Teknologi Pembelajaran, Katalisator Menuju Indonesia 2045
Seperti apa wajah Indonesia seratus tahun merdeka? Berbagai target sangatlah jelas di atas kertas. Soal realitas, kita masih harus berusaha keras. Sebab, membangun generasi emas, tak semudah bicara lepas. Setiap langkah mesti terarah. Kesinambungannya harus terus diasah. Segala lini idealnya berjalan terpadu, yang kendati penuh liku-liku, tujuannya mesti menyatu: melahirkan generasi penerus yang bermutu.
Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo telah menyusun suatu agenda besar yang disebut Visi Indonesia 2045 atau Visi 100 Tahun Indonesia Merdeka. Agenda yang disusun oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) ini amat menjanjikan, karena tidak hanya memuat apa yang hendak dicapai, tapi dilengkapi “peta jalan” menuju ke sana. Indonesia berkeyakinan bahwa kajian strategis Visi Indonesia 2045 akan mampu mengantarkan negara kita sebagai bangsa yang berdaulat, maju, adil, dan makmur.
Tahun-tahun belakangan ini, berbagai hal dibenahi, sebagai bukti bahwa niat kita bukanlah niat setengah hati. Birokrasi dipangkas. Korupsi diberantas. Peluang ekonomi kreatif dipertegas. Pembangunan karakter mendapat prioritas. Merdeka belajar diupayakan sebagai realitas.
Kemudian, datanglah pandemi. Kita semua seakan diuji. Visi Indonesia 2045 memang masih 25 tahun lagi. Tetapi, adanya pandemi telah memunculkan banyak indikasi kurang baik, berupa menurunnya kegiatan ekonomi dan lain-lain seiring adanya kebijakan berskala besar untuk meredam penularan virus Corona. Banyak kegiatan kantoran yang kemudian dilakukan dari rumah. Terjadi pembatasan atau pengurangan aktivitas di sana-sini. Kemerosotan ini membuat kita harus esktrajeli memperhitungkan kembali kecepatan dan ketepatan ritme langkah kita dalam menapaki “peta jalan” tadi. “Jarak tempuh” kita sampai akhir 2020 jelas tak bisa sejauh yang diharapkan, dengan adanya agenda-agenda yang tertunda. Apalagi jika pandemi masih berlanjut setelah 2020. Ketertinggalan ini mesti disiasati. Mesti ada percepatan langkah pasca pandemi, agar Visi Indonesia 2045 benar-benar tercapai. Makin dini inisiasi dilakukan, akan lebih baik hasil yang bisa diharapkan.
Inisiasi yang dimaksud adalah dengan mengupayakan dasar-dasar menuju yang hendak dicapai pada 2045, bahkan tahun-tahun setelahnya. Sebagaimana diketahui, Visi Indonesia 2045 menetapkan empat pilar yang ingin dicapai, yaitu: (1) Pembangunan Manusia serta Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (2) Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan, (3) Pemerataan Pembangunan, serta (4) Pemantapan Ketahanan Nasional dan Tata Kelola Kepemerintahan. Penyusunan keempat pilar ini dilatarbelakangi nilai-nilai yang ada pada Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai dasar konstitusi. Nilai-nilai itu adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Visi
Indonesia 2045 merupakan salah satu tongkat estafet dari gagasan 2015-2085,
yang bermuara pada tujuh
impian besar, yakni: (1)
Sumber daya manusia Indonesia yang kecerdasannya mengungguli bangsa-bangsa lain
di dunia; (2) Masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi pluralisme,
berbudaya, religius dan menjunjung tinggi nilai-nilai etika; (3) Indonesia
menjadi pusat pendidikan, teknologi, dan peradaban dunia; (4) Masyarakat dan
aparatur Pemerintah yang bebas dari perilaku korupsi; (5) Terbangunnya
infrastruktur yang merata di seluruh Indonesia; (6) Indonesia menjadi negara
yang mandiri dan negara yang paling berpengaruh di Asia Pasifik; dan (7)
Indonesia menjadi barometer pertumbuhan ekonomi dunia. Sungguh impian yang sangat
menantang.
