Memakna Puisi Anak (7):
“Cantik Tapi Membuat Panik”
Oleh: Erry Yulia Siahaan
Sumber:
https://pngtree.com/freepng/ & https://www.shutterstock.com/image-vector/coronavirus-crown-cartoon-evil-face-disease-1675307404
Salam penuh kebahagiaan!
Anak punya cara sendiri mengekspresikan pendapatnya tentang sesuatu. Di tengah pandemi, selain kata “Corona” atau “Covid-19”, anak-anak menyebut kuman infeksius ini dengan berbagai ungkapan. Dari yang sederhana seperti “virus”, sesuatu yang “kecil”, “tak kasat mata”, “berbahaya”, dan “invisible”, sampai yang lebih kompleks seperti “terrifying”, (pembawa) “musibah” dan “derita”, tak dikenali, (pembuat) “lumpuh” dan “terbelenggu”, pengguncang dunia, penebar ancaman, (penyebab jatuhnya banyak) “korban”, penghilang “asa”, “ceria”, “canda-tawa”, dan “penyemangat hari”. Bahkan, ada yang menyebutnya “evil virus” atau “cantik” tetapi “membuat panik”.
Sungguh menarik cara mereka mengutarakan pendapat terhadap sesuatu yang mereka tidak sukai, bahkan sangat menggelisahkan. Mari kita telaah dua contoh dari rentetan kata tersebut, yakni “evil virus” (dari puisi “Evil Virus” karya Muhammad Farrel Adirah) dan “cantik” tetapi “membuat panik” (dari puisi “Pergilah” karya Naufal Firjatulloh). Keduanya dari SDN Kramat Jati 03 Jakarta.
Evil Virus
By: Muhammad Farrel Adirah
Corona ….
You like evil
A bad dream in life
You come with a million problems
Evil virus …
You show up
All humans are afraid
School at home
Work from home
I can’t play either
Longing envelops the soul
to meet loyal friends
Corona …
Go away from this life
I hope we can live as before
Safe, peaceful, and serene
Without you, Corona
Pergilah
Oleh: Naufal Firjatulloh
Corona
Namamu cantik
Tapi kau membuat orang panik
Kala kau tak ada
Kami bahagia
Kala kau ada
Kami terus bersiaga
Corona
Namamu cantik
Tapi kau membuat orang panik
Pergilah dengan damai
Biarkan semua kembali santai
Pergilah tanpa ada lagi korban
Biarkan kami mempunyai harapan
Pergilah … pergilah
Biarkan doa-doa terpanjatkan
Hingga semua terkabulkan
Farrel menyebutkan “evil” sebagai adjective (“evil virus”) dan sebagai noun (“You like evil”). Mendefinisikan “evil” memang bisa ditinjau dari kedua kelas kata tersebut. Sebagai adjective, “evil” bisa bermakna sangat jahat, sangat tidak bermoral, sangat keji, sangat buruk, sangat salah, dan sebagainya. Kata “sangat” menunjukkan sesuatu itu sudah keterlaluan atau melampaui batas yang bisa ditoleransi. Jika sebelumnya kita menemukan dan membahas kata-kata seperti “berbahaya”, “terrifying”, “hurting”, dan sebagainya, maka penggunaan “evil” sebenarnya sudah mencakup semua itu. Ekstremnya, tidak ada sesuatu yang lebih buruk daripada sesuatu yang digambarkan sebagai sesuatu yang “evil”.
Sebagai noun, “evil” bisa diartikan sebagai kejahatan, kejelekan, keberdosaan yang sudah sangat keterlaluan. Adakalanya “evil” bertemu dengan dualisme antagonistik sebagai lawan dari “kebaikan” dalam menggambarkan suatu situasi. Di mana “evil” atau “kejahatan” harus dikalahkan dan “kebaikan” harus menang. “Evil” bisa diartikan dalam berbagai cara, tergantung motif penggunaannya. Sebagai bentuk kepribadian, misalnya, “evil” bisa berkonotasi “kemarahan”, “balas dendam”, “kebencian”, “penyangkalan”, dan sebagainya. Namun sangat jelas, “evil” selalu digunakan dalam konteks negatif tentang sesuatu.
Sebagai adjective, kata “evil” dalam puisi Farrel diikuti dengan “You show up/All humans are afraid/School at home/Work from home/I can’t play either/Longing envelops the soul/to meet loyal friends”. Sedangkan sebagai noun, kata “evil” diikuti sebagai “A bad dream in life/You come with a million problems”.
