Berbagi Pascaisolasi
Batuk Satu Kali dan Swab Test Mandiri
Oleh: Erry Yulia Siahaan
(Dari, tentang, dan untuk adikku: Oberlina Siahaan)
Sumringah, sewaktu dokter bilang aku boleh pulang ke rumah. Cuma, hati sedikit gundah. Mesti ikut swab test lagi dan kabarnya tidak murah. Ada yang bilang Rp 900 ribuan, ada yang bilang satu juta rupiah.
"Tolong info. Di mana swab mandiri yang murah?" tanyaku pada keluarga melalui whatsapp.
"Swab mandiri sama gak dengan swab BCA atau BRI ...?" gurau seorang ponakan. Biasa, dia memang suka humor. Apalagi kalau tahu ada yang rada panik.
Aku tidak mau kalah. Kukirim imoji "Duh senangnya. Sudah ceria Bapak Abel," kataku. "Kangen kumpul, ya."
Ponakanku itu biasa dipanggil Bapak Abel. Abel adalah nama anak pertama. Dalam tradisi Batak, jika seseorang sudah menikah, adalah tidak sopan atau pantang untuk memanggil namanya. Jika sudah mempunyai anak, bisa dipanggil dengan Bapak anu atau Mama anu. Bapak Abel belakangan memang repot. Matthew, adik Abel, masuk rumah sakit (RS) karena gejala DBD daan tifus. Keluarga masih khawatir dengan titer trombositnya yang masih relatif rendah. Melihat chat-nya sudah ceria, aku tentu saja senang.
Begitulah, chat bersahut-sahutan soal ini-itu, seperti tidak pernah bertemu. Padahal tiap hari selalu berbagi kabar baru dan cerita seru.
Obrolan balik lagi ke swab test. Ada yang mengirimkan informasi swab test ala drive thru. Lebih murah sedikit, Rp 895 ribu. Tidak perlu masuk RS dengan risiko terkena penyakit yang tak tentu. Jenis tes tersebut merupakan swab (PCR) test dengan hasil 2-3 hari, tapi tentu saja lebih akurat ketimbang tes cepat. Swab (antigen) test Rp 450 ribu. Rapid Test Rp 145 ribu. (Hahaha... jadi seperti jualan tiket pesawat promo).
Kok tidak swab test di puskesmas? Gratis kan. Nah, dari sini baru ketahuan. Ternyata, swab test gratis itu ada persyaratannya. Untuk orang tanpa gejala (OTG), swab test pertama saja yang gratis di puskesmas. Swab test kedua harus mandiri atau bayar sendiri. Beda dengan orang dalam pemantauan (ODP). Swab test pertama (sebelum penegakan diagnosa) dan kedua (pascaisolasi) semua gratis. Ini ketentuan terbaru, kata ipar yang dokter di Medan. Protokol Revisi 5.
Ternyata kuncinya ada pada pengakuan soal batuk. Sewaktu ditanya ada batuk atau tidak, aku jawab tidak. Kupikir, batuk cuma sekali boleh dianggap biasa. Apalagi flu tidak ada. Suhu badan juga normal saja. Ternyata, batuk satu kalipun sebaiknya dilaporkan. Dengan laporan itu, OTG sekejap jadi ODP. Dengan status ODP, swab test yang kedua bisa dilakukan gratis. Tidak mesti ke puskesmas. Di Wisma Atlet, tempat isolasi, juga bisa.
"Berarti Kakak ada gejala. Batuk sekali itu sudah gejala," kata ipar dari Medan.
Ya, sudahlah. Intinya, ada informasi yang belum sampai. Bisa jadi, anamnesis (penelusuran riwayat pasien) kurang berjalan sebagaimana mestinya. Bisa jadi, aku yang kurang baca berita. Yang jelas, aku salut pada tenaga kesehatan di Wisma Atlet. Jumlahnya kurang sebanding (terlalu sedikit) jika dikomparasi dengan jumlah pasien. Walaupun sudah lelah, tetap ramah-tamah.
Keputusan akhir adalah drive thru swab test. Risiko kena infeksi nosokomial lebih kecil. Tidak harus ngejelimet antre.
No comments:
Post a Comment