Terlihat bahwa salah satu mata rantai penting dalam rencana besar itu adalah pembangunan sumberdaya manusia (SDM). Manusia Indonesia ke depan diharapkan cerdas, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, dan berkarakter mulia yang senantiasa memperhatikan nilai-nilai dalam Pancasila dan UUD 1945. Untuk mewujudkannya, diperlukan kerja keras lintas sektor, termasuk ekonomi, kesehatan, pendidikan, pengelolaan sumberdaya alam, maupun kebijakan pengelolaan negara.
Kalau ditanya, mana yang lebih dulu harus ada, kesehatan yang baik, pendidikan yang baik, ekonomi yang menjamin, atau kebijakan yang berpihak pada masa depan rakyat? Ini seperti ingin mencari simpul awal dari sebuah lingkaran. Tak akan berujung. Simpul awal tak bakal ditemukan. Oleh sebab itu, setiap orang harus melakukan perannya sebaik-baiknya, setiap hari dalam hidupnya. Segenap usaha dan tujuannya mesti selaras dan terarah pada visi tersebut. Bukan hal yang mudah.
Di bidang pendidikan, pembelajaran teknologi dan ilmu komunikasi (TIK) idealnya diberikan sejak usia dini jika kita memang ingin membentuk manusia yang menguasai teknologi, bahkan ingin menjadikan Indonesia sebagai barometer pertumbuhan ekonomi dunia. Pendidikan budi pekerti terus diupayakan agar nilai-nilai karakter mulia terinternalisasi dengan baik sejak dini. Cara ini secara bertahap tapi pasti akan membentuk generasi berlapis yang melek iptek dan berkarakter mulia.
Iptek dan Pandemi
Di bidang pendidikan, pandemi membawa perubahan pada pola belajar dan mengajar sekitar 68 juta peserta didik dan 13 juta pendidik. Kegiatan belajar mengajar (KBM) berlangsung dari rumah, yang tentu saja sedapat mungkin diupayakan secara efektif dan efisien.
Namun, pandemi sungguh membawa hikmah. Betapa tidak? Sejak diberlakukannya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Maret lalu, kita seakan terperangah. Ternyata kita belum apa-apa jika dibandingkan tujuan besar yang ingin dicapai, baik dalam hal kecakapan ril maupun mental. Beberapa bulan pertama, kita lalui dengan cukup banyak kesulitan. Mengubah pola kegiatan dari interaksi langsung menjadi pola tak langsung (melalui pertemuan maya), tidaklah mudah. Begitu pula dengan KBM, dari tatap muka langsung menjadi tatap maya. Pembelajaran dari rumah, tidak mudah, terutama karena kecakapan berteknologi yang merupakan keharusan belum sepenuhnya dimanfaatkan. Namun, kita pelan-pelan beradaptasi. Sungguh kodrati.
Banyak guru yang mengalami kendala dalam memberlangsungkan pembelajaran jarak jauh (PJJ) karena kurang menguasai teknologi. Tidak hanya di pedesaan, tapi juga di perkotaan. Di sejumlah daerah, ternyata masih ada yang belum memiliki perangkat keras seperti handphone, komputer, dan netbook. Sebelum pandemi, kendati sudah memiliki telepon genggam, masih banyak yang mengenal perangkat ini sebatas alat berkomunikasi biasa, baik melalui whatsapp, facebook, twitter, instagram, dan sebagainya. Tak sedikit yang kerap berganti telepon seluler hanya untuk gengsi atau pencitraan, bukan untuk meningkatkan performa sebagai guru profesional.
Masuk akal. Sebelum pandemi, KBM mengandalkan interaksi langsung dengan tatap muka. Kalaupun menggunakan perangkat multi media, lebih sering menggunakan powerpoint atau in-focus, dengan materi buatan orang lain dan seringkali yang itu-itu saja. Masih sedikit guru yang sudah menciptakan sendiri sesi belajar maya, atau menggunakan teknologi tele-meeting sebagai bagian dari rantai pembelajaran, misalnya untuk bimbingan belajar ekstra bagi yang membutuhkan. Buku-buku masih mengandalkan hardcopy (buku cetak), dan sebagainya.
Sementara dari sisi peserta didik dan orangtua, kendala kepemilikan dan penguasaan teknologi juga menjadi kendala. Ada yang sama sekali belum memiliki perangkat keras yang dibutuhkan. Ada orangtua yang berbagi handphone dengan dua-tiga anaknya, padahal pada saat bersamaan orangtua tersebut juga membutuhkannya untuk bekerja melalui sistem dalam jaringan (daring). Di luar itu, masih terdapat kendala lain berupa ketidaksiapan mental untuk menyikapi bahwa pandemi ini bukanlah liburan panjang. Masih terdapat masyarakat yang belum merespon pandemi sebagai masa-masa darurat yang justru mesti membuat kita bangkit dan menunjukkan jati diri sebagai bangsa yang tetap tangguh, bagaimanapun keadaannya.
