Hari Kedua di Wisma Atlet
Swab Test Mandiri
Dari, tentang, dan untuk adikku: Oberlina Siahaan
Belum setengah tujuh, makan pagi sudah siap di depanku. Ada snack panada dan bolu, juga sari kacang hijau. Ada sayur, ayam goreng, tempe goreng, dan fuyunghai, serta nasi, tentu. “Berat badan dijamin naik,” tulisku pada hari kedua di tower delapan. “Tak apa, yang penting sehat.” Seperti biasa, saudara-saudara sudah siap menyimak laporan hari ini. Kakak ipar di Bandung mengirimkan video motivasi sebagai pelengkap sarapan. Sementara kakak ipar di Depok mengirimkan foto silaturahmi adik di Medan yang lagi Natalan. Disusul resep tradisional. Katanya, supaya lekas sembuh dan tambah langsing. Kami sebelas kakak-beradik. Kalau sudah berkumpul memang ramai sekali. Bisa dibayangkan bila semua keluarga hadir, lengkap dengan anak, isteri/suami, cucu-cucu, dan calon pasangan hidup. “Keren ya menunya. Kirain hanya cerita-cerita orang saja,” kata ipar dari Medan. “Iya,” jawabku. “Empat sehat. Lima sempurnanya belum ada. Mungkin sari kacang hijau tadi.”
Begitulah. Setengah delapan aku ke lantai tiga untuk ikut berolahraga. Banyak sekali pasien di sana. Rata-rata seperti orang sehat. Tampak bahagia. Macam-macam gerakan mereka. Ada yang mengikuti Gerakan senam massal, ada yang berimprovisasi semaunya, ada yang cuma mondar-mandir melenturkan kaki, badan, dan tangan. Ada yang cuma berdiri menyaksikan. Sekembali ke lantai lima, aku menulis diary. Menikmati lagu-lagu rohani. Merespon chat dan teman seisolasi.
“Semangat, Tante,” kata ponakan par UKI. (Kata par dalam Bahasa Batak bisa bermakna pelengkap pelaku, petunjuk asal, identitas. Misalnya, ponakan par UKI berarti ponakan yang tinggal di UKI, par dandi berarti orang yang suka merajuk atau ngambek karena dandi berarti ngambek.) “Semangat. Bagaimana keperluan di sana? Apa ada yang bisa diantar?” tanya par Medan. “Sudah minta tolong Maria,” kataku. Maria atau Mama Zinki, adalah ponakanku. Cantik. Cerdas. Rendah hati. Luar biasa. Hari itu Maria mengirimkan pesanan yang kudaftar kemarin. “Lapor, barang-barang sudah sampai di pos. Laporan selesai,” tulis Maria. “Laporan diterima,” respon Mama Abel, ponakanku juga dari Depok, yang kemudian mengirimkan foto Matthew (adik Abel, anaknya) sedang dibawa berobat ke Rumah Sakit Tumbuh Kembang, karena gejala DBD dan tifus. “Doain Matthew ya, Pung, supaya ceria kembali.” Setelah itu banjir respon untuk “amin” dan menanyakan kondisi Matthew.
Lunch sudah siap pukul 12 lewat. Nasi, capcay, telur rebus, tahu goreng, daging semur, pisang, krupuk. Dinner: Nasi, sayur oseng-oseng, ayam semur, ikan goreng tepung, teri kacang, pisang, krupuk. Selalu ada sayur dan sumber protein. Selain makanan, ada vitamin (diberikan saat pertama masuk) 10 untuk 10 hari. Boleh tidak membawa madu? “Boleh”, kataku, “apa saja boleh kecuali yang terlarang.” Pengalaman par Bandung, madu sangat membantu. Obat-obat yang direkomendasikan oleh ipar yang dokter di Medan (atas rekomendasi kakaknya yang dokter spesialis THT dan banyak menangani pasien Covid-19 dan 100% sembuh) juga diminum, terutama antibiotiknya. Vitamin disesuaikan dengan kondisi orang perorang, misalnya apakah ada masalah di lambung. “Sudah dikirim,” kataku soal madu. “Terima kasih, saudara-saudaraku, yang telah berempati, baik melalui doa dan dalam bentuk lainnya. Tuhan memberkati,” kata par Bandung selaku "kepala suku". (Dalam adat Batak, kalau orangtua sudah wafat, anak laki-laki tertua menjadi "pengganti", kami menyebutnya "kepala suku"). Lalu perbincangan berlanjut ke jenis vitamin, obat, ketersediaan, sampai kapan, di mana mencarinya, dan lain-lain. Juga imbauan untuk mengecek oksimetri berkala dan bagaimana menginterpretasikan hasilnya.
Perbincangan akhirnya sampai ke perihal swab test. Ternyata tidak ada pelayanan swab test di Wisma Atlet. Kalau mau swab test, mandiri. Atau, mungkin ke puskesmas lagi. Gratis? Let's find it out! ***
No comments:
Post a Comment