Ikatan erat antara orangtua dan anak berpengaruh besar dalam optimalisasi kesejahteraan anak. Hubungan itu bisa dibangun lewat komunikasi yang terbuka dan efektif yang dilakukan melalui tiga cara. (https://images.pexels.com) |
3 Cara Membangun Ikatan Erat dengan Anak, Orangtua Mesti Tahu
Ikatan erat antara orangtua dan anak merupakan salah satu faktor yang besar pengaruhnya bagi optimalisasi kesejahteraan anak, baik fisik maupun psikis. Komunikasi yang terbuka dan efektif merupakan salah satu kunci untuk membentuk hubungan tersebut.
Sayangnya, dewasa ini ikatan erat antara orangtua dan anak lebih sulit didapat. Relasi antaranggota keluarga seakan terkoyak. Komunikasi yang terbuka dan efektif menjadi sulit dilakukan. Padahal itu penting bagi kesejahteraan anak.
Banyak anak memberontak, merasa “diperbudak” jika harus menurut terus pada orangtua. Anak menjadi galak jika orangtua dinilai terlalu banyak nasihat. Sebaliknya, orangtua merasa berhak mendapat hormat dari anak, sekalipun mungkin mereka kurang jujur dalam merefleksi diri tentang apa yang kurang dalam pola asuh mereka sebelum kesulitan komunikasi itu terjadi.
Pekerja sosial klinis dan psikoterapis terlisensi, Jourdan Travers, LCSW pekan lalu menyebutkan tiga cara yang harus diketahui oleh para orangtua untuk bisa membangun komunikasi yang terbuka dan efektif dengan anak, menuju terbentuknya ikatan erat di antara mereka.
Melansir Psychology Today, Travers mengatakan, membiasakan komunikasi yang terbuka dan efektif dengan anak dapat memperkuat ikatan erat satu sama lain. Hal ini harus diupayakan sedari dini, konsisten dan rutin. Jadi, bukan sesuatu yang bisa didapat secara instan.
Komunikasi yang terbuka dan efektif sangat penting dalam membangun ikatan erat antara orangtua dan anak. Adanya komunikasi yang baik dalam keluarga membuat anak merasakan orangtua sebagai tempat berlindung yang aman dan nyaman bagi mereka.
Terlebih pada masa-masa pembentukan jatidiri, yang mana (jika tidak menemukannya di rumah) anak-anak mungkin malah mencari sumber lain di luar keluarga atau orangtua sebagai alternatif untuk bercerita, akibat takut dihakimi oleh orangtua atau sering berselisih pendapat dengan orangtua.
Menurut Travers, hubungan yang tegang antara orangtua dan anak dapat menimbulkan konsekuensi yang merugikan. Contohnya, ketertutupan anak dalam membahas topik yang sensitif, meningkatkan risiko atau kerentanan anak terhadap penyalahgunaan zat, menimbulkan keraguan atas kemampuan diri dan rendah diri, serta menepis rasa percaya dan aman pada anak terhadap orangtua.
Sebaliknya, adanya komunikasi yang terbuka dan efektif akan membuka ruang penerimaan bagi diri anak, sehingga mereka sudah tahu kepada siapa harus berbicara dan meminta saran jika menemukan masalah atau ingin menanyakan sesuatu.
Travers memberikan tiga tips untuk menciptakan komunikasi yang terbuka dan efektif itu. Pertama, usahakan untuk mengurangi kekacauan, dan tingkatkan suasana untuk anak mengungkapkan ekspresi diri dan permasalahannya.
Sebuah studi tahun 2023 yang diterbitkan dalam Journal of Family Psychology menyoroti tantangan yang dihadapi oleh keluarga yang penuh kekacauan, di mana orangtua menghadapi kesulitan untuk menjalin percakapan yang bermakna dengan anak-anak mereka.
Stres membuat orangtua lebih sulit untuk tetap responsif dan terlibat secara positif dengan anak-anak sepanjang hari. Stres di sini seperti tinggal di lingkungan rumah yang kacau, yang memancing orangtua membangun relasi dengan terlalu banyak mengatur.
Penelitian itu menggarisbawahi pentingnya menjaga konsistensi dan rutinitas untuk melakukan percakapan yang mudah, ringan, dan bermanfaat dalam keluarga, menuju terbinanya hubungan yang bermakna antara orangtua dan anak.
Misalnya, dengan saling berbagi makanan, meluangkan waktu secara rutin pada hari yang sudah dikhususkan untuk keluarga, dan memanfaatkan waktu setiap hari untuk interaksi yang berkualitas.
Kedua, menjadi orangtua yang otoritatif atau berwibawa, bukan otoriter. Memang tidak ada panduan yang pasti untuk pola asuh yang sempurna yang berlaku bagi semua orang, apalagi jika manfaatnya ingin didapat dalam waktu relatif singkat. Namun, setidaknya orangtua berusaha untuk menerapkan pola asuh yang otoritatif (berwibawa) ketimbang menjadi otoriter.
Pola asuh yang otoriter adalah yang menunjukkan sikap yang kaku dan mengontrol, menekankan dominasi dari orangtua, dan penegakan aturan secara ketat dan kaku.
Pola asuh otoritatif merupakan pola asuh yang cenderung bersikap mengutamakan struktur, tapi memupuk otonomi anak menuju kemandirian.
Hasil penelitian pada 2018 yang dipublikasikan dalam Journal of Child and Family Studies menunjukkan manfaat besar dari pola asuh yang otoritatif. Orangtua dapat mengatur dan mengarahkan anak-anak mereka menuju kehidupan yang lebih sejahtera.
Contoh manfaat pola asuh otoritatif terhadap anak adalah membantu anak untuk mencapai kemandirian emosional, memberikan kebebasan untuk mengungkapkan pikiran dan berbagi pengalaman, mengembangkan rasa aman dan tangguh secara emosi, membantu anak dalam membentuk perspektif yang baik, serta meningkatkan ekspresi diri yang sehat.
Ketiga, menjadi orangtua yang memberi kepercayaan pada anak dan memiliki kesabaran, bahkan mungkin pada saat orangtua tidak menginginkannya.
Penelitian pada 2015 yang diterbitkan dalam British Journal of Developmental Psychology menemukan sejumlah manfaat terhadap diri anak dari pola asuh yang memberikan kepercayaan dan sabar. Anak-anak mulai peduli atas keberadaan mereka sejak usia prasekolah dan lebih cenderung terbuka pada orangtua mengenai informasi positif dan negatif.
Bagi sebagian orangtua, membina komunikasi yang terbuka dan efektif dengan anak merupakan tantangan berat. Di satu sisi orangtua menghendaki anak melakukan hal tertentu, sementara anak ingin melakukan sesuatu yang lain.
Orangtua disarankan untuk bisa menahan diri dalam hal memberi respon spontan yang impulsif atau memberi kesan terlalu ingin tahu dan ikut campur dengan urusan anak. Sikap yang tidak terlalu mengekang akan meningkatkan rasa kepercayaan anak pada orangtua dan membuka jalan bagi mereka untuk mau berbagi dengan orangtua, bahkan mengenai informasi pribadi yang sensitif sekalipun.
Dengan terbukanya celah itu, orangtua menjadi lebih mungkin untuk membimbing anak secara efektif dan memastikan kesejahteraan mereka, baik secara fisik maupun psikis. ***