Sesungguhnya, PJJ bukan barang baru. Sistem ini sudah diterapkan di Indonesia sejak bertahun-tahun lalu, misalnya lewat universitas terbuka, kursus jarak jauh, dan lain-lain. Namun, skala penerapannya masih terbatas. Di masa pandemi, penerapannya meluas.
Dengan adanya peningkatan kebutuhan, berbagai pihak berlomba-lomba memunculkan, memperkenalkan, dan menawarkan portal-portal dengan berbagai fitur. Jumlah provider pun bertambah. Tidak mengherankan jika saat ini semakin banyak istilah yang dikenal oleh masyarakat, seperti online meeting, zoom meeting, google meeting, google form, google classroom, dan sebagainya. Guru-guru juga mulai bertambah yang bisa membuat padlet yaitu semacam ringkasan digital tentang rencana pembelajaran yang disusun dari awal sampai akhir, dalam segala rupa media dan sumber belajarnya. Atau, membuat video pembelajaran sendiri dengan menggunakan berbagai aplikasi. Berbagai platform seperti Rumah Belajar, Ruang Guru, Quipper School, Google Suite for Education, dan Zenius mengisi keseharian guru dalam kinerjanya. Sementara itu pengadaan buku elektronik meningkat. Indopustaka+, misalnya, meluncurkan fitur berupa e-pustaka, e-learning, e-kantin, SIS, Aset Sekolah, dan Denah Sekolah.
Data yang dilansir Februari 2020 dari WeareSocial dan Hootsuite tentang lanskap digital dunia menyebutkan, pengguna internet di seluruh dunia mencapai 4,5 miliar orang atau lebih dari 60 persen penduduk dunia. Di Indonesia, angkanya sekitar 175,4 juta atau mencakup 64 persen penduduk. Sementara data yang dilansir dari media online Kontan pada Oktober menyebutkan, pengguna internet meningkat dan jumlah website melonjak hingga 35% dengan makin banyaknya orang yang menghabiskan waktu di dunia maya. Exabytes, perusahaan yang melayani pendaftaran domain, penyewaan web hosting, web design dan digital marketing mencatat terjadinya kenaikan website di tiga negara. Di Indonesia terdapat kenaikan pertumbuhan industri website sebesar 9.4%, dari kuartal I-2020 ke kuartal II-2020.
Sumber:
https://cyberthreat.id/read/5387/Digital-2020-Pengguna-Internet-Indonesia-dalam-Angka
https://teknoia.com/data-pengguna-internet-dunia-ac03abc7476Berselancar di Rumah Belajar
Contoh portal dari pemerintah yang cukup dikenal adalah Rumah Belajar. Inovasi pembelajaran di era industri 4.0 yang diprakarsai oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) ini merupakan portal gratis untuk masyarakat Indonesia. Portal ini memuat berbagai bahan belajar dan fasilitas komunikasi untuk mendukung interaksi antakomunitas belajar, dari tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), sampai Sekolah Menengah Atas/Kejuruan (SMA/SMK) sederajat. Dengan fitur ini, guru dapat memberikan bahan ajar yang dapat diakses dan dibagikan oleh siswa dalam bentuk digital, kapan saja, dan di mana saja.
Rumah Belajar memuat 10 fitur, terdiri dari empat fitur utama dan enam fitur pendukung. Fitur utama dari Rumah Belajar adalah Sumber Belajar, Bank Soal, Lab Maya, Kelas Maya, sedangkan fitur pendukungnya adalah Peta Budaya, Buku Sekolah Elektronik, Wahana Jelajah Angkasa, Karya Bahasa dan Sastra, Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan, dan Edugame.
