Memakna Puisi Anak (5): “Suara-Suara Memilukan”
Oleh Erry Yulia Siahaan
Puisi merupakan sarana berekspresi bebas. Anak-anak bisa menggunakan puisi sebagai alat penyampai pesan. Ketika kita mau meluangkan waktu sedikit saja lebih lama untuk menyimak puisi seorang anak, kita bisa terkejut saat menemukan dalamnya pesan di balik yang tersurat. Akankah puisi bisa menjadi jalan keluar untuk suara-suara anak tentang kondisi mereka yang selama ini tidak terkatakan (unspoken), tidak terdengar (unheard), tidak terlaporkan (unreported)?
Sumber: https://www.hiclipart.com/free-transparent-background-png-clipart-phzuq
Salam sehat.
Salam sejahtera.
Berikut ini ulasan puisi “Suara-Suara Memilukan” karya Wiffaul Hasanah, peserta didik SDN Kramat Jati 03 Jakarta.
Suara-Suara Memilukan
Oleh: Wiffaul Hasanah
Bisakah kau dengar
suara-suara memilukan
dari kejauhan
dari keluarga yang ditinggalkan?
Kau tahu
Ini melanda seluruh pelosok
di negaraku
Penyebaran Corona begitu cepat
Cepat sampai tak ada yang menyadarinya
Cepat sampai tak ada celah yang terlewatkan
Cepat hingga terasa di mana-mana
Bisakah kau dengar
suara-suara rintihan
dari kejauhan
dari keluarga yang ditinggalkan?
Hari-hari kami lewati
dengan penuh takut dan kekhawatiran
kepada para dokter, perawat, dan tenaga ahli
vaksin dan pengobatan kami pasrahkan
Bisakah kau dengar
suara-suara penuh harapan
dari kejauhan
dari kami semua yang tak boleh putus harapan?
Setiap kali saya membaca puisi ini, saya terharu. Seringkali menangis, meski saya sudah puluhan kali membacanya.
Wiffaul mengawali puisinya dengan kuat: “Bisakah kau dengar/suara-suara memilukan/dari kejauhan/dari keluarga yang ditinggalkan?” Pertanyaan ini seakan dilontarkan kepada saya. Jelas, “suara” yang dimaksud oleh Wiffaul bukanlah suara dalam artian sebenarnya, apalagi dikatakan tegas “dari kejauhan”. Wiffaul sendiri tentu bukan “mendengar suara” itu dalam artian sesungguhnya. Yang jelas, Wiffaul tahu bahwa ada sesuatu yang mengusik nuraninya, tetapi dia sendiri tidak bisa berbuat banyak.
Seorang anak kelas 4 sekolah dasar bisa menyentuh titik dalam perasaan saya hanya dengan kata-kata.
Wiffaul mengulangi bagian kuat puisinya itu hampir sama pada bait keempat (kata "memilukan" diganti dengan "rintihan"), dan dengan berimprovisasi pada bait keenam (terakhir). Ini bisa disebut sebagai refrain, istilah yang selama ini mungkin kita anggap hanya berlaku untuk musik atau lagu. Refrain (Latin: refringere; Franch: refraindre; English: to repeat) adalah bagian yang diulang-ulang dalam sebuah lagu atau puisi. Dalam musik/lagu, refrain (ref, atau sering ditulis sebagai “reff” di Indonesia) adalah satu dari setidaknya delapan struktur utama (kerangka) lagu, yang memiliki definisi yang dituliskan dengan melodi dan lirik yang sama.
Dalam lagu, refrain terdiri dari dua bagian, yaitu melodi dan lirik. Adakalanya lirik refrain dirubah sedikit, namun selalu dalam irama dan rima yang senada. Refrain biasanya (tidak selalu) ada di bagian akhir satu potong lagu (stanza) dan diulang lebih dari satu kali. Refrain bisa ditemukan juga dalam puisi (contohnya puisi Wiffaul ini). Refrain biasanya digunakan untuk meringkas pesan kita tentang sesuatu. Dengan pengulangan, kesan ingin lebih diperhatikan menjadi lebih kuat.
Apakah Wiffaul dengan sengaja membuat refrain tersebut untuk menekankan pesan utama puisinya? Wiffaul yang tahu. Entah disengaja atau tidak, adanya refrain dalam puisinya telah memperkuat pesan yang ingin disampaikan.
Wiffaul mengekspresikan perasaannya bahwa dia mengerti keadaan yang sedang terjadi, tetapi dia tak kuasa mengatasinya. Dia melewati hari-harinya “dengan penuh takut dan kekhawatiran” dan mengharapkan “para dokter, perawat, dan tenaga ahli” segera menemukan “vaksin dan pengobatan”.
Pada refrain terakhir, Wiffaul berimprovisasi dengan tetap memperhatikan harmonisasi dalam rima, menggantikan “suara-suara memilukan” dengan “suara-suara penuh harapan”, serta mengganti “dari keluarga yang ditinggalkan?” dengan “dari kami semua yang tak boleh putus harapan?”.
Wiffaul juga ingin kita tahu bahwa di tengah ketidakberdayaannya sebagai seorang anak, dia dan keluarga terus berdoa masalah ini lekas berlalu.
Sekali lagi terbukti betapa dahsyat eksistensi sebuah puisi. Di tengah kegalauan dunia akan adanya suara-suara anak yang tidak terkatakan (unspoken), tidak terdengar (unheard), tidak terlaporkan (unreported) tentang kondisi yang mereka hadapi, tentang perasaan batin mereka, mungkin puisi bisa menjadi salah satu jalan keluar.
I really wonder.
No comments:
Post a Comment