalan Tuhan, ada rapid test di Polban. Kalau nggak, mungkin terlambat.” kata Bapak Saka.
Beda dengan Bapak Rio (baca: ayah dari Rio), menantu Ompung Saka dari anak ketujuh. Bapak Rio awal Agustus lalu kembali ke Bogor dari luar kota. Sebelum terbang pulang, Bapak Rio menjalani rapid test dan hasilnya non-reaktif. Beberapa hari kemudian muncul kejadian, Bapak Rio dilarikan ke UGD sebuah RS di Cibinong karena gula darahnya dropped. Seperti biasa, rapid test dilakukan. Hasilnya non-reaktif. Namun pihak RS menyarankan Bapak Rio menjalani isolasi, karena ada sedikit flek pada hasil Rontgen paru dan mengingat Bapak Rio sudah lanjut usia. Keluarga Rio mengikuti saran dari pihak RS, meskipun heran juga karena tidak ada edukasi kepada keluarga harus bagaimana selain bahwa Bapak Rio diisolasi. Hasil swab test pertama dan kedua ternyata negatif. Hari kelima, Bapak Rio boleh pulang.
Kisah OTG juga dialami oleh Ompung Theo Boru (Oberlina, anak kedelapan) yang tinggal di Jakarta. Tanggal 29 Desember 2020 Ompung Theo dinyatakan OTG dan harus diisolasi. Menuruti saran keluarga, Ompung Theo diisolasi di Wisma Atlet. Hingga tulisan ini diturunkan, Ompung Theo masih di sana. Keluarga Ompung Saka bersatu, saling mendukung dan membantu. Sebelum dinyatakan OTG, dalam kesehariannya, Ompung Theo kerap bekerja dari kantornya. Protokol kesehatan selalu diperhatikan. Ompung Theo dikenal sangat menjaga kebersihan. Heran, bisa terkena Corona. Tapi itulah realita.
Tahun Baru
Kisah Corona menjadi bahan refleksi utama Pomparan Ompung Saka menyongsong tahun yang baru. Betapa baik Tuhan dan betapa indah Dia menyatakan karya-Nya. Corona yang seperti “ada dan tiada” siap menggoda untuk kita bertanya “mengapa” ketimbang memuji nama-Nya. Corona menjadi pengingat betapa manisnya saling menjaga silaturahmi keluarga. Saling mendukung di kala suka dan duka. Tidak ada yang merasa lebih “wah”, tidak ada yang merasa lebih rendah.
Memasuki tahun baru, refleksi mengantarkan kita pada rencana dan tekad baru. Untuk membuat segala sesuatunya lebih baik. Menjadikan setiap waktu menjadi lebih berarti. Refleksi idealnya tidak berhenti hanya sampai mimpi. Harus ada aksi pasti untuk menindaklanjuti.
Memaknai ucapan ahli filsafat Cina, Confucius, refleksi (lalu bermimpi dan melakukan aksi) merupakan cara mulia untuk menjadi bijaksana. Artinya? Melakukan refleksi memang baik. Namun, refleksi saja tidaklah cukup untuk mengubah realitas. Meniru itu mudah, bisa dilakukan dari melihat. Pengalaman atau aksi adalah yang terpahit tapi di sanalah terjadi pertumbuhan sejati dari apa yang tadinya cuma mimpi.
Kita ingin hari-hari kita lebih berarti. Percaya pada rancangan-Nya. Bersyukur selalu kepada-Nya. Refleksi akhir tahun ini merupakan refleksi kolektif kontemplasi harian selama setahun, khususnya tentang Corona. Semoga refleksi Pomparan Ompung Saka bisa membawa kita menjadi lebih bijaksana.
***
* Bogor, 1 Januari 2021
Catatan penulis pada titik reflektif ini: “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” (Mazmur 9: 12)
Semua yang dialami adalah rancanganNya, tidak ada yang kebetulan. Pengalaman hidup di tahun 2020 dapat menjadi modal kekuatan untuk menghadapi tantangan di tahun berikutnya. Tuhan memberkati pomparan ompung Saka dan semua yang percaya pada Nya. Amin
ReplyDelete