Sumber Belajar memungkinkan pembelajaran interaktif, baik melalui audio, gambar, video, animasi, simulasi, evaluasi, dan permainan. Fitur ini menyajikan materi ajar bagi siswa dan guru berdasarkan kurikulum. Kelas Maya adalah sebuah fasilitas virtual yang mempertemukan guru dan siswa di mana saja. Ini adalah Learning Management System (LMS) yang dikembangkan khusus untuk memfasilitasi proses pembelajaran virtual atau tanpa tatap muka antara guru dan siswa. Dengan demikian, guru dapat memberikan bahan ajar yang dapat diakses dan dibagikan oleh siswa dalam bentuk digital, kapan saja, dan di mana saja. Bank Soal berisi soal-soal latihan, ulangan, dan ujian yang siap diakses oleh siswa atau dishare oleh guru, yang sudah dikelompokkan berdasarkan topik ajar. Lab Maya memungkinkan praktikum atau eksperimen di laboratorium diperlihatkan kepada siswa sehingga siswa dapat lebih mudah memahami rangkaian proses dan hasil eksperimen yang terjadi. Fitur ini dilengkapi dengan lembar kerja siswa dan teori praktikum.
Sumber: Portal Rumah Belajar (Kemdikbud)
Peta Budaya merangkum konten aneka budaya dari 34 provinsi di Indonesia. Buku Sekolah Elektronik merupakan buku digital berstandar nasional, disajikan dalam bentuk PDF, untuk jenjang PAUD hingga SMA/SMK. Wahana Jelajah Angkasa memungkinkan siswa memahami alam angkasa dengan mengeksplorasi berbagai topik dengan tayangan hidup mengenai benda-benda langit dan sekitarnya. Karya Bahasa dan Sastra merupakan bengkel hasil-hasil karya sastra Indonesia dalam berbagai bentuknya. Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan adalah tempat di mana guru dapat mengakses informasi terkini tentang rencana kegiatan yang akan dilakukan, mendaftarkan diri, serta mengikutinya sebagai bekal meningkatkan profesionalitas guru. Edugame merupakan fitur yang menyediakan beragam permainan interaktif yang dapat dimanfaatkan oleh siswa secara mandiri maupun dengan bimbingan guru atau orangtua. Permainan dirancang untuk membantu siswa memahami konsep dasar dari materi yang disajikan. Belajar dan bermain membuat anak-anak menjadi lebih semangat dan mendapat kesan bahwa belajar itu menyenangkan.
Sumber: Portal Rumah Belajar (Kemdikbud)
Dengan berselancar di Rumah Belajar, baik siswa maupun guru akan menjadi lebih kaya dalam pertemanan dan pengetahuan. Seluruh daerah, dari Aceh sampai Papua, bergabung di Rumah Belajar. Portal ini bisa menjadi ajang saling bertukar informasi, membangun silaturahmi, dan memperkaya diri. Dengan semakin banyak mengeksplorasi, guru diharapkan lebih mampu menyelenggarakan pembelajaran yang menyenangkan. Ini penting, agar semangat siswa untuk belajar bisa dijaga, bahkan ditingkatkan. Ini akan memudahkan pencapaian tujuan pendidikan itu sendiri, juga tujuan pembangunan nasional.
Semoga “peta jalan” Visi Indonesia 2045 dapat kita lalui dengan lebih lancar dan berhasil. Ayo, manfaatkan teknologi untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, membentuk generasi digital yang didambakan!
== 000 ==
ERRY YULIA SIAHAAN
Penulis dilahirkan di Jakarta pada 28 Juli 1963 dan dibesarkan di Ibukota Negara Indonesia, sebagai anak ketujuh dari sebelas bersaudara dari pasangan M Siahaan dan E Silitonga. Riwayat pendidikan dimulai di TK Poerwajaya, Jakarta, kemudian SDN Taman Harapan 01 Pagi Jakarta, SMPN 49 Jakarta, SMAN 14 Jakarta, IPB, dan saat ini sedang kuliah di Universitas Indraprasta PGRI Jakarta. Menggemari dunia sastra dan musik, penulis saat ini aktif mengajar Bahasa Inggris, khususnya untuk anak-anak. Salah satu pedoman hidup penulis adalah: “Menegakkan kebenaran harus terus diupayakan, meskipun bertemu rintangan. Jangan menyangkal kebenaran dan menyalahi aturan dengan selalu mengatasnamakan ‘rasa kasihan’. Karena, kedok ‘kasihan’ bukannya menyelamatkan, tapi bisa menggiring generasi pada kehancuran”.
http://gurupenggerakindonesia.com.
#PGRI, #KOGTIK, #EPSON dan #KSGN