Kue Angka Delapan dalam Ribuan Pencarian
Oleh: Erry Yulia Siahaan
Ilustrasi:Dari berbagai sumber (cookpad.com, travel.kompas.com, dll)
Kue. Itu ide pertama yang muncul saat menerima tantangan menulis dengan tema “delapan”. Penganan tradisional ini memang sangat berkesan. Sulit dilupakan. Otomatis timbul dalam ingatan. Makanan yang nikmat: manis, empuk, ringan, dan bleesss ….. saat kita menggigitnya. Gigi seperti bertemu rongga-rongga, dengan gurih putih telur cukup kuat terasa. Manisnya kue selalu ada lewat salutan gula.
Tekstur seperti itu dimungkinkan karena bahan dasar adonan adalah putih telur, yang dikocok hingga kaku lalu dicampur tepung. Membuatnya mudah-mudah susah, sulit-sulit gampang. Maksudnya, yang seharusnya mudah bisa jadi susah karena tidak sabaran. Sebaliknya, yang sebenarnya susah bisa menjadi mudah karena dilakukan dengan telaten. (Ups, ini kue angka delapan, bukan kue delapan jam, ya. Jadi, berbeda. Kue delapan jam itu adalah kue bolu, khas Palembang. Dalam buku tema kelas tiga sekolah dasar, nama kue ini langganan topik makanan tradisional dalam pembelajaran)
Saya sudah siap membuka buku
keluarga untuk mendapatkan resepnya. Keraguan muncul saat menyimak daftar tulisan
yang sudah masuk di whatsapp grup. Ide nyaris saya urungkan. Ternyata,
ada teman yang sudah membuat tulisan tentang kue angka delapan. Saya sempatkan
mampir ke blog-nya. Mencari celah yang masih bisa dibahas agar tulisan tidak
serupa. Ternyata kuenya warna coklat dan pakai taburan wijen. Kok beda ya?
Penasaraan. Langsung saya berselancar
di dunia maya. Ternyata ada 290 ribu situs di sana, yang membahas kue angka
delapan. Salut pada kemajuan jaman sekarang. Kalau dulu kita mesti mencatat,
lalu tumpukan buku resep bisa sampai bulukan karena sayang dibuang, sekarang
kita tinggal “klik” dan aha … informasi yang dicari bisa langsung ditarik.
Saya terpesona. Oh, betapa kayanya Indonesia. Untuk satu kue ini saja kita bisa menjumpai aneka kue delapan dalam seribu rasa, warna, ukuran, variasi, bahan dasar, dan cara membuatnya. Ada yang manis, ada yang asin. Ada yang dipanggang, ada yang digoreng. Ada yang berwijen, ada yang polos. Ada yang kecil, ada yang sedang/besar. Ada yang empuk, ada yang garing. Ada yang coklat, ada yang putih atau terang. Sebutannya juga bisa berbeda. Ada yang menyebutnya kue Widaran. Ada juga kue Tuli-tuli, gorengan gurih khas Pulau Buton, kue Engkok khas Banyuasin, kue Lanting singkong dari Kebumen, kerupuk Karakaliang singkong dari Sumatera Barat.
Kue delapan saya adalah yang dari Flores. Sering disebut kue nomor delapan. Dibuat dari kocokan putih telur. Sedikit demi sedikit, kocokan yang sudah kaku itu diadoni pelan-pelan dalam tepung tapioka, lalu dipilin serupa angka delapan. Digoreng. Setelah dingin, diguling-guling dalam gula tepung. Siap disantap. Proses pengadonan sebaiknya bertahap. Kalau terlalu banyak, adonan bisa gagal karena putih telur sudah kempes lagi.
Hmmm…. Tak sabar menanti berlalunya Corona. Bulan-bulan begini biasanya ada keluarga yang ke Flores dan kembali dengan kue nomor delapan. Tidak tanggung-tanggung. Sekali tiba, bisa sampai beberapa pack plastik yang biasa dipakai untuk bolu besar. Tidak ada masalah saat naik pesawat, karena bisa dibawa ke kabin. Yang lelah berjam-jam menempuh perjalanan dari kampung seakan terbayar saat datang disambut tawa sumringah kami semua. Tak terhitung sudah berapa banyak kue nomor delapan terbang dari Larantuka ke Jakarta, sampai ke Bogor rumah saya. ***
Enak kuenya itu bu.. DiPadang Sumatera Barat, daerah saya Bukittinggi nama kue kiki-kili/lapan lapan namanya, rasanya gurih, renyak dan kriuk...
ReplyDeleteAsyik yah ternyata banyak kue berbentuk 8, baru tahu saya.. makasih informasinya...
ReplyDeleteWow jadi pengin ngemil
ReplyDeleteAkhir kegalauan menjadi tulisan. Mantul 👍
ReplyDelete