Sekali lagi kita bisa menangkap kepolosan anak dalm berkonsep tentang “jahat” dan “baik”. Dalam diri seorang anak bernama Farrel, Corona sudah tidak sekadar “jahat”, tetapi “sangat jahat” hingga Farrel menyebutnya sebagai “evil”. Dilihat dari kata, frase, atau kalimat penyertanya, tersimpulkan bahwa sesuatu itu “sangat jahat” ketika kemunculannya menumbulkan rentetan dampak tidak menyenangkan seperti ketakutan, orang harus belajar dan bekerja dari rumah, anak-anak tidak bisa bermain seperti biasanya dan begitu rindu bertemu dengan teman-teman baiknya.
Pesan kritis dari puisi ini adalah perlunya kita cerdas mengantisipasi setiap langkah kita sebagai orang dewasa dalam membimbing anak-anak kita untuk mencegah situasi yang untuk mereka bisa dikonsepkan sebagai sesuatu yang “jahat” dan “harus dikalahkan”. Menurut penulis, saat di mana seorang anak (suka) memberontak mungkin bisa menjadi titik refleksi kritis bagi kita bahwa ada kebijakan kita yang salah. Misalnya, mungkin saja kita sering menyalahkan dan kurang menghargai anak atau mungkin kita selama ini telah menjadi model “sikap berontak” bagi mereka.
Cantik Tapi Membuat Panik
Naufal melakukan repetisi untuk “Corona/Namamu cantik/Tapi kau membuat orang panik” pada bait pertama dan ketiga. Kita menyebutnya sebagai “refrain” yang berfungsi penguatan (tentang “refrain” sudah dibahas pada Memakna Puisi Anak (5): “Suara-Suara Memilukan”).
Saya tertarik dengan rima puisi Naufal, yang keseluruhan bisa diringkas sebagai: a-b-b/a-a-a-a/a-b-b/a-a-b-b-c-b-b. Cukup kuat dan baik, khususnya pada pilihan kata “cantik” dan “panik”. Memang selama ini kata “Corona” di Indonesia, bagi penggemar otomotif khususnya, lebih dikenal sebagai “nama cantik” salah satu merk mobil keluaran Toyota. Dalam dunia medis, Corona merupakan keluarga virus yang bentuknya “dianggap cantik” karena seperti mahkota (crown/corona). Di Flores Timur, tempat keluarga dan kerabat penulis, sempat muncul candaan bahwa di sana sudah banyak “Corona” dari dulu. Istilah “Corona” di sini tepatnya ditulis sebagai “Cor Ona” – nama cantik untuk laki-laki dan perempuan di sana. “Cor” adalah kependekan dari nama “Cornelius”, sedangkan “Ona” adalah nama yang umum dipakai untuk perempuan di sana (yang memang cantik-cantik).
Siapa sangka bahwa Corona ternyata membuat panik? Mungkin itu yang dirasakan Naufal. Sifat lumrah manusia untuk menyukai sesuatu yang terlihat indah, Tetapi, sesuatu yang indah belum tentu baik. Kematangan pemahaman ke arah sana membutuhkan proses. Anak-anak masih belum matang menilai seperti itu. Sebagaimana diketahui, anak usia sekolah dasar masih dalam tahap pekermbangan operasi konkret. Mereka masih banyak mengandalkan panca indera dalam menyimpulkan sesuatu. Misalnya memberi nama dan mengidentifikasi sesuatu berdasarkan tampilan, ukuran, atau karakteristik konkret lainnya.
Dari kata “membuat panik”, Naufal sebenarnya menunjukkan kemajuan dalam memahami sesuatu. Ini hikmah di balik pandemi. Tidak hanya bagi Naufal, tapi juga bagi kita semua.
Sebagai simpulan, penulis dapat katakana, “evil” seringkali datang dengan nama dan bentuknya yang cantik. Tapi, sebagaimana sebutannya, eksistensi “evil” dan dampaknya pasti tidak baik. Yang memungkinkan “evil” eksis adalah manusia. Sebagai makhluk cerdas dan berakal budi, idealnya manusia menggunakan pengetahuan dan segala pemahamannya untuk kepentingan kemanusiaan dan kebaikan di muka bumi. Saat “evil” datang, jangan memberikan tempat untuk eksis.
Saya percaya, segala makhluk, dari yang renik sampai yang paling besar, diciptakan dalam suatu keseimbangan untuk tujuan yang baik. Yang berbahaya adalah ketika keseimbangan itu terganggu dan sesuatu yang dianggap “evil” itu mendominasi. Terlebih ketika manusia tidak sadar diri. Di situ bisa terjadi dampak yang tidak diinginkan.
Mari kita mulai dari diri kita sendiri untuk berbagi hal-hal baik.***
No comments:
Post a Comment