Tantangan Menulis Lagerunal (1)
Tahu dan Bisa
Membaca Algoritma “Tahu dan Bisa”
Mana yang lebih dulu harus ada, “tahu” atau “bisa”? Sungguh pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Sepintas, berdasarkan banyak teori pembelajaran, “tahu” merupakan kemampuan paling dasar yang harus dimiliki oleh seseorang sebelum bisa menginjakkan kaki pada apa yang disebut dengan “bisa”. Dalam evaluasi, pengukuran dan penilaian dengan kata operasional “mengetahui” berada pada tingkatan lebih awal dibandingkan dengan “mampu melakukan” atau “bisa”.
Sudah sangat dikenal dalam dunia Pendidikan, khususnya dalam ranah penilaian kognitif, bahwa ada enam tingkatan proses berpikir, dari yang terendah sampai yang tertinggi. Yaitu, pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), analisis (analysis), sintesis (syntesis), dan penilaian (evaluation). Sifat kesemua jenjang itu adalah kontinum dan overlap, dalam artian ranah yang lebih tinggi meliputi ranah yang ada di bawahnya. Tingkatan itu bermuara pada istilah-istilah yang dipakai dalam evaluasi seeprti “mengemukakan arti”, menceritakan yang terjadi”, dan sebagainya untuk pengetahuan, yang berinti pada kemampuan mengingat (berdasarkan apa yang diketahuinya). Begitu seterusnya sampai pada jenjang evaluasi dengan istilah-istilah seperti memilih solusi yang lebih baik, mempertahankan pendapat, menulis laporan, dan sebagainya, yang berlandaskan pada kemampuan memberikan pertimbangan terhadap suatu situasi, system nilai, metoda, dan lain-lain.
Menentukan mana yang lebih dulu harus ada adalah semacam membaca algoritma keduanya. Secara umum, algoritma didefinisikan sebagai urutan langkah logis yang digunakan untuk menyelesaikan suatu masalah. Maksudnya, suatu masalah harus diselesaikan dengan beberapa langkah yang logis (dan berurutan). Salah satu kisah popular untuk menggambarkan algoritma ini secara gamblang adalah kisah algoritma penyeberangan sungai. Seseorang harus membawa serigala, domba, ayam, dan sayur ke sebrang sungai. Hanya ada satu perahu dan perahu itu hanya bisa memuat dua muatan. Kita diharuskan mencari solusinya berupa Langkah-langkah berurutan sehingga semua bisa terangkut dengan aman ke seberang.Yakni dengan ketentuan:
1. Serigala tidak memakan ayam
2. Domba tidak memakan sayur
3. Serigala tidak memakan domba jika ditinggal berdua di seberang
4. Serigala tidak bisa makan atau menelan sayur
5. Perahu tidak tenggelam
Contoh lain, mungkin ini yang sederhana dan akrab dengan siapa saja, kemampuan kita berjalan. Seorang bayi tidak mungkin langsung bisa berjalan, bukan? Ada proses bayi itu harus merangkak, belajar berdiri, baru kemudian berjalan.
Apakah algoritma “tahu” dulu sebelum “bisa” berlaku dalam segala hal? Untuk bisa menjawab ini, kita perlu menggali pengetahuan kita tentang berbagai informasi mengenai macam-macam realita yang bisa menjawab sebaliknya, bahwa ternyata ada yang “bisa” meskipun “tidak tahu” sebelumnya. Atau, ada yang “bisa” dan baru tahu setelahnya.
Contoh algoritma terbalik “bisa meskipun tidak tahu sebelumnya” mungkin bisa kita jumpai pada berbagai realita keseharian, baik cerita tentang pengalaman naluriah, kepekaan seseorang, kisah supranatural, atau kisah-kisah perjalanan iman seseorang.
Bayi baru lahir yang diletakkan di dada ibunya, bayi itu secara naluriah bergerak menuju putting ibu untuk menyusu. Fenomena breast crawl ini sudah diteliti oleh sejumlah periset dari Italia dan hasil studi dipublikasikan beberapa tahun lalu. Tentu kita pernah mendengar cerita tentang bagaimana seseorang bisa mengetahui/melakukan sesuatu padahal dia sendiri belum atau tidak tahu tentang sesuatu itu. Orang yang memiliki kekuatan supranatural seringkali bisa membaca “ada sesuatu yang tidak beres” meskipun dia “belum tahu” apa yang tidak beres itu. Kita juga tentu pernah mendengar kisah-kisah luar biasa tentang bagaimana seseorang bisa melakukan sesuatu yang luas biasa dengan penuh keyakinan berdasarkan kedalaman imannya.
Ternyata, memang tidak ada yang pasti di dunia ini. Dan, yang terpenting, mungkin bukan sekadar apakah kita “tahu” atau “bisa”, karena jelas terlihat di sana ada sebuah kata sebagai jembatan sebagai pilihan, yaitu “kemauan”. Sekadar “tahu”, jelas bukan segalanya. Seperti kata Plato, “I am the wisest man alive, for I know one thing, and that is that I know nothing.” Lebih dalam lagi, nampak benar sekali apa yang dikatakan oleh Leonardo da Vinci, “nowing is not enough; we must apply. Being willing is not enough; we must do.”
Ya, dibutuhkan kemauan untuk bertindak. “Tahu” saja tidak cukup untuk memberikan dampak yang diinginkan. Harus dilakukan sesuatu untuk menjadikannya “nyata”. Lebih jauh lagi, setelah “tahu” dan “biasa”, kita sampai pada tahap “bisa”. Cantiknya algoritma!!!